Perbudakan di Kebun Sawit Kita
Penulis : Gilang Helindro
Hari Hak Asasi Manusia 2023
Kamis, 07 Desember 2023
Editor : Yosep Suprayogi
BETAHITA.ID - Orang-orang malang itu, yang jauh-jauh datang dari Jawa Tengah, Jawa Timur, hingga Nusa Tenggara Timur, mengira akan bekerja di perkebunan sawit di Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat (Kalbar). Ternyata, faktanya berbeda. Mereka terdampar di perkebunan sawit PT Bintang Sawit Lestari (BSL), Kecamatan Sekadau Hulu, Kabupaten Sekadau.
Sekadau dan Sambas sebenarnya sama-sama di Kalbar. Tapi, keduanya terpisah sejauh 339 kilometer. Menurut Google Maps, butuh 7 jam 43 menit naik mobil dari Sekadau ke Sambas atau sebaliknya.
Tapi soal lokasi kebun yang tidak sesuai harapan itu cuma kejutan kecil buat orang-orang malang itu. Di PT BSL, orang-orang malang ini--jumlahnya puluhan--tidak diperlakukan sebagai buruh. Mereka menjadi budak.
Alkisah, pada 1 November 2023, tujuh di antara orang-orang malang itu nekat melarikan diri, setelah lima temannya disekap dan dianiaya. Ketujuhnya berasal dari Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Cerita selanjutnya mungkin sudah Anda tahu dari polisi. Diberitakan, pada 16 November, polisi yang mendapatkan laporan soal penganiayaan terhadap 5 buruh sawit itu, mendatangi PT BSL. "Kami berhasil membebaskan 5 pekerja yang disekap,” ungkap Iptu Rahmad Kartono, Kepala Satuan Reserse dan Kriminal Polres Sekadau.
Polisi, kata Rahmad, juga mendapati ada 32 buruh minta diselamatkan dari kebun. Alasannya, mereka mendapat perlakuan tidak manusiawi. Gaji mereka juga juga dipotong secara tak wajar. "Gaji tidak dibayar sejak Oktober,” kata Rahmad dalam keterangan resminya, Selasa 21 November 2023.
Belum ada keterangan dari PT BSL soal kasus ini. PT BSL adalah anak perusahaan PT Agrina Plantation Group, memiliki lahan HGU seluas 10.236 hektare. Berdiri 2009, lahan HGU seluas 6.763 ha sudah ditanami sawit.
Menurut Rahmad, saat ini polisi sudah menetapkan sejumlah tersangka untuk kasus tersebut. Mereka dijerat Pasal 333 KUHP, 335 KUHP, 351 KUHP, dan Pasal 2 Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang. "Sejumlah barang bukti juga telah diamankan dan kasus ini masih diproses lebih lanjut," ujarnya.
Pelanggaran HAM
Direktur Hukum Yayasan Auriga Nusantara, Roni Saputra mengatakan, tindakan yang dilakukan PT BSL memang patut diduga masuk kategori human trafficking atau perdagangan orang. "Kenapa disebut sebagai perdagangan orang," ujarnya, "Karena perusahaan telah mempekerjakan orang atau pekerja dengan pembayaran yang kemudian dianggap tidak layak dan juga jangka waktu kerja yang juga tidak sesuai."
Seperti disebutkan dalam Pasal 1 angka satu Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007, perdagangan orang adalah tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan dan penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberikan bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam negara maupun antar negara, atau untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi.
Menurut Roni, kasus tersebut juga mungkin dapat dikategorikan sebagai pelanggaran HAM. Ini karena tindakan yang diduga dilakukan oleh manajemen perusahaan dikategorikan sebagai bentuk perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik secara sewenang-wenang. “Komnas HAM tentunya perlu untuk melakukan proses investigasi,” ungkap Roni.
Jika ditemukan dugaan pelanggaran HAM berat, maka perlu dilakukan proses penegakan hukum segera. Selain itu, pihak kepolisian tentu juga perlu segera melakukan proses penyidikan dugaan tindak pidana perdagangan orang.
Perbudakan modern
Menurut catatan Roni, ini bukan kasus perbudakan pertama di perkebunan sawit. dia menyebut kasus perbudakan sebelumnya pernah terjadi di Kampung Bayur Opak, Desa Lebak Wangi, Kecamatan Sepatan Timur, di Kabupaten Tangerang. Kasus serupa, yang lebih mengerikan, dilakukan Bupati Langkat, Sumatera Utara.
Kejahatan HAM berat Bupati Langkat, Terbit Rencana Peranginangin, itu terbongkar setelah pada 19 Januari 2022 Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menemukan sebuah penjara berterali besi di area belakang rumah bupati itu. KPK waktu itu sedang melakukan penangkapan terhadap Terbit dalam kasus pengadaan barang dan jasa.
Di penjara itu, KPK menemukan lebih dari 40 orang berhimpitan, karena kerangkeng itu sebenarnya hanya cukup untuk 20 orang saja.
