Di Indonesia Bisa Terjadi Tornado, Namanya Tornado Genesis
Penulis : Aryo Bhawono
Iklim
Minggu, 10 Maret 2024
Editor : Yosep Suprayogi
BETAHITA.ID - Peneliti Klimatologi Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Erma Yulihastin, mengungkap tornado genesis berpotensi muncul di wilayah Indonesia. Ancaman bencana hidrometeorologi pun meningkat seiring dengan krisis iklim.
Erma menyebutkan sejak dirinya mengamati mekanisme puting beliung di Cimenyan, Bandung, Jawa Barat pada 28 Maret 2021. Ia menyebut angin yang merusak 300-an bangunan itu sebagai tornado F0.
Rekonstruksi yang dilakukan menggunakan radar Santanu menyebutkan mulanya bow echo (gema busur) terbentuk karena dipicu prakondisi pembentukan MCC (Kompleks konvektif skala meso/ kumpulan hujan dan badai petir yang besar, melingkar, dan berumur panjang yang diidentifikasi oleh satelit) yang diremote oleh bibit siklon tropis Seroja.
Struktur bumerang bow echo ini menyebabkan terbentuknya dua meso-vorteks (pusaran angin yang memiliki radius putaran pada skala meso, yaitu antara puluhan hingga ratusan kilometer) yang memicu angin puting beliung Cimenyan dengan kekuatan 56 km/jam.
"Seperti yang sudah kita ketahui bahwa 64 saja sudah merupakan batas bawah untuk tornado F0, jadi sudah bisa dibayangkan betapa kuatnya kecepatan angin tersebut," kata Erma seperti dikutip dari CNN Indonesia.
Kecepatan angin yang meningkat, radius pusaran, dan skalanya yang menjadi meso bisa terdeteksi secara jelas dari satelit.
Erma menjelaskan angin puting beliung tidak bisa terdeteksi satelit, tapi jika angin puting beliung bisa terdeteksi, patut dicurigai bahwa itu berskala meso.
Selain itu, ia juga menyampaikan kegelisahannya ketika melihat puting beliung yang terjadi di Rancaekek, Sumedang, Jawa Barat belum lama ini.
"Puting beliung itu memang tidak bisa terdeteksi dari satelit,tapi jika memang bisa dideteksi melalui satelit kita patut curiga bahwa itu skalanya meso. Jadi ketika kasus Rancaekek ini terjadi saya cukup syok karena formasi visual putarannya bahkan sangat jelas tertangkap kamera, mana ada puting beliung tertangkap, kan tidak pernah ada selama ini", ujar Erma.
Potensi tornado genesis
Erma mengungkap, kejadian di Cimenyan dan Rancaekek menunjukkan potensi tornado genesis meski tingkat kemungkinannya jauh lebih kecil jika dibandingkan dengan Amerika Serikat (AS).
Tornado terbentuk dari badai supercell atau jenis badai yang paling mungkin menghasilkan tornado. Tornado genesis merujuk pada proses pembentukan tornado ini.
Pada badai supercell, terdapat rotasi meso kimia di dalam awan kumulonimbus tersebut. Rotasi ini biasanya terjadi di bagian atas dari badai dan menjadi penyebab terbentuknya tornado.
Jika kondisi di sekitar badai memungkinkan, tornado dapat menyentuh tanah dan menjadi tornado yang terlihat.
Lokasi geografis Indonesia tidak memungkinkan terjadi tornado, karena topografinya didominasi gunung, pulau dan perairan sehingga tidak mendukung pembentukan tornado dan badai supercell yang cenderung jarang hadir di iklim tropis Indonesia. Namun Erma menegaskan bahwa memang segala hal bisa mungkin terjadi pada kondisi warming climate.
"Jadi, saya ingin tegaskan bahwa tornado genesis itu bisa saja muncul disini, sebagaimana kami (BRIN) juga pernah mempublikasikan tropical physical genesis, bibit siklon yang muncul di atas wilayah perairan indonesia. Padahal Indonesia kan wilayah perairan tertutup," jelas dia.
Terpisah Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) sendiri membantah fenomena tornado terjadi di Indonesia, seperti di Rancaekek pada 21 Februari 2024 lalu. Lembaga ini menyebutkan kejadian tersebut merupakan angin puting beliung
Meski begitu, Dosen Program Studi Meteorologi Institut Teknologi Bandung (ITB), Nurjanna Joko Trilaksono, mengungkapkan, berdasar proses pembentukan angin itu merupakan tornado.
Survei yang dilakukan Tim Lab Meteorologi Terapan ITB pada pada Kamis (22/2/2024) dan Minggu (25/2/2024) pusaran angin berjalan hingga diperoleh panjang jalur sekitar 4 kilometer dan dapat diperkirakan memiliki pusaran kurang lebih 15 km/jam dengan perkiraan pusaran hidup dan berjalan sekitar 30 menit.
Sedangkan luas area kerusakan mencapai 305 hektare dengan lebar 516 meter. Tipe-tipe kerusakan yang terjadi mulai dari atap yang hilang, bangunan roboh, dan pohon tumbang.
Pantauan citra Satelit Himawari-9 di daerah cekungan Bandung sekitar Bandung Timur menunjukkan bahwa pada pukul 14:00 WIB daerah sekitar Rancaekek relatif cerah dan clear, sedangkan satu jam berikutnya mulai terdapat awan-awan yang tumbuh. Awan ini merupakan awan cumulonimbus yang tumbuh secara cepat di tropopause.
Potensi ini pun menjadi peringatan atas bencana di tengah perubahan iklim. Direktur Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Laksmi Dhewanthi mengungkap perubahan iklim memperparah bencana hidrometeorologis, termasuk puting beliung.
"Benar, perubahan iklim memang penyebab segala bencana hidrometeorologis, termasuk puting beliung, badai dan lain sebagainya", ujarnya pada forum diskusi daring Antisipasi Fenomena Angin Puting Beliung Akibat Perubahan Iklim, Rabu (28/2).
SHARE