Walhi Kritik Luputnya Hak Atas Lingkungan Hidup di Debat Capres 1
Penulis : Raden Ariyo Wicaksono
HAM
Senin, 18 Desember 2023
Editor : Yosep Suprayogi
BETAHITA.ID - Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) menyatakan gagasan tentang hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat luput dari debat calon presiden (debat capres 1) pada Selasa (12/12/2023) lalu. Padahal hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat termasuk salah satu bagian Hak Asasi Manusia (HAM) yang menjadi topik Debat Capres 1.
HAM diamanatkan dalam Pasal 9 Ayat (3) Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 dan Pasal 28h Ayat (1) Konstitusi UUD 1945.
"Dalam ruang lingkup HAM, Walhi menyoroti perdebatan calon presiden luput menarik akar masalah, khususnya terkait dengan jaminan pemenuhan atas hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat yang merupakan bagian dari HAM di setiap pembahasan," kata Walhi dalam keterangan resminya, Rabu (13/12/2023).
Pembahasan HAM pertama dilontarkan dengan menarik isu Papua. Jawaban dari Prabowo, kandidat presiden nomor urut 2, tulis Walhi, jauh dari harap dengan mengatakan masalah Papua sangat rumit. Bagi Prabowo, kerumitan itu terjadi karena bukan hanya masalah di internal wilayah tetapi juga persoalan geopolitik.
Menurut Prabowo, masalah di Papua rumit karena ada gerakan separatis. Ada campur tangan asing. Kekuatan-kekuatan tertentu ingin Indonesia pecah dan disintegrasi. HAM harus ditegakkan karena KKB meneror warga Papua, melakukan kekerasan dan solusi yang ingin dilakukan Prabowo adalah dengan menegakkan hukum, mempercepat pembangunan ekonomi dan sosial Papua. Narasi Prabowo menunjukkan betapa ahistoris kandidat ini terhadap isu Papua.
Demikian pula dengan pandangan Anies Baswedan, capres nomor urut 1. Anies menarik masalah konflik dan HAM di Papua adalah masalah keadilan. Bagi Anies, masalah utamanya karena tidak ada keadilan. Damai itu karena ada keadilan. Anis juga menekankan keharusan untuk melakukan dialog dengan semua secara partisipatif. Pandangan Anies serupa dengan pandangan Ganjar, capres nomor urut 3.
Menurut Walhi, kedua kandidat ini menghilangkan akar masalah konflik yang sesungguhnya adalah masalah demokratisasi sumber daya alam. Pengelolaan sumber daya alam di Papua secara tidak demokratis telah menimbulkan kerusakan sosial-ekologis yang menjadi konflik berkepanjangan. Lebih dari pendekatan dialog apalagi keamanan, masalah Papua seharusnya dipandang lebih serius dan mendalam dengan mengurai akar masalah konflik.
Dari perdebatan tersebut dapat ditarik satu garis kealpaan, bahwa persoalan dampak lingkungan hidup dan pembangunan yang timpang tidak muncul dalam agenda para kandidat. Padahal, HAM, pemberantasan korupsi, penguatan demokrasi, peningkatan layanan publik, dan kerukunan warga--yang menjadi tema debat itu--memiliki hubungan yang saling memengaruhi. Kelima tema itu bertemu dalam satu momen persoalan yang disebut ketimpangan.
Tidak sentuh persoalan penguasaan sumber daya alam
Direktur Eksekutif Nasional Walhi, Zenzi Suhadi menganggap perdebatan para kandidat capres, tema HAM tidak menyentuh persoalan penguasaan sumber daya alam sebagai salah satu akar utama ketidakadilan. Padahal ketidakadilan selalu bersinggungan dengan hak dasar (basic rights) warga negara dalam berbagai ruang; desa dan kota saling membentuk dan dibentuk.
“Gejolak konflik Papua yang tak kunjung usai perlu dilihat dari sudut pandang ketimpangan. Papua selalu dijadikan objek yang dikeruk dan dieksploitasi kekayaan alamnya. Ia berdampak pada hilangnya hak atas tanah masyarakat adat dan menimbulkan krisis lingkungan,” ujarnya.
Solusi pembangunan ekonomi, seperti jawaban Prabowo, kata Zenzi, tidak menggambarkan model pembangunan tertentu. Data peningkatan ekonomi di Papua yang ditunjukkan kandidat Prabowo adalah seperti suatu seni sulap data ekonomi makro. Data ekonomi makro menutupi kandasnya banyak ekonomi mikro dan kearifan masyarakat Papua.