Temuan ini lalu dipersoalkan Migrant Care yang menyebut temuan itu merupakan bukti adanya perbudakan modern yang dilakukan Bupati Langkat.
Hasil penyelidikan Komnas HAM telah mengonfirmasi adanya praktik kekerasan, penyiksaan, perbudakan, hingga perdagangan orang di kerangkeng manusia yang dibuat pada 2010 itu. Menurut Komnas, di kerangkeng itu ditemukan setidaknya 26 bentuk kekerasan, dengan 18 alat tindakan kekerasan, termasuk besi panas. Selain itu, 19 orang diduga menjadi pelaku kekerasan, mulai dari pengurus kerangkeng, anggota organisasi masyarakat, anggota TNI-Polri, dan tentu saja Terbit.
Diyakini, potensi kasus perbudakan modern di perkebunan sawit banyak terjadi. Ini karena kebun penyumbang devisa negara terbesar itu begitu luasnya, hingga mencapai 17,7 juta hektare (Mapbiomas Indonesia, 2022), atau hampir 1,5 kali luas Pulau Jawa. Berdasarkan hasil pengolahan data Survei Perusahaan Perkebunan komoditas kelapa sawit tahun 2022 dengan aplikasi SEDAPP Online (Sedia Data Perusahaan Perkebunan melalui Aplikasi SKB-Online) lahan seluas itu dikelola oleh 2.389 perusahaan perkebunan kelapa sawit dan tersebar di 26 provinsi di Indonesia.
Achmad Surambo, Direktur Eksekutif Sawit Watch, mengatakan praktik perbudakan modern di perkebunan sawit ini dapat terjadi karena beberapa faktor. Di antaranya karena minimnya pengawasan pemerintah terhadap ketenagakerjaan di perkebunan sawit dan belum adanya kebijakan yang mengatur soal perlindungan pekerja buruh kebun sawit secara spesifik.
Menurut Rambo, Pemerintah selama ini absen dalam melakukan pengawasan di perkebunan sawit, sehingga potensi pelanggaran hak buruh sangat besar. "Untuk itu kami melihat bahwa yang menjadi penting untuk dilakukan adalah memprioritaskan kebijakan perlindungan buruh kebun sawit,” ujarnya, Senin, 4 Desember 2023.
Dia menegaskan, kebijakan yang ada saat ini belum cukup melindungi buruh kebun sawit, karena tidak mengatur spesifik bagi buruh kebun sawit. Harapannya kini, ujarnya, pada Rancangan Undang-Undang (RUU) Perlindungan Buruh Pertanian dan Perkebunan yang diinisiasi oleh DPR dan masuk dalam daftar Prolegnas 2019-2024.
Sebelumnya, sebuah laporan investigasi yang diterbitkan oleh The Associate Press pada 2020 seperti dikutip laporan PRAKARSA, mengungkapkan bahwa hampir semua pekerja perkebunan sawit di Indonesia dan Malaysia mengeluhkan perlakuan perusahaan terhadap mereka. Sebagian menyatakan merasa ditipu, diancam, ditahan di luar kehendak mereka atau dipaksa untuk melunasi hutang yang tak dapat diselesaikan. Sebagian pekerja menyampaikan bahwa mereka secara teratur diganggu oleh pihak berwenang, diangkut dalam penggerebekan, dan ditahan di fasilitas pemerintah.
Sertifikasi kurang gigi
Menurut Achmad, praktik tak manusiawi di kebun-kebun sawit sebenarnya juga menjadi perhatian lembaga-lembaga sertifikasi, seperti RSPO, ISPO. Namun, meskipun Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) telah mengembangkan serangkaian kriteria lingkungan dan sosial yang harus dipatuhi oleh perusahaan untuk menghasilkan Minyak Sawit Berkelanjutan Berserfikat, kata Achmad, sifatnya masih sukarela. "Sehingga masih banyak perusahaan sawit yang tidak mengimplementasikan standar-standar RSPO," kata dia.
Soal buruh perempuan, RSPO juga sudah menyusun panduan gender inclusivity. Namun, ujar Achmad, banyak perusahaan yang tidak mengimplementasikan karena regulasi di tingkat nasional masih belum memadai, terkait perlindungan buruh perempuan di sektor perkebunan sawit. Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) sebagai sistem serfikasi minyak sawit berkelanjutan ala Indonesia juga sudah memiliki prinsip tanggung jawab kepada pekerja atau buruh, namun di lapangan banyak perusahaan yang belum menjalankannya.
Kriminalisasi
Selain perbudakan, pelanggaran HAM di perkebunan sawit bisa berbentuk kriminalisasi. Bisa penghilangan kemerdekaan, bisa penghilangan nyawa. Terakhir, misalnya, kriminalisasi yang dialami Masyarakat Air Bangis, Pasaman Barat.
Febrian Teguh Julianto, yang biasa disapa Teguh, adalah pengepul yang biasa mendatangi Air Bangis untuk membeli hasil perkebunan sawit rakyat. Lalu, pada 28 Maret 2023, Polda Sumatera Barat tiba-tiba menangkap dia dan tiga orang lainnya. Tuduhan polisi, Teguh dkk. terlibat kegiatan perkebunan atau mengangkut hasil kebun sawit di dalam kawasan hutan tanpa perizinan berusaha, seperti diatur UU Cipta Kerja.
