Catatan Hari HAM 2023: Konstitusi Telah Dikhianati
Penulis : Wahyu Eka Styawan, Direktur Eksekutif Daerah WALHI Jawa Timur
OPINI
Minggu, 10 Desember 2023
Editor : Yosep Suprayogi
KONFLIK sejatinya tercipta karena ketimpangan dan ketidakadilan. Siapapun akan bangkit mempertahankan diri jika rumahnya akan dirampas. Rumah adalah analogi dari ruang hidup yang memberikan kehidupan dan menjamin keberlanjutan setiap individu yang hidup di dalamnya. Kala rumah itu terganggu, pasti si penghuni akan mencoba mempertahankannya. Begitu pula kalau rumah itu dirampas, si penghuni akan mencoba merebutnya.
Moch. Tauchid (2020) dalam "Masalah Agraria: sebagai Masalah Penghidupan dan Kemakmuran Rakyat Indonesia" mengatakan, tanah adalah sumber kehidupan. Ia menghasilkan pangan dan segala kebutuhan rakyat. Siapapun yang mengusai tanah berarti mengusai pangan, yang artinya ia menguasai kehidupan. Lalu, Cristodoulou yang dikutip oleh Gunawan Wiradi (2009) dalam "Reforma Agraria: Perjalanan yang Belum Berakhir" menyamakan tanah sebagai jantungnya kekuasaan. Masalah keberlanjutan kehidupan manusia sangat bergantung pada siapa yang menguasai tanah dan bagaimana tanah itu dimanfaatkan.
Ruang hidup salah satunya tanah, selain air, udara dan segala yang menyangkut kehidupan manusia merupakan sumber penghidupan penting. Perampasan atas hal tersebut akan memantik konflik yang tidak berkesudahan, serta akan menunjukkan bagaimana wajah Negara, dalam hal ini segala elemennya dari eksekutif, legislatif dan yudikatif, yang tak mampu menjamin dan mendistribusikan kesejahteraan sebagaimana mandat yang diberikan.
Sepanjang 2023, perampasan ruang hidup ini mendapatkan tantangan yang cukup keras, terlihat dari kasus kriminalisasi pada rakyat yang semakin meningkat intensitasnya. Pada dasarnya rakyat tersebut menginginkan kebebasan dalam menentukan dan mengatur wilayahnya yang bertalian erat dengan kehidupan. Tapi, kondisi tersebut seakan tidak dilihat oleh Negara. Pola umum yang sering kita jumpai yakni atas nama pembangunan nasional, perampasan ruang yang difasilitasi negara semakin masif dan eksplosif. Dampaknya rakyat dihajar habis-habisan oleh mereka yang seharusnya menjamin, memberikan, dan menegakkan HAM.
Perampasan Hak Dari Sumatera Barat hingga Jawa Timur
Sepanjang 2023 rakyat banyak menjadi korban dari aneka perampasan ruang hidup, mulai dari Proyek Strategis Nasional (PSN), lalu perluasan konsesi HGU perkebunan, sampai IUP tambang. Tentu kita masih ingat bagaimana masyarakat Air Bangis di Sumatera Barat akan diusir dari kampungnya karena di sana akan dijadikan kawasan industri petrokimia. Total akan ada 1.500 lebih warga yang menjadi korban. Mereka menolak dan melakukan pembelaan atas haknya, tapi yang justru diberikan oleh Negara adalah kekerasan dan penangkapan.
Sepanjang 2023 rakyat banyak menjadi korban dari aneka perampasan ruang hidup, mulai dari Proyek Strategis Nasional (PSN), lalu perluasan konsesi HGU perkebunan, sampai IUP tambang.
Kejadian serupa juga terjadi di Kepulauan Riau tepatnya di wilayah Pulau Rempang Batam. Atas ambisi untuk membuat Kawasan Ekonomi Khusus berupa Rempang Eco City, sekitar 7.500 warga akan digusur dari ruang yang telah mereka tempati selama 200 tahun. Aksi menyelamatkan tanah airnya pun dilakukan. Mereka bersuara dan menyampaikan penolakan. Tetapi aksi tersebut disambut dengan represivitas dan kriminalisasi. Ada sekitar 43 warga yang ditangkap, lalu 34 di antaranya ditetapkan sebagai tersangka.
