Satwa Endemik Wallacea: Yang Berebut Rumah dengan Rezim Tambang

Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

SOROT

Senin, 01 April 2024

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID - Thusi Bonandito dapat membayangkan beratnya perjuangan para pelestari satwa liar di Sulawesi, saat izin-izin pertambangan menjamur di sekujur pulau itu. Soalnya, kaveling-kaveling izin pertambangan itu tak hanya merenggut ruang hidup manusia, namun juga habitat satwa liar endemik. Satwa itu dari maleo senkawor (Macrocephalon maleo), babirusa (Babyrousa babyrussa), dan anoa (Bubalus sp.)

"Sudah terbayang. Kita khawatir dengan itu. Walaupun kita fokus terhadap satwanya, tapi kalau habitatnya dibiarkan rusak ya percuma," kata Thusi, Manajer Mining Outreach di Aliansi Konservasi Tompotika (AlTo), Rabu (6/3/2024).

Thusi sendiri mengalaminya. Ia dan rekan-rekannya di AlTo mengelola wilayah seluas sekitar 100 hektare di Desa Taima, Kecamatan Bualemo, Kabupaten Banggai, Sulawesi Tengah, untuk konservasi maleo. Beberapa tahun terakhir, kehadiran beberapa tambang nikel di sekitar wilayah kelola AlTo, di sekitar Gunung Tompotika, membuat resah.


Artikel lainnya di topik "Yang Berebut Rumah dengan Rezim Tambang":


Salah satu titik tempat bertelur maleo di wilayah yang dikelola AlTo, di Banggai, Sulawesi Tengah. Foto: AlTo.

Perusahaan-perusahaan tambang itu, yang terdekat dengan lokasi kerja AlTo, di antaranya PT Banggai Mandiri Pratama, PT Bumi Persada Surya Pratama, dan PT Anugerah Bangun Makmur. Menurut Minerba One Map Indonesia (MOMI) Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM), ketiganya berstatus operasi produksi.

Thusi mengaku telah membaca dokumen analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) beberapa perusahaan tambang nikel itu. Masalahnya, pembahasan tentang dampak aktivitas tambang terhadap satwa liar yang ada di dalam konsesi sangat minim.

"Tidak ada tentang upaya mencegah gangguan terhadap satwa. Bagaimana gangguan kalau kendaraan lewat, suara mesin, aktivitas penebangan hutan, itu tidak ada. Hanya di-pascatambang dikatakan akan di-replanting. Tapi hampir tidak mungkin satwa-satwa itu mau kembali," kata Thusi.

Manager Program Lapangan AlTo, Pandji Ariyo Kresna, menambahkan, salah satu cara yang dilakukan AlTo untuk melindungi habitat satwa dari ekspansi pertambangan adalah dengan menaikkan status lahan. Sebab, habitat maleo yang ada di sekitar areal kerja AlTo statusnya lemah. Bahkan areal yang dikelola AlTo untuk konservasi maleo statusnya hanya Areal Penggunaan Lain.

AlTo, kata Pandji, saat ini tengah membantu mendorong agar hutan di wilayah Desa Sempaka, yang merupakan habitat maleo di Banggai, diubah statusnya menjadi hutan desa. Luas hutan yang diusulkan sekitar 5 ribu hektare.

"Tapi finalnya sekitar 4 ribu hektare. Karena sebagian sudah masuk dalam konsesi," kata Pandji.

Tampak hutan lebat yang menjadi habitat maleo dan satwa endemik Sulawesi lainnya, di Kabupaten Banggai, Sulawesi Tengah. Foto: AlTo.

Di Tompotika, Pandji menjelaskan, tempat bertelur maleo berada jauh dari tempatnya bersarang dan mencari makan. Maelo bertelur di pesisir pantai, sedangkan untuk mencari makan dan bersarang, satwa dilindungi ini harus masuk jauh ke dalam hutan lebat. Dua tempat tersebut terhubung dengan sebuah koridor hutan.

"Bila salah satunya areal ini terganggu. Maka terganggu pulalah kehidupan maleo di sini. Kita pernah survei, terbukti, ketika habitatnya diganggu maleo tidak datang lagi ke situ," kata Pandji.

Menurut Pandji, bukan hanya maleo yang terganggu oleh maraknya izin pertambangan. Satwa-satwa endemik liar lain juga, termasuk babirusa dan anoa. Pandji menjelaskan, bila suatu habitat satwa mengalami fragmentasi akibat kaveling-kaveling izin tambang, maka satwa-satwa liar yang hidup di dalamnya akan hidup terisolasi.

Bahkan, menurut Pandji, dari tiga satwa ini, babirusa dan anoa keterancamannya lebih tinggi. Karena berbeda dengan maleo yang bertelur di pantai atau di titik sumber air panas, babirusa dan anoa habitatnya benar-benar hanya di dalam hutan. Sehingga, semakin rusak hutan semakin terancam pula hidupnya.

