Penumpang Gelap Program Jokowi di Sumut Picu Konflik Agraria-SDA

Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

Agraria

Rabu, 17 Januari 2024

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID - Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sumatera Utara (Sumut) mengungkapkan, setidaknya ada 18 kasus konflik agraria-sumber daya alam yang meletus di Sumut sepanjang 2023. Kasus-kasus ini berada di areal seluas 18.140 hektare, 9 kasus di kawasan hutan dan 9 lainnya di areal penggunaan lain (APL). Akibat kasus-kasus tersebut, sekitar 7 ribu kepala keluarga harus hidup dalam bayang-bayang konflik, ketidaknyamanan, dan ancaman kehilangan sumber penghidupan.

"16 orang kena jerat kriminalisasi, sementara aktor penyebabnya mendapat perlindungan khusus dari negara. (Aktor itu) baik berlabel negara langsung dan swasta, seperti BUMN perkebunan, institusi kehutanan, badan usaha atau koperasi militer, hingga perusahaan swasta di bidang perkebunan sawit, hutan tanaman industri, logging, hingga pembangunan infrastruktur," kata Walhi dalam Catatan Akhir Tahun (Catahu) Walhi Region Sumatra, yang dipaparkan Kamis (11/1/2024) pekan lalu.

Walhi menuturkan, konflik-konflik ini juga dipicu oleh para penunggang gelap program Perhutanan Sosial Presiden Jokowi. Dalam 3 tahun terakhir, di Sumatera Utara, Walhi menemukan ada 10 kasus konflik Perhutanan Sosial pasca-diterbitkannya izin di 6 kabupaten, termasuk di Langkat, Dairi, dan Labuhan Batu Utara, dengan luas areal mencapai kuran lebih 7.322 hektare.

Ada dua modus penunggang gelap tersebut. Pertama tumpang tindih penguasaan hutan terjadi antara pemegang izin Perhutanan Sosial (KTH–kelompok tani hutan) dengan oknum pengusaha/pemodal. Kedua, Program Perhutanan Sosial dimanfaatkan oleh oknum pengusaha/pemodal tertentu untuk mendapatkan akses kelola hutan secara sah dengan menggunakan identitas masyarakat lokal dan pekerja atau buruh sebagai pengurus dan anggota kelompok tani hutan.

Proyek pembangunan PLTA Batang Toru di tepi sungai dalam ekosistem Batang Toru diperkirakan akan merusak habitat satwa endemik, orangutan tapanuli. Proyek ini berpengaruh terhadap titik pertemuan satwa di Sungai Batang Toru. kredit foto: Yudi Yudi Nofiandi/Auriga Nusantara

Walhi juga menyoroti pemutihan perkebunan sawit dalam kawasan hutan. Di Sumut, ada sekitar 157.054 hektare perkebunan sawit yang berada di dalam kawasan hutan yang sedang mengurus "pengampunan" di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Yang mana pengusul pengampunan itu mayoritas adalah perusahaan perkebunan sawit.

"Ada 43 (korporasi) perkebunan sawit dengan luas mencapai 128.288 hektare. Kemudian 10.553 hektare diusulkan oleh 5 koperasi. Selanjutnya ada 22 kelompok tani dan ormas yang mengusulkan total 11.829,32 hektare. Dan ada 43 perorangan yang mengusulkan lahan seluas 6.383,6 hektare," urai Walhi.

Menurut Walhi, lansekap dan ekosistem esensial di Sumut juga cukup urgen untuk mendapatkan perlindungan. Terutama ekosistem Batang Toru. Dari total luas 151.705 hektare ekosistem Batang Toru, 80% merupakan areal peruntukan perusahaan energi panas bumi dan pertambangan, 10% tambang emas, dan sisanya perusahaan pembangkit listrik tenaga air (PLTA) hingga logging.

Walhi menilai kebijakan mengenai ekosistem yang ada saat ini kurang memberikan pengaruh yang positif terhadap ekosistem. Di Sumut, kawasan Batang Toru merupakan kawasan ekosistem esensial yang hingga saat ini belum ada kebijakan khusus terkait tentang ini.

Soal transisi energi, lanjut Walhi, di Sumut perubahan sumber energi membutuhkan transformasi sistem secara besar-besaran. Dalam hal ini, tidak hanya pembangunan infrastruktur baru dan aspek teknologi yang diperlukan tetapi juga menyangkut masyarakat sebagai pembuat keputusan dan juga sebagai pihak yang akan terdampak oleh transisi energi.

Walhi mencontohkan, seperti yang terjadi di PLTA Batangtoru di Kabupaten Tapanuli Selatan, PLTU Pangkalan Susu di Langkat dan PT Sorik Marapi Geothermal Power yang berada di Kabupaten Mandailing Natal. Gagasan mengenai transisi energi, kata Walhi, sering kali hanya berfokus pada aspek teknologi, sehingga aspek lain seperti aspek sosial, ekonomi dan lingkungan menjadi cenderung terabaikan.

"Misalnya, ketika membicarakan mengenai kebutuhan pendanaan untuk membangun infrastruktur energi terbarukan, biaya untuk mitigasi risiko sosial seringkali tidak masuk dalam perhitungan. Jika tujuan utamanya adalah mencapai transisi energi yang berkeadilan, maka sudah saatnya untuk mulai mempertimbangkan dimensi sosial dari transisi energi, khususnya yang berada di Sumatera Utara," ujar Walhi.

Walhi juga menilai penegakan hukum lingkungan hidup di Sumut masih lemah. Walhi mengungkapkan, ada 13 kasus pencemaran lingkungan yang mencuat di 2023. Mulai dari pencemaran air, pencemaran laut, tanah, sungai, hingga udara. Sumber penyebabnya seperti kapal internasional pengangkut aspal, aktivitas pelabuhan, pabrik, PLTU, hingga SPBU.

Pertambangan, kata Walhi, menyumbang 18 kasus kerusakan lingkungan di Sumut pada 2023. Dari yang legal hingga ilegal, banyak kasus Galian C yang peruntukannya sebagian adalah untuk proyek nasional. Beberapa perusahaan yang terindikasi sebagai pelaku di antaranya PT Harazaki Ananta dan PT Nusantara Hidrotama, PT Karya Sejati Utama, PT ANRA, PT Karya Sejati Utama, PT Jaya Konstruksi, CV Par T, dan pengusaha perorangan tanpa izin.

"Hingga saat ini belum ada upaya penegakan hukum terhadap kasus-kasus lingkungan di Sumut," kata Walhi.

Terakhir Walhi juga mewanti-wanti kejadian bencana alam yang seharusnya sudah dianggap sebagai peringatan rusaknya alam. Walhi mencatat sepanjang 2023 lalu setidaknya ada 40 bencana ekologis melanda Sumut. Sebagian besar adalah banjir dan longsor. Dari bencana tersebut 22 orang meninggal dunia, sekitar 1.000 orang terpaksa mengungsi dan 1.231 bangunan rumah dan infrastruktur rusak.

SHARE