Cap Gagal untuk RSPO

Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

SOROT

Selasa, 28 November 2023

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID - Kalangan masyarakat sipil menilai sertifikasi Roundtable Sustainable on Palm Oil (RSPO) gagal memastikan perusahaan-perusahaan perkebunan sawit yang menjadi anggotanya patuh pada komitmen lebih tinggi, dalam hal pengurangan dan pengendalian kejahatan lingkungan. RSPO dianggap tak lagi relevan dengan praktik sawit berkelanjutan.

Penilaian masyarakat sipil ini didampaikan dalam sebuah publikasi yang melaporkan sejumlah fakta operasi perkebunan sawit anggota RSPO di Indonesia. Laporan itu terutama tentang kegiatan nakal penanaman sawit di kawasan hutan dan kebakaran hutan yang masih terus berlangsung. 

Berita lainnya:

  1. Pemutihan Sawit: Banyak Raksasa, Tak Ada Sawit Masyarakat
  2. Daftar Catatan NGO tentang Penyelesaian Sawit di Kawasan Hutan
  3. Berapa Diskon untuk Korporasi Sawit dalam Hutan? Ini 5 Sampelnya

Perkebunan sawit PT BAP di Kabupaten Seruyan, Kalimantan Tengah, teridentifikasi berada di dalam kawasan hutan./Foto: Auriga Nusantara

Transformasi untuk Keadilan (TuK) Indonesia dalam laporannya menyatakan, dari total pengampunan seluas 836 hektare sawit ilegal dalam kawasan hutan, grup-grup besar anggota RSPO ikut memohon pengampunan. Masing-masingnya Musim Mas Holdings Pte. Ltd. (33,1%), PT Sawit Sumbermas Sarana (23,2%), Goodhope Asia Holdings Ltd. (14,9%), Golden Agri-Resources Ltd (12,4%), dan Kuala Lumpur Kepong Berhad (5%).

TuK Indonesia juga mencatat, bank dan investor anggota RSPO juga terlibat dalam pembiayaan perusahaan yang sawitnya dalam kawasan hutan, di antaranya ada BNP Paribas dan HSBC Holdings Plc.

Sementara itu Pantau Gambut menuding RSPO membiarkan anggotanya beroperasi di kawasan ilegal. Klaim ini didasarkan pada temuan Pantau Gambut yang menyebutkan adanya 47 perusahaan anggota RSPO dari total 278 perusahaan aktif beroperasi di atas Kawasan Hidrologis Gambut (KHG) seluas 407.264 hektare.

Yang menjadi polemik adalah, 84% luasan tersebut merupakan ekosistem gambut dengan fungsi lindung yang jelas dilarang pada PP No. 57 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2014 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut. Melihat kondisi tersebut, Pantau Gambut mendorong seluruh pihak yang memiliki keterkaitan dengan RSPO untuk memberikan sikapnya, bahwa RSPO tidak relevan. Temuan Pantau Gambut menunjukkan bahwa keanggotaan RSPO tidak berkorelasi lurus dengan penyelamatan hutan.

Sementara itu, Greenpeace Indonesia menyebut RSPO memiliki total gabungan seluas 283.686 hektare perkebunan sawit yang terletak secara ilegal di kawasan hutan, kendati Prinsip dan Kriteria RSPO menuntut kepatuhan kepada hukum dan peraturan nasional yang berlaku. Di antara perusahaan-perusahaan tersebut, hampir 100 perusahaan anggota RSPO, dengan masing-masing memiliki lebih dari 100 hektare yang ditanam di dalam kawasan hutan, sementara terdapat delapan perusahaan dengan masing-masing memiliki lebih dari 10.000 hektare.

Keberadaan signifikan dari perkebunan-perkebunan bersertifikasi RSPO di dalam kawasan hutan membahayakan komitmen untuk mengurangi emisi gas rumah kaca. Dalam Laporan Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC) Tahun 2021, “code red for humanity,” menyatakan bahwa setelah penggunaan energi fosil, perubahan fungsi lahan, termasuk kegiatan seperti konversi kawasan hutan untuk perkebunan kelapa sawit, merupakan penyumbang kedua terbesar terhadap perubahan iklim yang dipicu oleh manusia.

Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia, Syahrul Fitra, mengatakan perusahaan sawit yang secara ilegal beroperasi di dalam kawasan hutan harus mendapat sanksi yang tegas. Tidak hanya administratif tetapi juga sanksi pidana, alih-alih menikmati pemutihan. Seharusnya, kata Syahrul, RSPO bisa mencabut seluruh sertifikasi perusahaan anggotanya yang beroperasi di dalam kawasan hutan.

