Aliansi Peduli Bumi Rafflesia Tuntut Pemerintah Prolingkungan
Penulis : Raden Ariyo Wicaksono
Lingkungan
Selasa, 23 April 2024
Editor : Yosep Suprayogi
BETAHITA.ID - Kelompok masyarakat sipil dari 13 lembaga di Bengkulu, yang tergabung dalam Aliansi Peduli Bumi Rafflesia, menuntut pemerintah membuat kebijakan prolingkungan. Tuntutan tersebut disampaikan dalam aksi peringatan Hari Bumi Sedunia, di depan Kantor DPRD Provinsi Bengkulu, Senin (22/4/2024).
Koordinator aksi M.Ghifar Alfarizsy menyampaikan, aksi ini dikemas dalam kegiatan pawai, orasi di Panggung Peduli Bumi dan dilanjutkan dengan penandatanganan surat pernyataan sikap serta penyerahan pernyataan sikap kepada DPRD Provinsi Bengkulu.
“Aksi ini dilakukan dengan berjalan kaki dari Taman Budaya Bengkulu sampai ke Kantor DPRD Provinsi Bengkulu, dilakukan orasi dan penyerahan pernyataan sikap,” ujar Ghifar.
Dalam momentum Hari Bumi tahun ini, perwakilan BEM Universitas Bengkulu, Ridhoan P Hutasuhut, mengatakan masyarakat dari Sabang sampai Merauke resah, karena Bumi Nusantara, telah digerogoti dan dikeruk habis oleh orang yang tidak bertanggung jawab, perusahaan merajalela, tambang semakin luas.
“Kami mengutuk anggota DPR RI dalam menyikapi kebijakan yang ada, dengan aksi ini kami menuntut DPRD Provinsi Bengkulu untuk membentuk kebijakan yang adil untuk rakyat dan lingkungan,” kata Ridhoan.
Mewakili Aliansi Peduli Bumi Rafflesia, Ridhoan kemudian menyampaikan sejumlah fakta terkait berbagai permasalahan yang terjadi di Bengkulu dan berbagai daerah. Yang pertama, menumpuknya sampah plastik yang memenuhi pantai dan kawasan lainnya yang menyebabkan kerusakan lingkungan, telah berdampak pada kesehatan serta mengganggu keindahan alam maka pemerintah harus mengambil sikap mengenai pengurangan sampah plastik.
Aliansi menyebut, belum ada kebijakan yang konkret dari pemerintah untuk menjawab persoalan sampah Provinsi Bengkulu, dan implementasi atas kebijakan yang ada juga masih sangat minim. Seperti halnya pengelolaan sampah di Kota Bengkulu yang hanya menggunakan proses pengumpulan, pengangkutan, dan pembuangan ke TPA yang saat ini, beberapa kondisinya sudah overload kapasitas seperti TPA Air Sebakul.
Kemudian, katanya, rencana perluasan lahan pada TPA Air Sebakul, juga bukan solusi yang konkret jika di bagian hulunya tidak dikelola. Karena hanya melakukan penumpukan sampah, permasalahan ini seperti bom waktu untuk masyarakat dan mengundang masalah baru.
Aliansi mendorong Pemerintah Provinsi Bengkulu untuk memberikan solusi di bagian hulu yaitu lewat kebijakan karena solusi untuk sampah plastik tidak cukup hanya dengan pengelolaan sampah, karena plastik merupakan suatu produk yang harus kurangi bahkan dihentikan penggunaannya.
"Maka dari itu kita butuh kebijakan yang mampu menertibkan masyarakat dengan memberikan solusi atas akar masalah. Contohnya toko-toko besar maupun kecil yang melakukan transaksi jual beli dilarang menggunakan plastik, dengan begitu masyarakat akan ditertibkan saat belanja untuk tidak menggunakan plastik sekali pakai," katanya.