Tak berhenti di Sumatera, warga di Kalimantan juga mengalami situasi yang tak kalah brutal. Di wilayah Kinjil, Kotawaringan Barat, Kaliamantan Tengah, tiga orang petani dilaporkan oleh PT. BGA selaku penguasa konsesi HGU Sawit. Pelaporan tersebut berkaitan dengan perluasan konsesi oleh perkebunan dengan melakukan klaim sepihak atas dasar manipulasi kemitraan. Ketiga petani tersebut dituduh mencaplok wilayah kebun yang sebenarnya di luar konsesi. Tetapi parahnya pihak keamanan negara dan institusi kehakiman malah menghukum tiga petani tersebut tanpa melihat konteks persoalan, serta cenderung membela korporasi.
Masih di wilayah yang sama, tepatnya di Desa Bangkal, Kabupaten Seruyan, terdapat aksi perluasan wilayah perkebunan sawit PT. HMBP yang merupakan anak perusahaan dari Best Agro International Group. Lalu warga Desa Bangkal merespons hal tersebut dengan aksi damai untuk mempertahankan lahan mereka. Tetapi yang didapat bukan didengarkan hak-haknya malah pihak keamanan negara dalam hal ini polisi menerjunkan 500 personel, yang pada akhirnya berujung pada tindak represif sampai lepasnya peluru sehingga mengakibatkan warga bernama Gijik tewas.
Di Jawa Timur terdapat tiga warga Desa Pakel, Kecamatan Licin, Kabupaten Banyuwangi, yang diputuskan bersalah karena dituduh menyebarkan berita bohong yang berujung pada keonaran. Tiga warga Desa Pakel ini menjadi korban konflik agraria yang akarnya adalah ketimpangan penguasaan lahan di wilayah tersebut. Meski wilayah Desa Pakel mengalami ketimpangan, pihak BPN Kabupaten Banyuwangi malah menerbitkan HGU perkebunan untuk PT. Bumisari Maju Sukses tanpa melihat kondisi masyarakat. Kemudian perkebunan pun mengklaim wilayah Desa Pakel sebagai bagian dari HGU-nya. Warga pun merespons dengan menduduki dan mempertahankan lahannya. Tetapi bukan didengarkan dan menjadi prioritas penyelesaian konflik, warga malah mendapatkan aneka intimidasi, represi, dan terakhir kriminalisasi yang dilakukan oleh keamanan negara dalam hal ini kepolisian. Puncaknya penetapan tersangka dan penahanan sewenang-wenang pada tiga warga tersebut, ditambahkan institusi kehakiman menghukum berat mereka dengan vonis 5,5 tahun.
Bukan didengarkan dan menjadi prioritas penyelesaian konflik, warga malah mendapatkan aneka intimidasi, represi, dan terakhir kriminalisasi yang dilakukan oleh keamanan negara dalam hal ini kepolisian.
Terakhir, kondisi serupa juga terjadi di wilayah Kabupaten Bojonegoro, di mana terdapat perusahaan tambang batuan bernama PT. Wirabhumi Sejati yang melakukan aktivitas usaha yang mengakibatkan warga Desa Sumuragung, Kecamatan Baureno, Kabupaten Banyuwangi mengalami kerugian. Mereka harus menanggung dampak debu dan jalan rusak yang menganggu aktivitas. Lalu warga melakukan aksi protes untuk memperjuangkan hak mereka. Karena tak kunjung didengarkan akhirnya mereka menutup akses jalan di luar konsesi yang mengarah ke lokasi tambang. Aksi tersebut pun lalu direspons oleh perusahaan yang melaporkan mereka ke polisi. Akhirnya tiga orang warga yang dikriminalisasi dan kini sedang menghadapi sidang atas tuduhan menghalangi pertambangan sebagaimana dalam pasal 162 UU Minerba.
