Tahun 2023, Pengembangan Energi Terbarukan Melambat 

Penulis : Kennial Laia

Energi

Rabu, 13 Desember 2023

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID -  Masih ingat PLTS terapung di Cirata, Jawa Barat, yang diresmikan tahun ini? Meski ada terobosan ini, menurut Institute for Essential Services Reform (IESR), tren pembangunan energi terbarukan tahun ini cenderung melambat. Angkanya hanya mencapai 0,97 GW dari target 3,4 GW pada kuartal keempat 2023. 

Menurut IESR, jika tren ini berlanjut, Indonesia tidak akan mencapai puncak emisi gas rumah kaca, yang ditargetkan pada 2035, dan kemudian melandai hingga mencapai net zero emission pada 2060 atau lebih awal. 

Dalam laporan berjudul “Indonesia Energy Transition Outlook (IETO) 2024", IESR menyatakan transformasi di sektor energi Indonesia menjadi upaya krusial untuk menekan emisi. Indonesia masih bergantung pada bahan bakar fosil seperti batu bara untuk menghasilkan energi domestik (90,4%), namun sektor ini juga menjadi sumber emisi. Beralih ke energi terbarukan menjadi salah satu solusi.

Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa, mengatakan Indonesia telah memiliki rencana dan komitmen transisi energi dengan terbitnya berbagai kebijakan. Contohnya Perpres 112/2022 tentang Percepatan Pembangunan Energi Terbarukan, serta pemutakhiran Kebijakan Energi Nasional oleh Dewan Energi Nasional. 

Energi bersih dan terbarukan seperti tenaga angin dan matahari semakin murah, dan memungkinkan dunia untuk mencapai target 1.5C dengan target dan kebijakan yang tidak mendukung energi fosil. Dok IEA

“Namun implementasi untuk mempercepat transisi energi masih membutuhkan dukungan dari segi regulasi dan investasi,” kata Fabby, Selasa, 12 Desember 2023. 

IETO 2024 juga menyoroti agar dapat mencapai target emisi kesepakatan Just Energy Transition Partnership (JETP) 250 MtCO2e/y pada 2030, hasil simulasi IESR menunjukkan Indonesia perlu mengurangi 4,29 GW pembangkit listrik batu bara dan diesel hingga 2030. Selain itu, Indonesia harus menggenjot pembangunan energi terbarukan setidaknya 30,5 GW tambahan hingga 2030.

Pintoko Aji, analisis energi terbarukan IESR, menyebutkan penetrasi energi terbarukan variabel tenaga surya dan bayu yang tinggi akan membuat konsep pembangkit baseload atau pembangkit yang beroperasi secara berkesinambungan dengan kapasitas yang tinggi, menjadi tidak relevan.

“Dengan adanya kebutuhan untuk meningkatkan penetrasi variable renewable energy (VRE), sistem ketenagalistrikan Indonesia membutuhkan sistem yang lebih fleksibel dan responsif,” ujar Pintoko. 

Makna fleksibel berarti tingkat sistem ketenagalistrikan dapat menyesuaikan dengan beban dan sebagai reaksi variabilitas produksi listrik dari VRE. Untuk melakukannya, kata Pintoko, diperlukan pendalaman materi untuk pembatasan kontraktual, misal perubahan kontrak (legal) dari menerima atau membayar (take-or-pay) ke menerima dan membayar (take-and-pay) dan insentif fleksibilitas. 

IESR mendorong agar pemerintah menunjukkan komitmen politik yang lebih kuat dan langkah-langkah konkret untuk mempercepat penetrasi energi terbarukan. Selain itu,  strategi dekarbonisasi perlu diterapkan di seluruh sektor agar saling mendukung. IESR memandang presiden baru yang akan terpilih pada Pemilu 2024 harus menciptakan momentum transisi energi sedari awal kepemimpinan.

SHARE