Transisi Energi Dibayang-bayangi Solusi Palsu

Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

Energi

Senin, 29 Januari 2024

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID - Gelombang respon masyarakat sipil terhadap debat calon wakil presiden (cawapres) Pemilu 2024 terus bergulir. Trend Asia misalnya, menilai pelaksanaan transisi energi yang ditawarkan oleh para cawapres masih rentan terhadap solusi palsu. Hal itu tergambar dari paparan masalah transisi energi yang masih berorientasi pada penyediaan energi sentralistik.

Dalam rilisnya, Trend Asia memaparkan, transisi energi berkeadilan yang berulang kali disebut para kandidat cawapres tidak menyinggung demokratisasi energi secara substansial: hak masyarakat untuk menentukan sumber energi yang mereka butuhkan dan pemerintah memberi dukungan kepada mereka.

Desa mandiri energi sebagaimana disebutkan oleh cawapres sebagai program kebanggaan, nyatanya tidak menginformasikan pentingnya efisiensi energi, khususnya di daerah perkotaan sebagai konsumen besar energi. Trend Asia juga melihat debat tersebut tidak menyinggung perkara over supply listrik di Indonesia, terutama di Jawa, Madura, Bali, dan Sumatra yang kemudian oleh pemerintahan Jokowi semakin dibebankan kepada warga.

"Selain itu, para cawapres juga tidak mengkritik Pemerintahan Jokowi yang terlihat jelas mendorong konsumsi energi berlebihan pada masyarakat seperti pemberian insentif pada kendaraan listrik pribadi, hingga melempar wacana terkait program kompor listrik," kata Trend Asia dalam catatan kritisnya, Rabu (24/1/2024) kemarin.

PLTS terapung Cirata di Purwakarta, Bandung Barat. Dok BKPM

Kemudian, Trend Asia menganggap kebanggaan cawapres terhadap program PLTS Cirata di Jawa Barat yang bekerja sama dengan PT Masdar dan dianggap sebagai salah satu bentuk nyata dari dukungan energi hijau menunjukkan bahwa pemahaman cawapres tentang energi terbarukan masih sesempit penggunaan sumber energi yang bersih, tapi mengabaikan masalah ketidakadilan kepada manusia dan lingkungan yang terjadi.

Menurut Trend Asia, pemanfaatan PLTS skala besar dapat memicu masalah baru bagi kehidupan, belum lagi apabila dalam prosesnya, pengadaan PLTS berpotensi memicu konflik akibat penyediaan lahan besar-besaran. Padahal proses transisi energi yang seharusnya membawa kesejahteraan bagi masyarakat.

Dalam debat tersebut, lanjut Trend Asia, tidak ada cawapres yang menyinggung tentang sulitnya para pegiat energi terbarukan berbasis komunitas dalam rangka pemenuhan kedaulatan energi masyarakat di dalamnya. Contoh nyata pengabaian pemerintah terhadap komunitas terjadi di Batu Songgan, Riau, yang saat ini telah memiliki sumber energi mandiri di desa mereka yakni PLTA mikrohidro, tapi justru keberadaannya terancam karena PLN memasang tiang-tiang listrik di wilayahnya.

Trend Asia melihat gagasan dorongan transisi energi juga terdapat solusi palsu seperti penggunaan carbon capture utilization & storage (CCUS) dan pembangkit listrik panas bumi. Penggunaan CCUS terbukti mahal dan tidak efektif sebagai solusi dekarbonisasi.

"Padahal CCUS justru menjadi celah untuk praktek greenwashing perusahaan energi kotor untuk melancarkan bisnisnya. Laporan IEEFA (2022) menjelaskan bahwa biaya “tangkap” dari penggunaan CCUS ini mencapai US$50-100 per ton," ujar Trend Asia.

Solusi palsu lain yang disebutkan yakni pemanfaatan panas bumi yang saat ini telah dilakukan di berbagai wilayah di Indonesia, seperti yang terjadi di Sorik Marapi, Mataloko, Tiwu Ata Bupu, Sokoria, Sarulla, Dieng, dll., serta memiliki banyak kerugian bagi masyarakat di sekitar lokasi seperti risiko ekonomi, pencemaran air, pencemaran panas, dan kebisingan, hingga pemasangan jalinan kabel transmisi dan distribusinya.

Trend Asia menyebut permasalahan penting seperti batu bara tidak dibahas dalam debat keempat, padahal pertambangan batu bara merupakan sektor vital dalam eksploitasi di Indonesia. Kecanduan batu bara menjadikan beberapa wilayah yang menjadi titik eksploitasi batu bara rentan terhadap bencana ekologis.

Selain itu, penggunaan batu bara dari hulu ke hilir selalu merugikan masyarakat, seperti lubang tambang yang dibiarkan terbuka dan mengakibatkan kematian anak-anak, pencemaran batu bara pada stockpile batu bara di kawasan Marunda, Jakarta Utara yang mengakibatkan gatal-gatal pada perempuan dan anak.

Masalah batu bara ini akan terus berlanjut karena istilah EBT terkhusus istilah energi baru yang berkali-kali disebut oleh para cawapres juga masih memuat pemanfaatan batu bara sebagai sumber energi dalam bentuk gas metana batu bara (coal bed methane), batu bara tercairkan, batu bara tergaskan, hingga PLTU co-firing (pencampuran batu bara dengan kayu untuk bahan baku PLTU).

"Dalam debat tersebut, publik juga tidak mendengar rencana para kandidat untuk pembatalan PLTU-PLTU batu bara baru, termasuk di antaranya PLTU batu bara captive atau batu bara industri, serta pemensiunan PLTU batu bara yang seharusnya menjadi sorotan penting," ujar Trend Asia.

Alternatif untuk menurunkan karbon yang disebutkan oleh para kandidat, lanjut Trend Asia, juga masih diletakkan dalam kerangka komoditas melalui pajak karbon, bukan sebagai kebijakan disinsentif bagi pengusaha industri fosil.

Trend Asia berpendapat, proses debat cawapres kemarin terlihat seperti wadah pamer istilah teknis tak substantif, salah satunya penyebutan greenflation atau green inflation dalam konteks kehati-hatian dalam transisi energi. Ketiga cawapres tidak memahami dengan jelas bahwa inflasi, terutama inflasi bahan bahan kebutuhan pokok yang terjadi di Indonesia sangat terkait dengan energi fosil, sehingga seharusnya yang tepat bukanlah greenflation, tapi fossilflation atau fossil inflation.

"Transisi energi memang perlu kehati-hatian, tapi pernyataan cawapres tentang hal tersebut bertentangan dengan kehati-hatian dalam hal pemberian ruang bagi solusi palsu yang mahal, belum terbukti, dan tidak berkelanjutan," kata Trend Asia.

"Alih-alih menakut-nakuti warganya terhadap kebutuhan dan keniscayaan transisi energi, keberpihakan pada energi terbarukan dan kesejahteraan masyarakat harusnya menjadi poin utama," imbuh Trend Asia.

SHARE