Hikmah Sidang Haris-Fatia: Mengenal Liak-liuk Bisnis Pejabat
Penulis : Aryo Bhawono
Hukum
Senin, 15 Januari 2024
Editor : Yosep Suprayogi
BETAHITA.ID - Sidang perkara dugaan pencemaran nama baik Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Panjaitan, berakhir dengan vonis bebas murni terhadap Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti pada Senin lalu (8/1/2024). Perjalanan sidang memuat informasi penting untuk mengenal pejabat, mantan pejabat, ataupun tokoh yang memiliki kepentingan bisnis pribadi pada saat maupun setelah menjalankan tugas pemerintahan.
Sidang kasus yang menyeret Haris dan Fatia sebagai terdakwa itu menghadirkan saksi ahli, Yunus Husein, mantan Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) pada 2 Oktober 2023 lalu. Kehadiran Yunus diajukan oleh penasihat hukum kedua terdakwa untuk mengungkap relasi antara pejabat dan kepentingan bisnis.
Yunus tak mengungkap secara langsung relasi Luhut dengan PT Madinah Qurrata'ain (MQ) melalui anak perusahaan PT Toba Sejahtra, PT Tobacom Del Mandiri. PT MQ dalam persidangan disebut merupakan perusahaan pemegang konsesi tambang emas seluas 23.150 hektare di Intan Jaya, Papua. Sedangkan PT Toba Sejahtra disebut merupakan perusahaan milik Luhut.
Meski begitu, Yunus mengungkap berbagai istilah dan pengertian jenis relasi seseorang, termasuk pejabat, dengan korporasi. Perpres No 13 Tahun 2018 Tentang Penerapan Prinsip Mengenali Pemilik Manfaat Dari Korporasi Dalam Rangka Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang dan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme menjadi perangkat untuk mengenali relasi ini.
Pertama adalah pemilik manfaat (beneficial ownership/ BO), yakni orang yang dapat mengatur jabatan, mengontrol, serta menerima manfaat korporasi secara langsung dan tidak langsung. Perpres No 13 Tahun 2018 ini menyebutkan kepemilikan saham di atas 25 persen dan kedudukan di komisaris ataupun direksi terkategori ke dalam pemilik manfaat.
Namun menurut Yunus hal ini tak mutlak. Ia menyebutkan, seseorang dapat memiliki kontrol atas perusahaan meski ia tidak ada dalam struktur komisaris maupun direksi ataupun tidak terdata sebagai pemilik saham.
“Kuncinya adalah kontrol. Pemilik manfaat itu mengendalikan, mengontrol, suatu perusahaan. Bahkan kadang-kadang transaksi dia kontrol juga. Beneficial owner ini dalam banyak hal lebih kuat daripada legal owner. Kalau legal owner, nama yang muncul di dokumen tapi tidak controlling. BO walaupun tidak muncul di dokumen, bisa dia controlling,” ucap dia dalam persidangan.
Ia mencontohkan cara melihat BO dalam berbagai kasus suap dan korupsi. Salah satunya adalah kasus korupsi kartu tanda penduduk berbasis elektronik (e-KTP) yang menyeret Ketua DPR, Setya Novanto, pada 2017 lalu.
Setya merupakan BO dari PT Murakabi Sejahtera, salah satu perusahaan dalam konsorsium proyek e-KTP. Namun nama dia sama sekali tak nampak dalam struktur direksi, komisaris, maupun pemegang saham.
Direktur perusahaan itu adalah Vidi Gunawan, keluarga kolega Novanto. Anak perempuannya, Dwina Michaella, duduk sebagai Komisaris PT Murakabi Sejahtera.
Sedangkan secara kepemilikan saham, istri dan anaknya, Deisti Astriani Tagor dan Rheza Herwindo, menjadi pemegang saham melalui PT Mondialindo Graha Perdana. Namun, kata Yunus, seluruh aktivitas perusahaan itu dikendalikan oleh Setya.
Pemilik manfaat sebuah korporasi bisa bertingkat, artinya tidak hanya satu perusahaan saja. Hal ini biasa disebut sebagai ultimate BO.
Kedua, adalah politically exposed person (PEP). Peraturan PPATK No 11 Tahun 2020 Tentang Tata Cara Pemanfaatan Aplikasi PEP menyebutkan mereka sebagai orang yang tercatat atau pernah tercatat sebagai penyelenggara negara sebagaimana dimaksud dalam perundangan memiliki atau pernah memiliki kewenangan publik atau fungsi penting.