Yang kedua, lanjut Ridhoan, dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2007 tentang Energi Pasal 4 mengatur bahwa sumber daya energi baru dan sumber daya energi terbarukan diatur oleh negara dan dimanfaatkan untuk-untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, dan Pasal 8 berbunyi setiap kegiatan pengelolaan energi wajib mengutamakan penggunaan teknologi yang ramah lingkungan dan memenuhi ketentuan yang disyaratkan dalam peraturan perundang-undangan di bidang Lingkungan Hidup.
Artinya penggunaan energi bersih terbarukan merupakan sumber energi yang paling ideal digunakan untuk menjaga keselamatan dan kelestarian lingkungan hidup. Bahwa Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 112 Tahun 2022 tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik.
Kemudian Pasal 3, dalam rangka transisi energi sektor ketenagalistrikan, Menteri menyusun peta jalan percepatan pengakhiran masa operasional PLTU Batubara yang dituangkan dalam dokumen perencanaan sektoral. Bahwa PLTU batu bara merupakan salah satu kontributor utama emisi gas rumah kaca yang menyebabkan perubahan iklim. Endcoal.org mencatat sejak 2006-2020 setidaknya ada 171 PLTU batu bara yang beroperasi di Indonesia dengan total kapasitas 32.373 megawatt.
Pembangkit-pembangkit ini, imbuh Ridhoan, ikut menyumbang CO2 yang dihasilkan oleh seluruh PLTU di dunia mencapai 258.394 juta ton dengan rata-rata emisi tahunan sekitar 6.463 juta ton. Bahwa Energi Bersih Terbarukan merupakan sumber energi yang berasal dari alam contohnya berasal dari sinar matahari, angin, air.
"Energi bersih terbarukan dapat diperbarui dalam waktu singkat, jauh lebih singkat daripada energi fosil, dan dalam penggunaannya tidak mengeluarkan gas emisi. Energi bersih terbarukan sangat potensial digunakan di Indonesia sebagai sumber energi ketenagalistrikan di tengah krisis iklim yang saat ini melanda dunia," ujar Ridhoan.
Yang ketiga, Aliansi menilai penetapan RTRW Provinsi Bengkulu Tahun 2023-2042, terindikasi hanya memberikan karpet merah yang sebesar-besarnya kepada investasi untuk mengeksploitasi sumber daya alam di Provinsi Bengkulu. Di antaranya mengakomodasi kepentingan PLTU batu bara Teluk Sepang, pertambangan, perkebunan, perikanan, dan pariwisata dengan mengabaikan kepentingan rakyat.
Di sisi yang lain Pemerintah Provinsi Bengkulu juga telah menghilangkan hak peran serta masyarakat secara bermakna dalam proses pengambilan kebijakan mulai dari proses pembahasan pelaksanaan dan penetapan kebijakan. Hal ini, merupakan sebuah kemunduran demokrasi dan merupakan wujud ketidakterbukaan pemerintah bagi partisipasi para pihak untuk melakukan pengawasan kebijakan RTRW Provinsi Bengkulu.
Perubahan tata ruang di Provinsi Bengkulu, kata Ridhoan, juga belum sepenuhnya mempertimbangkan aspek resiko bencana. Mengingat Provinsi Bengkulu sebagai wilayah yang memiliki tingkat resiko tinggi terhadap ancaman bencana, diantaranya gempa bumi, tsunami, gunung api, banjir, tanah longsor, kekeringan, cuaca ekstrim, gelombang ekstrim dan abrasi, serta kebakaran hutan dan lahan.
Pada 2022, Data Bencana Indonesia mencatat terdapat 3 bencana yang mendominasi di Bengkulu yaitu banjir, tanah longsor dan puting beliung. Bencana yang terjadi beberapa tahun terakhir di Provinsi Bengkulu merupakan dampak dari salah urus tata kelola sumberdaya alam oleh pemerintah Provinsi Bengkulu. Salah urus tata kelola sumber daya alam terakumulasi menjadi rangkaian peristiwa yang menyebabkan terjadinya bencana ekologis, contohnya banjir di kota dan kabupaten di Provinsi Bengkulu 2019 dan banjir di Kabupaten Lebong, Kota Bengkulu, Kabupaten Seluma pada 2024.