Tuduhan polisi itu tentu saja mengagetkan Teguh dan warga setempat. Bagi Teguh dan para petani, kebun-kebun masyarakat itu bukan Kawasan Hutan Produksi. Soalnya, lahan sekitar seluas 19.000 hektare itu telah ditempati atau dikelola oleh masyarakat puluhan tahun, diwarisi secara turun temurun dari satu generasi ke-generasi.
Menurut Ihsan Riswandi, Ketua PBHI Sumbar dan salah satu Penasihat Hukum Teguh serta Tim Advokasi Walhi Sumatera Barat, kriminalisasi terhadap Teguh dan tiga orang lainnya serta Masyarakat adat di Air Bangis adalah kejahatan yang sengaja dilakukan negara dengan menghianati UUD 1945, karena Pasal 18 B ayat (2) UUD mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya, sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Nasib malang Tegung dkk. kemudian menggerakkan masyarakat sipil dan Masyarakat Adat untuk melakukan pembelaan. Syukurlah, Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Pasaman Barat kemudian memutus bebas empat terdakwa, yang didakwa memanen sawit di kawasan hutan Jorong Pigogah Patibubur, Nagari Air Bangis, Kecamatan Sungai Beremas, Kabupaten Pasaman Barat, dalam sidang putusan Kamis 31 Agustus 2023 di Ruang Sidang Cakra PN Pasaman Barat.
Menanggapi pembebasan Teguh dkk, Diki Rafiqi, Koordinator Divisi Advokasi LBH Padang, meminta ada pemulihan hak oleh negara kepada masyarakat di Nagari Air Bangis dan Bidar Alam. Selain itu negara harus menghentikan kriminalisasi yang masih dilakukan oleh penegak hukum kepada masyarakat. Lha, masih ada kasus lainnya di sana?
"Saat ini kriminalisasi juga terjadi kepada 6 orang petani di Bidar Alam," kata Diki. "Konflik tenurial yang terjadi ini merupakan pengabaian yang terus menerus yang dilakukan negara," kata Diki.
Lain lagi di Seruyan. Konflik di kebun sawit di sana bahkan mematikan. Tercatat, 1 petani meninggal dan 1 terluka oleh peluru yang diduga dilepaskan polisi, ketika para petani ini menuntut kebun plasma yang menjadi hak mereka. Menurut Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), selama dua periode pemerintahan Presiden Joko Widodo (2015-2022) sebanyak 69 korban tewas di wilayah konflik agraria.
Beribu Konflik, 1 Presiden
Secara keseluruhan, setidaknya tercatat 2.710 konflik agraria sepanjang 2015-2022. Dari jumlah tersebut, perusahaan perkebunan serta penerbitan atau perpanjangan hak guna usaha (HGU) kerap menjadi penyebab konflik agraria tertinggi dengan jumlah letusan mencapai 1.023 konflik (37 persen).
Catatan KPA itu tak jauh beda dengan angka Sawit Watch. Menyebutkan ada 1.073 kasus konflik sosial di kebun sawit, menurut LSM ini, tipologi konfliknya terbagi ke dalam 3 kelompok. Pertama konflik tenurial 57 persen, kedua konflik antara isu 34,3 persen, dan ketiga konflik kemitraan 8,7 persen. “Konflik tenurial mendominasi konflik di perkebunan,” ungkapnya.
Menurut Fathur Roziqin, Direktur Eksekutif Walhi Kaltim, lembaganya menemukan terbitnya izin usaha (HGU) selalu diikuti dengan konflik terhadap warga. “Kami menduga, terbitnya izin, jika baik-baik, bakal minim konflik. Namun, jika izin itu sangat cepat keluar, pasti ada indikasi korupsi dan menimbulkan konflik. Tentu ini melanggar HAM," katanya.
Untuk mengentaskan konflik di kebun sawit, Sekjen KPA, Dewi Kartika, meminta Presiden menghentikan perampasan tanah warga atas nama investasi dan menghentikan penanganan polisi yang represif. "Presiden segera memastikan seluruh menteri terkait untuk mengevaluasi sistem dan kebijakan perkebunan inti-plasma yang tidak adil, korup, dan telah berdiri di atas tanah-tanah masyarakat, memasukkan desa-desa dan kampung-kampung ke dalam konsesi HGU perusahaan perkebunan," ujar Dewi, Minggu, 8 Oktober 2023.
Sementara itu, Koalisi Buruh Sawit meminta kepada pemerintah agar memprioritaskan perlindungan, keselamatan, dan kesejahteraan buruh perkebunan sawit. Koalisi Buruh Sawit memandang pemerintah masih abai terhadap kondisi dan nasib buruh perkebunan sawit, sementara pemerintah sangat ramah terhadap pelaku industri sawit. Betulkah?
SHARE