Level CO2 Bakal Meningkat pada 2024 Akibat Dampak El Nino 2023
Penulis : Kennial Laia
Perubahan Iklim
Kamis, 25 Januari 2024
Editor : Yosep Suprayogi
BETAHITA.ID - Peningkatan karbon dioksida di atmosfer tahun ini diperkirakan akan melampaui target utama untuk membatasi pemanasan hingga 1,5 derajat Celcius, berdasarkan prediksi Kantor Meteorologi Inggris (Met Office). Para peneliti pun kembali menegaskan hanya pengurangan emisi drastis yang dapat mempertahankan target tersebut.
Meningkatnya emisi bahan bakar fosil dan penggundulan hutan diperkirakan akan diperparah pada 2024 dengan fenomena siklus cuaca El Niño, yang mengurangi kemampuan hutan tropis dalam menyerap karbon.
Met memperkirakan hal ini akan mendorong kenaikan konsentrasi karbon dioksida (CO2) rata-rata tahunan yang "relatif besar" yang diukur tahun ini di Observatorium Mauna Loa di Hawaii—sekitar 2,84 bagian per juta (ppm) lebih tinggi dibandingkan tahun 2023.
Para peneliti mengatakan hal ini kemungkinan akan membawa dunia keluar dari jalur utama yang ditetapkan oleh Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC) PBB untuk membatasi pemanasan hingga 1,5°C di atas tingkat pra-industri—tujuan yang lebih ambisius dari Perjanjian Paris tahun 2015.
“Tampaknya semakin tidak mungkin kita membatasi pemanasan hingga 1,5°C,” kata Richard Betts, penulis perkiraan CO2, dikutip dari Phys.org, Selasa (23/01).
“Secara teknis, kita masih bisa melakukan hal ini jika emisi segera dikurangi secara drastis, namun skenario yang digunakan IPCC menunjukkan penumpukan CO2 di atmosfer sudah melambat untuk mencapai target tersebut,” ujarnya.
Para ilmuwan memperingatkan bahwa dunia semakin dekat untuk mengalami pemanasan sebesar 1,5°C atau lebih setiap tahunnya, meskipun hal ini tidak berarti pelanggaran terhadap target Paris, yang diukur selama rata-rata dua dekade.
IPCC telah menyatakan bahwa jika emisi terus berlanjut, suhu dunia akan melebihi 1,5°C pada awal tahun 2030-an.
“Kami tidak melihat adanya tanda-tanda untuk menghindari hal tersebut dalam hal penumpukan CO2 di atmosfer,” kata Betts.
Pada pekan kedua Januari, Organisasi Meteorologi Dunia PBB mengonfirmasi bahwa 2023 adalah tahun terpanas yang pernah tercatat dengan selisih yang sangat besar, sehingga suhu rata-rata global tahunan berada pada 1,45 derajat Celcius di atas suhu pra-industri (1850-1900).
Tahun ini bisa jadi lebih panas lagi karena pola iklim El Niño yang terjadi secara alami, yang muncul pada pertengahan tahun 2023, biasanya meningkatkan suhu global pada satu tahun setelahnya.
El Niño juga membawa kondisi yang lebih panas dan kering di hutan tropis dan lahan gambut sehingga mengurangi kemampuannya dalam menyerap karbon dari atmosfer. Biasanya sekitar setengah dari emisi manusia diambil kembali dari atmosfer oleh ekosistem dan diserap di laut.
“Layanan gratis tersebut melemah ketika terjadi El Niño, sehingga berarti lebih banyak emisi kita yang bertahan di atmosfer tahun ini,” kata Betts.
Ada kekhawatiran khusus terhadap wilayah Amazon, yang telah mengalami kekeringan parah, panas dan kebakaran, kata Betts.
Para ahli PBB telah menghitung bahwa emisi harus dikurangi hampir setengahnya dalam dekade ini untuk mempertahankan batasan 1,5°C. Namun polusi karbon justru terus meningkat.
Mauna Loa, yang telah memantau tingkat CO2 di atmosfer sejak 1958, telah menelusuri garis tren yang mungkin berfluktuasi namun secara umum terus meningkat.
Untuk memprediksi konsentrasi CO2 tahun ini di Mauna Loa, yang dianggap mewakili rata-rata global, Met Office menggunakan data emisi yang digabungkan dengan pengamatan dan prakiraan suhu permukaan laut di Pasifik timur khatulistiwa—yang merupakan indikator El Niño.
Betts mengatakan bahwa bahkan tanpa efek El Niño, perkiraan penumpukan CO2 di atmosfer akan berada pada "batas konsistensi yang sangat tinggi" dengan skenario IPCC 1,5°C.
Ia menekankan bahwa meskipun hal ini bukan satu-satunya cara untuk mempertahankan batas 1,5°C, semua cara yang mungkin dilakukan adalah dengan melakukan pengurangan emisi secara mendesak.
SHARE