Hari Konservasi Satwa Liar, Walhi: Di Aceh Musuhnya Deforestasi
Penulis : Aryo Bhawono
Satwa
Senin, 04 Desember 2023
Editor : Yosep Suprayogi
BETAHITA.ID - Hari Konservasi Satwa Liar setiap 4 Desember--itu pada hari ini--diperingati dengan kabar sedih dari Aceh. Dalam 5 tahun, di provinsi ini tercatat 787 konflik satwa, 85 di antaranya terjadi tahun ini. Walhi menyatakan deforestasi telah merusak habitat dan jalur satwa dalam skala besar.
BKSDA Aceh mencatat 787 konflik dalam rentang 2019 hingga Oktober 2023 ini terjadi antara manusia dengan berbagai satwa liar seperti gajah, harimau, dan orangutan Sumatera pada rentang lima tahun terakhir. Tercatat 106 kejadian pada 2019, sebanyak 111 kejadian tahun 2020, sebanyak145 kejadian pada 2021, sebanyak 136 kejadian pada 2022, dan sebanyak 85 kejadian pada Januari-Oktober 2023.
"Paling banyak terjadi di Pidie ada 145 kejadian, disusul Aceh Jaya 86, Aceh Timur 67, Aceh Barat 33, Bener Meriah 30, dan Aceh Selatan 27 kejadian," ujar Kepala BKSDA Aceh, Gunawan Alza.
Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Aceh, Ahmad Shalihin, mengungkap tingginya jumlah konflik satwa dengan manusia ini akibat dari pembukaan hutan skala luas untuk industri ekstraktif. Industri ini, seperti pembukaan perkebunan untuk kelapa sawit, telah merusak koridor satwa.
Ia mencontohkan, perusahaan biasanya membangun pembatas untuk mengatasi gajah masuk ke wilayah mereka. Pembangunan pembatas ini dapat berupa pagar atau parit.
“Koridor satwa pun rusak dan konektivitas jalur satwa terputus, sehingga gajah akan bergerak memutar dan justru masuk ke kebun atau pemukiman warga,” ucapnya.
Ini terjadi di Aceh Tengah. Warga Kampung Karang Ampar, Kecamatan Ketol, Aceh Tengah menyebutkan, sebelum tahun 2000, desa mereka tidak pernah dilintasi gajah. Namun sejak pembukaan kebun sawit di Bireun, gajah mulai melintas di kampung mereka, karena kebun sawit memutus jalur perlintasan gajah.
Adanya pembatas yang dibangun berbagai perusahaan di Aceh Timur, Bireuen, Pidie, dan Aceh Barat juga dilaporkan berimbas pada pergerakan gajah hingga Aceh Tengah dan Bener Meriah. “Kami dapatkan informasi ini ketika mengundang 13 kepala desa ke Banda Aceh beberapa waktu lalu,” kata Ahmad.
Adapun konflik antara harimau sumatera dengan manusia yang paling banyak di Aceh Selatan, menurut Ahmad, salah satu pemicunya adalah banyaknya penambangan emas tanpa izin (PETI) di Kabupaten Nagan. "Jelajah harimau ini sangat luas,” ucapnya.
Sebelumnya BKSDA mencatat konflik manusia dan harimau sumatera sebanyak 113 kejadian dengan rincian 9 kejadian pada 2019, sebanyak 39 pada 2020, sebanyak 33 kejadian 2021, sebanyak 20 kejadian 2022, dan 12 kejadian pada Januari-Oktober 2023.
Aceh Selatan tercatat memiliki kejadian terbanyak yakni 38 kejadian, lalu Aceh Timur 14 kejadian, dan 10 kejadian di Subulussalam.
Walhi Aceh, kata Ahmad, kini tengah mendorong masuknya 9 koridor satwa ke pola tata ruang dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Aceh. “Saat ini RTRW Aceh sedang dalam proses. Kami mengharapkan ketika ada pembangunan atau izin harus mematuhi keberadaan koridor ini nantinya,” kata dia.
SHARE