Menurutnya PEP adalah orang yang menonjol (prominent people). Mereka adalah penyelenggara negara yang sedang atau sudah tidak menjabat namun masih memiliki pengaruhnya. Saking besar pengaruh, keluarga mereka pun, anak dan istri, dianggap sebagai PEP.
Pihak perbankan menggolongkan mereka sebagai nasabah dengan risiko tinggi karena jabatan dan pengaruh tinggi yang dimiliki PEP. Jika ingin membuat rekening bank, mereka memiliki formulir aplikasi yang berbeda.
“Misalnya saja seorang pensiunan jenderal (kepolisian ataupun militer), begitu pensiun apakah langsung hilang pengaruhnya? Pasti masih ada, apalagi budaya kita memang seperti itu,” jelas Yunus.
Penegak hukum menelisik pemilik manfaat ataupun PEP untuk membuktikan keterkaitan seseorang dengan aktivitas sesuatu yang dia kontrol, untuk menentukan legal atau tidaknya aktivitas itu.
Informasi mengenai PEP yang masih menjabat ini bisa diketahui melalui melalui daftar pejabat yang ada dalam Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) di KPK.
Sedangkan jika informasi yang dibutuhkan mengenai PEP terkait penegakan hukum maka dapat melalui pengajuan ke PPATK. PEP yang sudah tidak menjabat, seperti tokoh, pensiunan pejabat, ataupun artis, dapat diajukan melalui PPATK.
“KPK juga bisa mengajukan sendiri, dan bank biasanya harus membuat database mengenai nasabahnya yang selalu di-update setiap waktu,” ucapnya.
Ketiga mengenai revolting door, yakni perpindahan seseorang dari jabatan sektor publik, baik eksekutif, legislatif, maupun yudikatif, ke sektor swasta. Tujuan perpindahan ini adalah meraup kepentingan pribadi atau kepentingan korporasi tempatnya bekerja.
Yunus menyebutkan seorang pejabat seharusnya tidak langsung menduduki jabatan pada sektor yang dulu berada di bawah kewenangan atau pengawasannya. Misalnya saja seorang Gubernur Bank Indonesia, begitu pensiun tidak boleh memegang jabatan di bank swasta.
Sayangnya aturan mengenai masa jeda usai menjabat (cooling off period) tidak diatur secara ketat di Indonesia. Padahal sumber dari korupsi, kata dia, banyak berawal dari conflict of interest semacam ini.
“Misalnya dulu pernah terjadi Kabareskrim, begitu pensiun ketemu rapat sama saya sudah jadi pengacara. Ini kan conflicting, harusnya diatur dengan tegas,” ucapnya.
Dalam kesempatan terpisah, Ekonom Faisal Basri mengungkapkan konflik kepentingan seorang pengusaha yang kemudian duduk sebagai pejabat atau mantan pejabat yang duduk sebagai pengusaha selama ini menimbulkan masalah, terutama di sektor sumber daya alam. Mereka memanfaatkan kewenangan ataupun pengaruh untuk memaksakan penguasaan kawasan oleh korporasi, baik itu tambang, infrastruktur, energi, perkebunan, maupun usaha kehutanan.
Alhasil kepentingan lingkungan dan masyarakat cenderung dikesampingkan. Bahkan muncul potensi kerugian negara.
“Saya menyebutnya pejabat muka dua, sekarang penguasa dan besok jadi pengusaha. Ini bukan hanya konflik kepentingan tapi ini satu sosok berperan dua,” ucap dia dalam konferensi pers "Pasca Putusan Kasus Kriminalisasi Fatia-Haris" pada Rabu (10/1/2024).
Kuasa Hukum Haris Azhar, Nurkholis Hidayat, mengungkapkan kesaksian Yunus ini memberikan informasi penting mengenai bagaimana pejabat atau pensiunan pejabat memanfaatkan pengaruhnya untuk kepentingan bisnis pribadi. Ia menyebutkan, meski seorang pengusaha berhenti dari perusahaannya kemudian menduduki jabatan di pemerintahan maka tidak bisa serta merta disebut tak memiliki kepentingan.
“Informasi ini merupakan sumbangan kecil dari persidangan. Selama ini banyak yang berpandangan ketika seseorang mundur dari jabatan maka dia sudah selesai dengan kepentingannya, ternyata tidak. Kualifikasi BO, menunjukkan mereka (pejabat) masih punya kepentingan bisnis pribadi,” kata dia.
SHARE