Sawit dan Korupsi di Riau, Senarai: Mereka Temenan
Penulis : Gilang Helindro
Sawit
Selasa, 12 Desember 2023
Editor : Yosep Suprayogi
BETAHITA.ID - Jefri Sianturi, Koordinator Senarai, dalam konferensi pers Mengorbankan Kawasan Hutan dan Melanggengkan Praktik Buruk Korporasi Sawit menyebut, kasus korupsi di Riau tidak bisa dilepaskan dari aktivitas perkebunan sawit dalam kawasan hutan. Jefri mengatakan, kasus korupsi Muhammad Syahrir, mantan Kepala BPN Riau, dan Surya Darmadi, Darmex Agro Group menjadi bukti bahwa perkebunan kelapa sawit dalam kawasan merupakan akar korupsi di Riau.
“Kasus paling fenomenal tahun ini adalah korupsi Surya Darmadi. Kasus ini melibatkan mantan Gubernur Riau Annas Maamun terkait pengusulan perubahan status kawasan hutan untuk empat perusahaan yang salah satunya merupakan lokasi investigasi Walhi Riau, PT Banyu Bening Utama. Surya Darmadi dijatuhi hukuman 16 tahun penjara dan denda 2 triliun rupiah,” kata Jefri Minggu, 10 Desember 2023.
Hasil investigasi Walhi Riau pada sebelas perusahaan yang mengajukan penyelesaian sawit dalam kawasan hutan menemukan, dari total 28.031,2 hektare tanaman kelapa sawit perusahaan dalam Kawasan Hutan, 12.431,20 hektare diantaranya diindikasikan berada di luar Hak Guna Usaha (HGU).
Jefri bilang, selain menempati kawasan hutan, tim juga menemukan satu perusahaan tidak memiliki Izin Usaha Perkebunan (IUP), enam perusahaan tidak sesuai peruntukan ruang berdasarkan RTRW, tiga perusahaan menanam di kawasan gambut fungsi lindung, tiga perusahaan menanam sawit di kawasan riparian, dan enam perusahaan pernah mengalami kebakaran hutan dan lahan.
“Kesebelas perusahaan juga tercatat memiliki konflik lahan dengan masyarakat tempatan dan tidak memenuhi kewajiban IUP nya,” kata Jefri.
Umi Ma’rufah, Koordinator Riset dan Kajian Kebijakan Walhi Riau menilai mekanisme penyelesaian perkebunan kelapa sawit di kawasan hutan terlampau menyederhanakan persoalan. Ketentuan Pasal 110A yang menjadikan izin lokasi dan/atau izin usaha perkebunan sebagai dasar tindak lanjut penerbitan perizinan sektor kehutanan tentu abai pada kewajiban perusahaan untuk mempunyai hak atas tanah dalam melakukan aktivitas perkebunan. Kemudian larangan penanaman sawit baru/replanting pasca 2 November 2020 juga tidak diatur pada PP nomor 24 Tahun 2021.
Hal ini mempertegas posisi pemerintah melegalkan kejahatan perkebunan kelapa sawit di kawasan hutan melalui UUCK. Seharusnya pemerintah meninjau ulang kebijakan UUCK pasal 110A dan 110B terkait penyelesaian perkebunan kelapa sawit dalam Kawasan Hutan. Jika kebijakan ini tetap dibiarkan, setindaknya Riau akan kehilangan 736.273,53 ha Kawasan Hutan yang diberikan untuk perusahaan perkebunan kelapa sawit.
“Selanjutnya implementasi kebijakan tersebut juga harus mempertimbangkan pelanggaran lain yang dilakukan oleh korporasi yang mengajukan penyelesaian sawit dalam kawasan hutan,” ungkap Umi.
Pada peluncuran publikasi investigasi ini juga dihadiri oleh Eyes On the Forest (EOF) dan Senarai. EOF ikut memaparkan hasil investigasi sawit dalam Kawasan Hutan yang telah dilakukan sejak tahun 2018. Sedangkan Senarai menyampaikan riwayat korupsi di Riau yang selalu berkaitan dengan aktivitas perkebunan dan kehutanan.
Tia, Eyes On the Forest (EOF) menyebut, hasil investigasi EOF, perusahaan sawit dalam kawasan hutan berada sejak tahun 2018. Investigasi terakhir EOF pada tahun 2023 ditemukan 42,269 hektare perkebunan kelapa sawit berada pada Kawasan Hutan dengan usia tanaman berkisar 10 sampai 35 tahun. Perkebunan diindikasikan berafiliasi dengan Sinarmas/GAR, Darmex, Adimulya, Anugerah/Royal Golden Eagle, Astra, Darmex, First Resources, Pancadaya Perkasa, Panca Eka, Panca Putra, dan Bumitama Gunajaya Agro.
“Aktivitas perkebunan sawit dalam Kawasan Hutan telah dilakukan jauh sebelum UUCK diterbitkan. Dan yang melakukannya adalah pelaku usaha perkebunan kelapa sawit skala besar. Hal ini mengindikasikan UUCK memang dipersiapkan untuk melegalkan perkebunan kelapa sawit perusahaan-perusahaan tersebut,” ungkap Tia.
SHARE