BRIN Targetkan Penemuan 50 Spesies Baru pada 2024

Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

Biodiversitas

Jumat, 01 Maret 2024

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID - Tahun lalu, peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) berhasil menemukan 49 taksa baru, yang didominasi oleh fauna dengan jumlah 1 marga, 38 spesies, dan 2 subspesies. Sisanya adalah flora 7 spesies dan mikroorganisme 1 spesies. Tahun ini BRIN menargetkan penemuan 50 taksa baru.

Kepala Pusat Riset Biosistematika dan Evolusi BRIN, Bayu Adjie mengatakan, penemuan 49 taksa baru itu menegaskan bahwa Indonesia merupakan “surga” bagi penelitian biodiversitas. Dia mengatakan, pengungkapan biodiversitas Nusantara, khususnya melalui penemuan spesies baru, menjadi salah satu prioritas utama BRIN.

Meskipun hanya sebagian kecil dari cakupan riset biosistematika dan evolusi, penemuan jenis baru memiliki dampak besar dalam asesmen biodiversitas serta menarik perhatian publik dan media massa. Untuk itu, pihaknya mengatakan terdapat target jumlah penemuan taksa baru setiap tahunnya. Tahun ini, kata Bayu, BRIN menargetkan penemuan 50 jenis baru, termasuk dari hewan, tumbuhan, dan mikroorganisme.

Dalam mendukung upaya itu, berbagai skema pendanaan diluncurkan, seperti Rumah Program dan Riset dan Inovasi Indonesia Maju (RIIM) Ekspedisi. “Kami saat ini sedang mempersiapkan RIIM Invitasi Strategis Ekspedisi Biodiversitas Terestrial yang akan difokuskan di pulau Kalimantan,” kata Bayu, Selasa (27/2/2024).

Kolase temuan taksa baru di 2023. Foto: BRIN

Menurut Bayu, sekitar 96 persen dari spesies baru yang ditemukan merupakan spesimen asal Indonesia. Ini terjadi karena fokus penelitian yang kuat pada spesies-spesies di Indonesia, yang terkenal dengan kekayaan keanekaragaman hayatinya yang luar biasa.

Meskipun sudah dieksplorasi sejak zaman kolonial, masih banyak yang belum terungkap di negeri ini, karena luasnya wilayah Indonesia dengan beragam ekosistem yang menjadi tempat penelitian biodiversitas.

Lebih lanjut Bayu menjelaskan, Indonesia demikian luas, terestrial maupun akuatik. Dengan demikian banyak tipe ekosistem, pulau-pulau, menjadi surga bagi penelitian biodiversitas. Menurutnya, negara-negara maju, rata-rata memiliki keanekaragaman hayati yang relatif rendah.

Dengan SDM periset, anggaran dan infrastruktur yang maju bisa dianggap riset biodiversitas selesai di negaranya. Sehingga para periset mengincar negara-negara dengan biodiversitas tinggi yang kebanyakan adalah negara berkembang untuk bekerja sama dalam riset biodiversitas.

BRIN menjalin kerja sama dengan berbagai pihak, baik dalam maupun luar negeri, seperti lembaga riset, universitas, dan NGO. "Kolaborasi menjadi kunci untuk mengatasi kendala-kendala seperti SDM, anggaran, dan infrastruktur dalam riset biodiversitas,” ujar Bayu.

Di sisi lain, setelah penemuan taksa tersebut, Bayu menjelaskan langkah selanjutnya yang dilakukan oleh BRIN adalah melakukan identifikasi dan studi lebih lanjut terhadap spesies baru tersebut.

Hal ini meliputi studi biologinya, pemanfaatan atau bioprospeksi, serta upaya konservasi jika diperlukan. Penemuan jenis baru membuka potensi baru dalam pemahaman akan keanekaragaman hayati dan mendesak perlunya perlindungan dan pelestarian spesies-spesies tersebut mengingat berbagai ancaman yang mereka hadapi.

Peneliti Ahli Utama Pusat Riset Biosistematika dan Evolusi BRIN, Amir Hamidy menjelaskan proses pencarian dan identifikasi 49 taksa baru yang baru-baru ini diumumkan. Penemuan itu melalui serangkaian eksplorasi sebelumnya dan validasi spesimen yang ada, peneliti BRIN berhasil mengungkapkan keberadaan taksa-taksa baru yang mengagumkan.

Dalam menentukan apakah sebuah taksa atau spesies merupakan taksa baru, Amir menekankan beberapa kriteria utama, termasuk karakter morfologi, molekuler, fisiologi, dan ekologi. “Pengamatan mendalam terhadap ciri-ciri ini membantu para peneliti dalam mengklasifikasikan dan mengidentifikasi spesies baru dengan akurat,” kata Amir.

Waktu yang dibutuhkan untuk menentukan sebuah taksa baru sangat bervariasi, bisa kurang dari satu tahun atau bahkan lebih dari 30 tahun, tergantung pada sejauh mana penelitian manusia telah mempelajari taksa tersebut.

Amir menerangkan dalam proses identifikasi, metode DNA Barcoding menjadi alat yang sangat berguna. Dengan menggunakan data sekuen DNA terkait, peneliti dapat dengan cepat membandingkan dan memvalidasi keberadaan taksa baru.

Amir juga membagikan pengalamannya yang berkesan dalam penelitian dan eksplorasi biodiversitas di Indonesia. Menurutnya, setiap pengamatan menawarkan keunikan dan kekayaan keanekaragaman alam Nusantara yang memukau para peneliti.

SHARE