Nelayan Minta Pemerintah Waspadai Perjanjian WTO

Penulis : Gilang Helindro

Kelautan

Rabu, 06 Maret 2024

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID -  Kebijakan hasil perjanjian dengan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) dinilai nelayan sering merugikan kepentingan rakyat, terutama petani dan nelayan. 

Dani Setiawan, Ketua Umum Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) dalam Diskusi Publik Merespon Hasil Konferensi Tingkat Menteri WTO Ke-13 menyebut, jika Indonesia menyepakati perjanjian dengan WTO, maka perjanjian itu harus dilaksanakan di level kebijakan dalam negeri. “Sementara, sejauh ini perjanjian yang dilakukan dengan WTO kerap kali merugikan masyarakat, terutama rakyat kecil di dalam negeri,” kata Dani, Selasa, 5 Maret 2024.

Melihat sejarah perjalanan perjanjian WTO, kata Dani, banyak dari perjanjian itu yang merugikan kepentingan rakyat, terutama masyarakat adat, komunitas marjinal, petani dan nelayan di seluruh dunia. “Padahal nelayan melakukan aktivitas produksi di negara sendiri," katanya.

Dani mengatakan, WTO kerap melakukan kebijakan liberalisasi pangan yang membuat negara bergantung pada produk pangan dari perusahaan multinasional penghasil pangan, yang menyebabkan petani kecil kalah bersaing dan merugi.

Nelayan mengumpulkan ikan tanjan hasil tangkapan di Desa Lombang, Juntinyuat, Indramayu, Jawa Barat, Senin (13/3/2023). Foto: Antara Foto/Dedhez Anggara/foc

"Negara juga dirugikan akibat dari perjanjian perdagangan bebas, dari kelonggaran, pembebasan pajak, perlakuan yang sama," tegas Dani. Akibatnya, banyak jutaan petani miskin karena kalah bersaing dengan produk-produk dari perusahaan multinasional yang harganya lebih murah. "Untuk itu perlunya satu kontrol," dia menekankan.

Dalam rancangan teks WTO yang sedang dibahas, terdapat delapan jenis subsidi perikanan yang akan dilarang karena berkontribusi pada IUU Fishing, Overcapacity, dan Overfishing. Di antara subsidi yang dilarang adalah bahan bakar minyak, asuransi, biaya pegawai, subsidi peningkatan kapal, teknologi pencarian ikan, subsidi untuk mendukung kegiatan di laut hingga subsidi yang mencakup kerugian penangkapan ikan atau kegiatan terkait penangkapan ikan. 

Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Ahmad Heri Firdaus memandang, ada dua hal secara garis besar dalam merespon hasil WTO ke-13 ini. Pertama, apakah Indonesia sudah siap dengan aturan baru subsidi pada sektor perikanan. Kedua, dampaknya bagaimana ekonomi makro dan sektor perikanan. “Pemerintah harus pintar menyiasati, seolah tidak seperti subsidi nantinya,” ungkap Heri.

Heri menyebut, performa ekonomi makro akan berdampak dari penghapusan subsidi perikanan menurut kalkulasi model Computable General Equilibrium (CGE).

Widya Kartika, pengurus harian KNTI dalam paparannya menyebut, hasil survey 2021-2023 menunjukkan sekitar 4000 lebih dari 5000 responden atau 82 persen responden tidak dapat akses bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi. “Hasil survey 2023 menunjukkan hanya 63 responden dari 1963 responden,” kata Widya.

Widya mengatakan, meskipun survei dilakukan pada waktu dan lokasi berbeda, mayoritas nelayan kecil dan tradisional masih kesulitan dalam mengakses BBM bersubsidi.

“Berbagai hal yang menjadi penyebabnya, seperti administrasi, kelengkapan dokumen, kelengkapan stok, tidak mampu membeli secara tunai dan akses yang tidak terjangkau atau jarak terlalu jauh,” ungkap Widya.

Adanya kebijakan WTO yang melarang pemberian subsidi bagi nelayan kecil, kata Widya, akan menjadi sebuah ancaman bagi nelayan kecil dan tradisional dalam jangka panjang. “Karena saat ini pun, nelayan kecil dan tradisional menghadapi risiko saat melaut akibat perubahan iklim dan lainnya,” ujarnya.

SHARE