Keempat, Aliansi menyoroti maraknya keresahan masyarakat adat di beberapa kabupaten di Provinsi Bengkulu, seperti Hutan Adat Malin Deman Muko-muko, Hutan Serawai Pasar Seluma, Hutan Adat di Rejang Lebong dan beberapa hutan adat lainnya. Beranjak dari implementasi Putusan MK No: 35 Tahun 2012 yang berisi ketetapan hutan adat bukan hutan negara. Aliansi menilai, putusan tersebut belum dirasakan implementasinya oleh masyarakat adat di Provinsi Bengkulu.
"Masyarakat di sekitar hutan adat mengalami hambatan dalam bertani serta memanfaatkan fungsi hutan adat mereka dalam mencari sumber penghidupan dalam sektor pertanian," kata Ridhoan.
Yang kelima, Aliansi menyinggung soal perubahan iklim yang terjadi karena meningkatnya konsentrasi gas karbon dioksida dan gas-gas lainnya yang menyebabkan gas efek rumah kaca. Yang mana, konsentrasi gas rumah kaca yang semakin meningkat membuat lapisan atmosfer semakin tebal.
Penebalan lapisan atmosfer tersebut menyebabkan jumlah panas bumi yang terperangkap di atmosfer bumi semakin banyak, sehingga mengakibatkan peningkatan suhu bumi, yang disebut dengan pemanasan global. Selain itu pemanasan global atau global warming adalah adanya proses peningkatan suhu rata-rata atmosfer, laut, dan daratan bumi. Suhu rata-rata global pada permukaan bumi telah meningkat 0.74 ± 0.18 ‘C (1.33 ± 0.32 ‘F) selama seratus tahun terakhir.
Ridhoan melanjutkan, Intergovermental Panel on Climate Change (IPCC) menyimpulkan, sebagian besar peningkatan suhu rata-rata global sejak abad ke 20 kemungkinan besar disebabkan oleh meningkatnya konsentrasi gas-gas rumah kaca. Kesimpulan dasar ini telah dikemukakan oleh setidaknya 30 badan ilmiah dan akademik, termasuk semua akademi sains nasional dari negara-negara G8.
Kemudian menurut analisa carbon brief, Indonesia merupakan penyumbang emisi CO2 urutan kelima terbanyak di dunia sebesar 4,1% selama 1850-2021. CO2 bertahan selama berabad-abad di atmosfer. Semakin banyak yang dilepaskan, maka semakin banyak pula panas yang terperangkap, ini artinya emisi CO2 dari ratusan tahun lalu terus berkontribusi pada pemanasan planet bumi hingga hari ini.
"Berdasarkan fakta tersebut kami menyatakan sikap, mendesak Pemerintah Provinsi Bengkulu untuk membentuk peraturan daerah (Perda) tentang pembatasan penggunaan plastik sekali pakai. Segera melakukan transisi energi dari energi fosil menuju energi bersih yang adil dan berkelanjutan," kata Ridhoan membacakan tuntutan Aliansi.
Tak hanya itu, Aliansi juga menolak pengesahan Perda No 3 Tahun 2023 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi Bengkulu tahun 2023-2043. Aliansi juga mendesak Pemerintah Provinsi Bengkulu untuk merealisasikan Putusan Mahkamah Konstitusi No: 35 Tahun 2012 tentang Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat dan meminta Pemerintah Provinsi Bengkulu untuk mendorong Pemerintah Pusat segera mengesahkan rancangan undang-undang tentang perlindungan dan pengakuan hak masyarakat adat.
SHARE