Zenzi bilang, ide pembangunan ekonomi yang disampaikan Prabowo itu bersifat ekstraktif dan timpang, seperti yang berjalan selama ini, yang justru berdampak pada hilangnya hak dasar (basic rights) warga negara. Contoh penerapan model pembangunan ekonomi ekstraktif dan ekspansif ini ditunjukkan melalui perampasan hutan-hutan adat untuk pembangunan tol dan program food estate (awalnya MIFEE).
"Pembangunan ekonomi model itu telah menghadirkan ketidakadilan pada masyarakat adat Papua. Perampasan hutan seluas kurang lebih 2.684.680,68 hektare telah mendorong laju konversi dan deforestasi yang berdampak pada kehidupan masyarakat di Papua,” kata Zenzi.
Zenzi menguraikan, model pembangunan ekonomi yang ekspansif dan ekstraktif itu, pada akhirnya melegitimasi kebijakan ekonomi yang padat modal melalui skema investasi dan sentralistik, lepas dari cara pengelolaan yang demokratis. Tercatat 36 perusahaan terlibat menggarap food estate dalam program MIFEE, meliputi Wilmar International, Medco Group, Rajawali Group, Murdaya Poo Group, PT Bangun Tjipta Sarana, Sinar Mas Group dan Artha Graha Group
Masalah ekstraksi sumber daya alam Papua sebagai penyulut ketimpangan juga berkorelasi dengan tempat lain. Papua tidak dapat dilihat sebagai hanya Papua. Ia bertalian dengan wilayah lain, seperti Jawa. Ada pengrusakan lingkungan di Papua di satu sisi, dan pembangunan perkotaan di Jawa, yang sama-sama merusak lingkungan.
Selain itu, kerusakan lingkungan hidup juga tidak ‘dibunyikan’ di dalam penanganan tindak pidana korupsi. Padahal, lingkungan hidup menjadi satu dari sekian target kerakusan koruptor melalui berbagai mekanisme kelicikan.
Merujuk data Indonesian Corruption Watch (2023), jumlah korupsi sumber daya alam berjumlah 35 temuan yang menyebabkan kerugian negara senilai Rp6.991.905.298.412 dengan kategori suap dan pungli senilai Rp104.315.000.000 dan pencucian uang senilai Rp700.000.000.000. Korupsi melalui perizinan yang berdampak pada kerusakan lingkungan hidup dan hak atas lingkungan warga negara mengindikasikan lemahnya pelayanan publik tidak berintegritas. Sayangnya, persoalan ini luput dari perdebatan ketiga capres.
"Praktis, pada pembahasan debat pertama, isu lingkungan hanya disebut dalam persoalan pembangunan IKN dan polusi Jakarta. ketiga Capres hanya memperdebatkan persoalan teknis, lanjut atau tidak lanjut, dan juga anggaran," ucap Zenzi.
Persoalan IKN sama sekali tidak memperlihatkan persoalan dampak lingkungan yang bakal menimbulkan krisis di masa depan, bahkan pemulihan atas ekstraksi di lokasi IKN pun tidak sama sekali menjadi perhatian. Persoalan lingkungan masa lalu yang belum selesai seperti pembiaran terhadap lubang bekas tambang.
Demikian pula dengan rencana pembangunan IKN yang berpotensi berdampak pada spesies yang masih bertahan di Kalimantan Timur. Persoalan konflik agraria akibat IKN yang telah memunculkan potensi kriminalisasi terhadap rakyat juga tidak dilihat sebagai bagian masalah.
"Konflik sumber daya alam sepanjang 2023 mencapai 692 kasus," kata Walhi.
Zenzi menyebut, hak atas lingkungan menjadi persoalan yang tidak bisa ditolerir. Hal ini didasarkan pada data yang dihimpun Walhi bahwa konflik sumber daya alam sepanjang 2023 mencapai 692 kasus. Hal itu belum termasuk konflik hak atas lingkungan hidup sehat di perkotaan. Dampak lain konflik sumber daya alam adalah masifnya kriminalisasi pejuang lingkungan juga terus terjadi sebagai akibat pembangunan yang ekspansif.
“Hilangnya pembahasan hak atas lingkungan dari perbincangan HAM merupakan ‘alarm’ bahwa hak atas lingkungan tidak dianggap sebagai masalah serius yang harus ditegakkan,” ucap Zenzi.
SHARE