"Hal ini membuktikan bahwa mekanisme-mekanisme seperti RSPO tidak lagi relevan menyelesaikan permasalahan rantai pasok kelapa sawit dari hulu hingga hilir,” kata Syahrul.

Direktur TuK Indonesia, Linda Rosalina, menjelaskan, RSPO saat ini sudah tidak lagi relevan, dan gagal dalam menjamin keberlanjutan sawit. Lembaga ini, katanya, justru jadi alat berlindung korporasi-korporasi perusak lingkungan.

"Publik kemudian tertipu untuk menggunakan produk yang bersertifikat RSPO dari hasil rantai pasok merek-merek internasional ternama."

Perusahaan-perusahaan nakal ini, menurut Linda, adalah yang terdepan dalam menyebabkan perubahan iklim, dan RSPO menjadi alat untuk menyatakan bahwa perusahaan-perusahaan tersebut berkelanjutan, atau greenwashing.

"Publik kemudian tertipu untuk menggunakan produk yang bersertifikat RSPO dari hasil rantai pasok merek-merek internasional ternama," tuturnya.

Hal lain yang menjadi sorotan adalah penolakan kasus yang dilakukan oleh RSPO, terkait aduan warga Kerunang-Entapang, Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat, atas beroperasinya PT Mitra Austral Sejahtera, anak perusahaan Sime Darby pada 2012. Proses komplain yang panjang dan memakan korban tidak menghasilkan apapun.

Pada 10 Agustus 2023, RSPO menyatakan pengaduan ini tidak cukup bukti dan mengabaikan bukti yang diajukan oleh masyarakat berupa hukum adat Derasah sebagai bukti bahwa tanah warga tidak dijual kepada pihak perusahaan. RSPO juga menyatakan tidak dapat memutuskan kasus tersebut karena PT Mitra Austral Sejahtera bukan anggota RSPO, karena bukan lagi anak perusahaan Sime Darby (2023).

TuK Indonesia juga mengidentifikasi sepanjang satu dekade--setengah perjalanan RSPO, statistik menunjukkan sebanyak 74 pengaduan terhadap anggota RSPO diajukan dalam Sistem Pengaduan RSPO. Jika dilihat di laman web portal pengaduan RSPO, total sejak mekanisme tersebut dijalankan, terdapat 160 jumlah aduan.

"Meski belum termasuk melihat aduan-aduan yang berhasil RSPO tutup tanpa keputusan dismissed, diidentifikasi bahwa sepanjang 2018 hingga 2023, Indonesia menjadi negara dengan perkebunan sawit ter-capture paling bermasalah, setidaknya dari banyaknya jumlah aduan," ucap Linda.

Isu tenaga kerja, kata Linda, menjadi isu paling banyak dilaporkan (38,5%). Diikuti isu deforestasi (12,8%), Free, Prior and Informed Consent/FPIC (9,4%), intimidasi masyarakat lokal dan/atau masyarakat adat (9,4%), kemudian sengketa lahan (8,5%). Laporan-laporan ini bertolak dari observasi lapang dan kerja-kerja advokasi yang selama ini dilakukan, isu-isu tersebut merupakan isu yang saling berhubungan erat dan berkelindan satu sama lain.

Manajer Advokasi dan Kampanye Pantau Gambut, Wahyu Perdana menjelaskan, klaim ketidakrelevanan RSPO ini berdasarkan penilaian pada proses Prinsip dan Kriteria RSPO yang tidak benar-benar dilakukan kepada anggotanya yang terbukti bersalah. Hal ini dibuktikan oleh banyaknya perusahaan anggota RSPO yang beroperasi di atas KHG yang menjadi langganan kebakaran hutan dan lahan (karhutla) periode 2015 hingga 2019.

"Di samping itu, Pantau Gambut mencatat setidaknya ada 2 anggota RSPO yang masuk ke dalam daftar 32 perusahaan yang disegel oleh KLHK terkait karhutla tahun 2023, yaitu PT Sampoerna Agro dan PT Perkebunan Nusantara VII. Sepanjang 2015-2020, Pantau Gambut mencatat sebanyak 16.193,6 hektare konsesi sawit dalam kawasan hutan di area KHG telah terbakar," kata Wahyu.

Kondisi di atas, imbuh Wahyu, bertentangan dengan Criteria 7.7 dalam Principles & Criteria (P&C) 2018 yang mengatur perihal larangan dilakukannya penanaman sawit baru di lahan gambut, berapapun kedalamannya.