"Ketika terisolasi, maka mereka akan semakin mudah diburu. Satwa-satwa inikan dagingnya juga biasa dikonsumsi," katanya.

Tampak areal pertambangan nikel di PT Gunbuster Nickel Industry, Kabupaten Morowali Utara, Sulawesi Tengah. Foto: Auriga Nusantara.

Berdasarkan pengakuan beberapa mantan pemburu, beberapa tahun lalu, dalam satu waktu berburu, para pemburu bisa mendapatkan sedikitnya 10 ekor anoa. Tapi sekarang bertemu satu ekor anoa di hutan Tompotika sudah dianggap beruntung.

Thusi mengatakan, beberapa tahun belakangan AlTo secara rutin melakukan ekspedisi di hutan-hutan di Tompotika, dua kali dalam satu tahun. Itu demi mengumpulkan data dan informasi tentang kekayaan keanekaragaman hayatinya, termasuk jejak keberadaan maleo, babirusa, anoa, dan satwa lainnya.

Data-data tersebut kemudian digunakan untuk memetakan titik-titik mana saja yang bernilai konservasi tinggi. Thusi mengatakan, peta areal bernilai konservasi tinggi tersebut pernah ia perlihatkan kepada sebuah perusahaan, dan ia merekomendasikan agar kegiatan tambang tidak dilakukan di titik-titik itu.

"Mereka bilang akan eksplorasi (kandungan mineralnya) dulu. Kalau tidak bagus akan ditinggalkan, hutannya tidak dirusak. Tapi sepertinya itu (tidak dirusak) sulit terjadi, " kata Thusi.

1,7 juta hektare konsesi tambang berada di habitat 3 satwa endemik

Peta sebaran izin usaha pertambangan di habitat maleo, babirusa, dan anoa. Sumber: Auriga Nusantara.

Berdasarkan data yang terhimpun, luas habitat tersisa maleo sekitar 10.998.236 hektare, dan anoa seluas 2.188.383 hektare. Habitat maleo dan anoa seluruhnya berada di Pulau Sulawesi. Sedangkan habitat babirusa, luasnya tercatat sekitar 15.403.902 hektare, tersebar tidak hanya di Pulau Sulawesi namun beberapa pulau lain di sekitarnya, seperti Pulau Taliabu, dan Pulau Buru.

Analisis spasial yang dilakukan Auriga Nusantara, dengan melakukan overlay (tumpang susun) peta habitat dengan sebaran izin usaha pertambangan Kementerian ESDM, menunjukkan setidaknya ada 1,7 juta hektare konsesi tambang berada di dalam habitat tiga spesies endemik tersebut. Lokasinya tersebar di berbagai titik di Pulau Sulawesi.

Bila dirinci, sebanyak 533 unit izin terbit di atas habitat maleo, dengan total luas mencapai 797.197 hektare. Kemudian, 569 unit izin seluas 902.821 hektare berada di atas habitat babirusa, dan seluas 83.643 hektare terdiri dari 43 unit izin, berada di habitat anoa.

Izin-izin pertambangan yang mengokupasi habitat satwa-satwa endemik Pulau Sulawesi itu komoditasnya beragam. Mulai dari andesit, aspal, batu gamping, dolomit, emas, mangan, marmer, nikel, pasir kuarsa, peridotit, sirtu (pasir berbatu), dan tembaga. Baik yang statusnya eksplorasi, operasi produksi, maupun pencadangan.

Populasi menurun seiring konversi habitat

Riszki Is Hardianto, Peneliti Spesies Yayasan Auriga Nusantara, mengungkapkan, Sulawesi kehilangan 2,07 juta hektare atau 10,98 persen wilayah berhutannya dalam rentang waktu 2000-2017. Kehilangan tutupan hutan itu sangat mungkin semakin besar saat ini, sebab selama satu dekade terakhir banyak perusahaan berbondong-bondong datang untuk mengeruk sumber daya alam dengan membabat hutan alam tersisa.

"Selain pertambangan dan perkebunan, kawasan Wallace juga banyak dijadikan sebagai proyek strategis nasional (PSN) yang jumlahnya sudah puluhan, mulai dari bendungan, lapangan minyak, dan gas bumi. Hal ini tentu menjadi ancaman nyata bagi kekayaan keanekaragaman yang ada di wilayah tersebut," ujar Riszki, Rabu (6/3/2024).

Berdasarkan Dokumen Strategi Rencana Aksi Konservasi (SRAK) Babirusa Tahun 2013-2022, lanjut Riszki, populasi babirusa yang tersisa kini teridentifikasi berada di 13 kantong habitat prioritas. Kondisi populasi ini terbilang stabil, untuk konservasi babirusa di Indonesia.

