Hari Terakhir COP28: Masih Lebih Besar Emisi daripada Janji

Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

Perubahan Iklim

Selasa, 12 Desember 2023

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID - Konferensi perubahan iklim COP28 di Dubai berakhir hari ini dan telah menghasilkan sejumlah kesepakatan dalam tiga bidang utama, dari lima bidang tindakan yang mendapat sorotan Badan Energi Internasional (IEA). Kesepakatan itu adalah janji banyak negara dalam bidang energi terbarukan dan efisiensi energi, dan janji sejumlah perusahaan besar dalam bidang metana.  

Menurut IEA, jikapun semua negara yang menandatangani perjanjian itu memenuhi komitmen mereka secara penuh, sesuatu yang  merupakan langkah maju dalam mengatasi emisi gas rumah kaca di sektor energi, namun hasilnya tidak akan cukup untuk mengarahkan dunia menuju pencapaian target iklim internasional. "Khususnya tujuan membatasi pemanasan global hingga 1,5° C," kata EIA dalam rilisnya, Minggu (10/12/2023).

Sebelumnya pada Jumat, 8 Desember 2023, sekitar 130 negara menandatangani janji untuk melipatgandakan kapasitas energi terbarukan global pada 2030 dan melipatgandakan tingkat peningkatan efisiensi energi tahunan setiap tahunnya hingga 2030. Negara-negara tersebut bersama-sama menyumbang 40% emisi karbon dioksida (CO2) global dari pembakaran bahan bakar fosil, 37% dari total permintaan energi global, dan 56% dari PDB global.

Selain dampak potensial dari janji tersebut, IEA juga menilai dampak dari implementasi penuh janji metana dari Piagam Dekarbonisasi Minyak dan Gas Bumi, yang bertujuan untuk meniadakan emisi metana dan meniadakan pembakaran rutin pada 2030. Ke-50 perusahaan yang telah menandatangani piagam tersebut menyumbang sekitar 40% dari produksi minyak global dan 35% dari produksi minyak dan gas gabungan.

Dalam survei pada Agustus 2023, otoritas lokal menemukan rasio kematian gajah yang bermigrasi di Afrika sebesar 10,5%. Satwa tersebut melakukan migrasi paksa karena tekanan panas yang didorong oleh krisis ikli. Dok. OnlyAnimals.org

Analisis IEA menunjukkan, pemenuhan janji tersebut--yang mencakup energi terbarukan, efisiensi, dan metana/pembakaran--oleh para penandatangan saat ini akan menghasilkan emisi gas rumah kaca terkait energi global pada 2030 sekitar 4 gigaton setara CO2 yang lebih rendah daripada yang diperkirakan tanpa janji tersebut (berdasarkan Skenario Kebijakan yang Dinyatakan dalam World Energy Outlook 2023 dari IEA). Cukupkah?

Ternyata, "Pengurangan emisi pada tahun 2030 ini hanya mewakili sekitar 30% dari kesenjangan emisi yang perlu dijembatani untuk membawa dunia ke jalur yang sesuai dengan pembatasan pemanasan global hingga 1,5°C (Skenario Nol Emisi Bersih IEA pada tahun 2050)," tulis EIA.

Masyarakat sipil: Wujudkan keadilan iklim untuk semua

Sementara itu sejumlah masyarakat sipil di Indonesia menyerukan aksi global menuntut keadilan iklim. Sebab, menurut mereka, skema aksi iklim yang dijalankan sekarang tidaklah adil. Bahkan, kedaruratan ancaman krisis iklim justru jadi ajang bisnis.

"Dalam kebijakan dan aksi-aksi solusi iklim, pengakuan dan pelibatan bermakna terhadap perempuan, penyandang disabilitas, masyarakat adat, dan kelompok rentan lainnya masih sangat minim, bahkan hampir tidak ada," ujar Parid Ridwanuddin, Manajer Kampanye Pesisir dan Laut, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Nasional, dalam sebuah rilis, Senin (11/12/2023).

Parid menjelaskan, skema-skema solusi iklim yang ada sekarang tidak menuntut pada tanggung jawab dan kewajiban negara-negara industri dan korporasi penyumbang emisi. Sebaliknya skema-skema itu justru memfasilitasi negara-negara industri dan korporasi, serta lembaga keuangan internasional untuk meraup keuntungan atas nama ‘krisis iklim’.

Pertemuan COP28 yang berlangsung di Dubai, kata Parid, belum meletakkan kedaruratan krisis iklim dalam pembahasan-pembahasan negosiasinya. Meskipun, Laporan IPCC yang dikeluarkan pada April 2023 telah menyebutkan kedaruratan atas ancaman krisis iklim ini, tetapi arena COP28 masih saja dijadikan ajang ‘bisnis’ bagi negara-negara, korporasi, termasuk lembaga keuangan.

Parid menambahkan, situasi rakyat dan komunitas di seluruh dunia sedang dalam kondisi mengenaskan akibat berbagai krisis atas ketidakadilan, ketimpangan dan penindasan yang telah berlangsung lama. Krisis iklim menyebabkan peristiwa cuaca ekstrem dan mengganggu ekosistem di seluruh dunia.

"Rakyat yang telah menderita kemiskinan, diskriminasi, eksploitasi dan penindasan adalah pihak paling rentan terhadap krisis ini, dan memiliki keterbatasan akses ke sumberdaya yang diperlukan untuk mengatasi dampaknya," ucap Parid.

Di Indonesia sendiri, jumlah masyarakat yang terancam hidup dan sumber penghidupannya terus bertambah. Di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil misalnya, Penelitian Litbang Kompas (2023) menyebut, pada 2030 jumlah nelayan dan petani sebanyak 926.492 orang akan meninggalkan pekerjaannya saat ini akibat krisis iklim maupun proyek-proyek iklim.

Angka ini merupakan kehilangan yang sangat besar bagi Indonesia sebagai negara bahari sekaligus kepulauan terbesar di dunia. Bencana iklim pun terus meningkat yang mengakibatkan kehilangan jiwa, tempat tinggal, aset dan properti, mata pencaharian, dan lain sebagainya.

"Skema solusi palsu iklim yang tidak menyasar pada akar persoalan sangat terlihat pada skema mitigasi yang mengutamakan investasi dibandingkan keselamatan rakyat dan keberlangsungan ekologis. Perdagangan karbon dan skema transisi energi adalah salah dua skema yang mengesampingkan kebutuhan rakyat yang terdampak krisis iklim," kata Ashov Birry, dari Trend Asia.

Ashov mengatakan, meskipun pada COP28 telah meluncurkan Pendanaan Loss and Damage (kehilangan dan kehancuran) dengan komitmen awal mencapai USD430 juta (Rp6,67 triliun), namun masih banyak pertanyaan dari sumber pendanaan maupun mekanisme distribusi dan pengelolaannya. Sementara, skema pendanaan iklim yang bersumber dari utang juga sangat besar, misalnya skema pendanaan untuk transisi energi yang 99 persen bersumber dari utang.

Untuk itu, pada aksi global yang dilakukan di berbagai negara, termasuk di Indonesia, menjadi ruang untuk kembali menuntut keadilan iklim dan perubahan sistem, serta menuntut solusi-solusi nyata yang dibutuhkan rakyat miskin khususnya.

"Ajang COP 28 seharusnya menjadi salah satu kesempatan untuk melancarkan serangan balik dengan menunjukkan kegagalan dan manuver pemerintah, korporasi dan elit dalam usahanya menghindari tanggung jawab dan kewajiban mereka," katanya.

SHARE