Target Rehab Mangrove Tercapai 21%, Pakar: Klaim Terburu-buru
Penulis : Kennial Laia
Hutan
Rabu, 21 Februari 2024
Editor : Yosep Suprayogi
BETAHITA.ID - Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mencatat realisasi rehabilitasi mangrove hingga saat ini mencapai 130.000 hektare. Capaian ini jauh di bawah target pemerintahan Presiden Joko Widodo, yang pada 2021 menargetkan luasan 600.000 hektare hingga 2024. Artinya, capaian keseluruhannya hanya 21,6%.
Namun Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar mengatakan, target tersebut merupakan keseluruhan lanskap. “Target itu untuk seluruh lanskap. Jangan dibayangkan yang 600.000 hektare itu adalah pohon (mangrove) yang ditanam satu-satu. Sampai dengan tahun lalu, rehabilitasi sudah 130.000 hektare. Tahun ini akan lebih banyak lagi,” kata Siti di Taman Wisata Alam (TWA) Angke Kapuk, Sabtu, 17 Februari 2024, dikutip Okezone.com.
Siti mengatakan, pihaknya menargetkan rehabilitasi mangrove pada 2024 sekitar 50.000 hektare. “Tahun ini akan lebih banyak ada 50-70 ribu hektare akan ditanam," katanya.
Siti mengatakan, mangrove Indonesia mencapai 23% dari total luas hutan mangrove di dunia, yakni 3,36 juta hektare. Fungsi ekosistem tanaman ini beragam, termasuk menahan abrasi. Dalam konteks perubahan iklim, mangrove menyimpan cadangan karbon hingga empat kali lipat hutan tropis normal. Peran ini dapat mengurangi emisi pemicu pemanasan global di atmosfer.
Selain itu, pemerintah juga tengah mengembangkan pusat riset mangrove (Mangrove World Center) di Bali, yang merupakan kolaborasi antara Indonesia dengan negara lain termasuk Jepang dan Jerman.
Sebagai catatan, Indonesia kehilangan tutupan hutan mangrove seluas 52.000 hektare setiap tahunnya. Angka ini setara dengan luas Kota New York, Amerika Serikat. Sementara itu dalam 30 tahun terakhir, Indonesia kehilangan 900.000 hektare mangrove, sehingga luasnya yang semula 4,2 juta hektare menjadi 3,3 juta hektare.
Direktur Program Mangrove Ecosystem Restoration Alliance (MERA), Muhammad Imran Amin mengatakan, capaian tersebut sudah cukup bagus. Dia menilai bahwa pendekatan lanskap yang diklaim pemerintah sudah tepat, yakni dengan melihat keseluruhan ekosistem mangrove di suatu wilayah.
Selain itu, Imran menilai bahwa target 600.000 hektare yang ditetapkan pemerintah dalam Peraturan Presiden Nomor 120 Tahun 2020 tentang Badan Restorasi Gambut dan Mangrove terlalu ambisius, dan membandingkannya dengan luas kawasan kritis mangrove sekitar 500.000 hektare. Pemerintah juga menetapkan lokasi rehabilitasi hanya di sembilan provinsi.
“Capaian angka tersebut jauh lebih baik dari sebelumnya. Karena sebenarnya kalau bicara data faktual, target tersebut terlalu besar dan dikunci di sembilan provinsi,” kata Imran.
Sementara itu anggota Indonesian Mangrove Society (IMS), I Nyoman Suryadiputra mengatakan, keberhasilan rehabilitasi tidak bisa diketahui dalam waktu sesaat. Namun harus melihat jangka panjang. Pasalnya bibit mangrove membutuhkan waktu untuk tumbuh, paling sedikit tiga hingga lima tahun.
“Ini karena setelah tiga-lima tahun bibit mangrove itu akan lebih kuat atau bertahan di lokasi tanamnya. Tapi kalau baru menanam hari ini atau satu tahun, tidak bisa menilainya. Karena bibit yang masih muda mudah sekali tercerabut oleh gelombang, arus laut, gangguan binatang seperti kepiting atau teritip, maupun karena aktivitas manusia seperti perahu yang mendarat di pinggir pesisir,” kata Nyoman.
“Jadi evaluasinya tidak dalam waktu singkat. Bila perlu setelah lima tahun harus tahu apakah yang kita tanam itu masih ada bukti di lapangan dia hidup atau enggak,” kata Nyoman.
Nyoman mengatakan bahwa pemerintah masih menghadapi banyak tantangan dalam melakukan rehabilitasi mangrove, mulai dari keberadaan tambak hingga status lindung hutan mangrove yang tidak menyeluruh.
SHARE