Tapi, kata Riszki, babirusa telah mengalami penurunan populasi sebanyak 30 persen dalam kurun waktu 18 tahun terakhir (2018). Ukuran populasi sekarang hanya sekitar 10.000 individu dewasa, dan diperkirakan akan mengalami penurunan lebih dari 10 persen dalam 18 tahun mendatang. Penurunan populasi babirusa yang cukup tinggi ini dikarenakan oleh perburuan dan alih fungsi lahan yang menyebabkan habitatnya terdegradasi

Spesies ini juga semakin terancam oleh penebangan komersial dan penggunaan lahan lain yang mengakibatkan konversi dan degradasi hutan. Total kehilangan hutan dataran rendah di pulau ini diperkirakan lebih dari 75 persen (IUCN Assesment-2016). Ancaman tambahan hadir dalam bentuk penambangan bijih besi prospektif, terutama di bagian barat laut semenanjung utara.

Data menunjukkan, luas habitat babirusa mencapai lebih dari 15 juta hektare. Tapi hanya 1,6 juta hektare saja yang lokasinya berada di dalam kawasan konservasi, sedangkan 13,4 juta hektare lainnya berada di luar kawasan konservasi.

"Dari 13,4 juta hektare itu, 2,2 juta hektare di antaranya di areal konsesi, seperti Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH) pada hutan alam dan industri, perkebunan sawit, tambang, dan lainnya," ujar Riszki.

Tampak hutan gundul akibat tambang nikel di Kabupaten Morowali, Sulawesi Tengah. Foto: Auriga Nusantara.

Dilihat dari SRAK Babirusa Tahun 2013-2020, KLHK menyusun strategi untuk meningkatkan pengelolaan habitat babirusa, yakni mengurangi degradasi habitat melalui penegakan hukum dan peningkatan kesadaran masyarakat serta membangun koridor habitat babirusa untuk memulihkan kondisi daya dukung habitat yang optimal.

Dikatakan, ancaman terhadap kelestarian babirusa juga terjadi karena tekanan terhadap habitatnya. Kondisi habitat babirusa terus mengalami penurunan (berkurang), rusak dan terfragmentasi.

Berbagai aktivitas pembangunan seperti perkebunan, infrastruktur dan penambangan liar yang dilakukan secara ekstensif mengakibatkan habitat babirusa rusak, termasuk disebabkan kegiatan ilegal dalam kawasan konservasi seperti perambahan, penebangan liar, penambangan liar, dan lain-lain. Akibatnya daya dukung habitat menurun, dan populasi babirusa terisolasi menjadi kelompok-kelompok populasi kecil yang memiliki kerentanan yang tinggi dari ancaman kepunahan.

Kondisi dan ancaman terhadap habitat anoa juga tak jauh berbeda. Dalam SRAK Anoa Tahun 2013-2022, KLHK menyebutkan habitat alami anoa pada saat ini cenderung terdegradasi dan luasannya menurun. Untuk itu fokus utama pengelolaan habitat adalah menjaga habitat bagus yang masih tersisa dan memperbaiki hutan yang terdegradasi melalui upaya rehabilitasi, pengayaan dan restorasi ekosistem untuk memulihkan daya dukung habitat, termasuk di antaranya menjaga konektivitas habitat anoa, serta mempertahankan keterwakilan setiap populasi/sub populasi.

Sedangkan untuk maleo, salah satu target strategi konservasi yang disusun dalam SRAK Maleo Tahun 2021-2030, adalah meningkat dan terjaganya kualitas lokasi-lokasi peneluran maleo, serta ruang jelajah dan koridor-koridor utama kembali berfungsi optimal.

SRAK Maleo yang sedang dijalankan itu mencatat ada 25 lokasi peneluran aktif. Tujuh lokasi di antaranya berada di luar kawasan konservasi, yakni berada di kawasan hutan produksi dan areal penggunaan lain.

Padahal sebelumnya, sampai dengan 2005, tercatat 142 lokasi peneluran maleo di seluruh Pulau Sulawesi, berdasarkan kompilasi berbagai sumber (Dekker 1990, Argeloo 1994, Butchart & Baker 2000, Gorok dkk. 2005). Dari 142 lokasi itu, lokasi peneluran yang berada di dalam kawasan konservasi hanya 50 titik saja, sedangkan sisanya, 92 lokasi berada di luar kawasan konservasi.

Sebetulnya, perlindungan habitat maleo diamanatkan dalam Peraturan Presiden No. 18 Taun 2020 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2020-2024, Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No. P.16/MenLHK/Setjen.1/8/2020 tentang Rencana Strategis KLHK Tahun 2020-2024, dan Peraturan Direktur Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem No. P.6/KSDAE/SET/3/REN.0/9/2020 tentang Rencana Strategis Direktorat Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem Tahun 2020-2024.

Dalam perkembangbiakannya, maleo membutuhkan lingkungan khusus. Mereka tidak mengerami telurnya, namun menyimpannya dalam tanah atau pasir yang memiliki suhu tertentu. Lokasi yang sesuai biasanya di dekat sumber panas bumi atau geothermal dan pada hamparan pasir di pantai.

SHARE