Konstitusi Telah Dikhianati
Represivitas hingga kriminalisasi atas nama pembangunan dan investasi seringkali terjadi. Tindakan berlebihan dan cenderung mengabaikan konteks persoalan rakyat yang berjuang mempertahankan ruang hidupnya ini merupakan tindakan yang menghianati konstitusi. Sangat jelas tindakan tersebut bertentangan dengan semangat demokrasi dan pemenuhan Hak Asasi Manusia. Sebagaimana disebutkan dalam UUD 1945 pada pasal 28 G tentang perlindungan hak dan pasal 28 H tentang hak hidup, dasar negara telah menjamin kehidupan warga negaranya. Tetapi semua itu dilanggar demi investasi.
Merujuk pada argumen Yance Arizona (2014) dalam "Konstitusionalisme Agraria", negara sepenuhnya menguasai sumber daya alam, dalam hal ini untuk mengatur, melindungi, dan mendistribusikan kepada rakyat sebagai pemiliknya. Secara lebih rinci tugas negara yakni membuat kebijakan, tindakan pengurusan, pengaturan, pengelolaan, dan pengawasan. Tujuan besarnya yakni memastikan kesejahteraan dapat terdistribusikan dengan adil. Lalu, Nazir Salim (2019) dalam Hak Kewarganegaraan Agraria menyebutkan bahwa tanah dan kewarganegaraan bagi masyarakat merupakan hak dasar yang menjadi syarat untuk hidup dan subsisten. Karena itu, kewajiban Negara dalam menjalankan pemerintahan adalah memenuhi hak-hak dasar untuk bertahan hidup. Termasuk di dalamnya menjalankan amanah konstitusi terutama menjamin, memenuhi dan melindungi hak asasi manusia, dalam hal ini hak atas air, tanah dan sumber kehidupan lainnya.
Tindakan represif yang dilakukan oleh negara terhadap rakyat juga sangat bertentangan dengan UU No 12 tahun 2005 yang merupakan penerapan dari International Covenant on Civil and Political Right, khususnya pasal 6 yang berbunyi: “Menetapkan bahwa setiap manusia mempunyai hak hidup, bahwa hak ini dilindungi oleh hukum, dan bahwa tidak seorang pun dapat dirampas hak hidupnya secara sewenang-wenang.”
Yang terjadi malah sebaliknya, Negara malah hadir sebagai aktor perampas.
Terang benderang sekali, tindakan sewenang-wenang sangat jauh dari perintah konstitusi serta aturan terkait. Yang seharusnya, Negara hadir untuk memberikan dan menjamin hak warga negara dalam menjalani kehidupannya, termasuk hak atas ruang hidupnya. Tetapi yang terjadi malah sebaliknya, Negara malah hadir sebagai aktor perampas, di mana kehadirannya bukan untuk menjalankan mandatnya dalam pemenuhan hak asasi manusia, tetapi malah menjadi aktor utama perampasan. Hal ini tentu sangat jauh dari cita-cita konstitusi yang menghendaki kesejahteraan rakyatnya tanpa terkecuali.
Mengutip Satjipto Rahardjo (2007), “Undang-Undang Dasar merupakan satu monumen, suatu dokumen antropologi karena mengekspresikan kosmologi bangsa, mengejawantahkan cita-cita, harapan dan mimipi-mimpi tentang membangun negara.” Cita-cita ini adalah kesejahteraan dan kemakmuran yang secara abstrak tertuang dalam sila ke lima “keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.” Sehingga, represivitas hingga kriminalisasi terhadap rakyat karena mempertahankan hak atas hidup di wilayahnya, merupakan bentuk pembangkangan atas konstitusi. Indonesia sebagai negara masih belum menjadikan hak asasi manusia sebagai prioritas, malahan semakin direduksi dan coba dihilangkan. Secara kontekstual ini telah menunjukkan bahwa Negara telah jauh dari mandat konstitusi.
SHARE