Ironisnya, kebijakan pemutihan sawit ilegal di Indonesia kembali dimasukkan ke dalam Undang-Undang Cipta Kerja Tahun 2023 melalui Pasal 110A dan 110B. Wahyu menambahkan, kebijakan Pasal 110A dan 110B ini akan membuka keran baru pengampunan kegiatan perkebunan sawit di dalam kawasan hutan, termasuk di dalamnya ekosistem gambut.

Untuk diketahui, pada 20-22 November, RSPO menggelar konferensi meja bundar Tahun 2023 di Jakarta. Pertemuan ini menjadi momen untuk merefleksikan kembali eksistensi RSPO menjelang 20 tahun organisasi multipihak ini bekerja. Dalam kesempatan itu, beragam masukan dan kritik mengemuka dari kalangan masyarakat sipil.*/**


RSPO: Kami Menggunakan Prinsip Kehati-hatian

DIREKTUR Assurance RSPO, Aryo Gustomo, mengatakan bahwa RSPO menggunakan prinsip kehati-hatian saat memproses komplain yang masuk ke dalam mekanisme mereka. Menurutnya, RSPO membutuhkan informasi yang akurat dan tuduhan dalam komplain harus bisa dibuktikan. 

“Agar ketika kita mengambil keputusan, itu tidak memihak ke yang salah, supaya keputusannya itu betul-betul (melihat) siapa yang benar, dan yang salah itu harus diperbaiki,” kata Aryo kepada wartawan pada perhelatan Roundtable RSPO di Jakarta, 20-22 November 2023. 

Terkait berbagai laporan yang mengidentifikasi anggota RSPO yang terlibat perusakan lingkungan, seperti kebakaran hutan berulang, Aryo mengatakan ke depan pihaknya akan mengutamakan solusi dan perbaikan kepada anggotanya yang melakukan pelanggaran Prinsip dan Kriteria. 

“Memang sanksi itu perlu untuk mencegah recurrence (kesalahan berulang, red). Tapi di satu sisi, harus balance dengan solusinya. Maka ke depan kita akan membuat sebuah sistem, termasuk standar, supaya kita bisa menyediakan solusi, tidak cuma sanksi,” kata Aryo. 

Aryo mengatakan pihaknya sedang menyiapkan digital assurance system yang bisa mengidentifikasi risiko dan masalah perusahaan sebelum jadi anggota RSPO. Sistem ini, katanya, untuk mencegah adanya pelanggaran ketika sebuah perusahaan menjadi anggota RSPO. 

“Di sini kita akan memberikan solusi. Ketika dia punya segudang masalah atau tidak memenuhi persyaratan kita, maka kita memberikan solusinya. Bisa dengan training, mungkin dengan advisory, dan lainnya. Sebelum jadi anggota, dia harus melakukan perbaikan dan lainnya,” kata Aryo. 

“Pokoknya preemptive (pencegahan, red). Kita tahu apa masalahnya, dan kita kasih solusi supaya mereka betul-betul comply. Kalau tidak comply (patuh, red), maka belum bisa certified (tersertifikasi, red),” kata Aryo. 

Direktur Market Transformation RSPO, M Windrawan Inantha, mengatakan bahwa hasil keputusan mekanisme komplain tidak bisa memuaskan semua pihak. Terkait kasus masyarakat adat Entapang dan Kerunang, Windrawan mengatakan masih ada sistem banding. 

“Kasus-kasus itu tidak selalu menguntungkan perusahaan atau masyarakat atau siapapun yang berkonflik. Dengan segala keterbatasan yang RSPO miliki, sistem komplain kita itu berjalan,” kata Windrawan.*/**


Ramai-ramai "Geruduk" RSPO

BETAHITA.ID - Komunitas masyarakat adat dan komunitas lokal dari Riau, Sumatera Barat, Kalimantan Barat, dan Kalimantan Tengah mengkritik kinerja Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) soal perusahaan perkebunan sawit yang merampas tanah dan hutan mereka, tanpa persetujuan komunitas atau adat. Protes tersebut disampaikan dalam sebuah dokumen pernyataan sikap untuk RSPO di Jakarta pada 19 November 2023.

Irasan, perwakilan masyarakat Batin Talang Parit, Indragiri Hulu, Riau, mengatakan mereka mengadu ke RSPO karena semua upaya sesuai mekanisme yang tersedia sudah dilakukan, baik di tingkat daerah maupun di tingkat pusat. “Kami lakukan untuk mendapatkan keadilan,” ungkap Irasan. Namun, ujarnya, sampai saat ini keadilan yang diharapkan dari RSPO itu masih berupa mimpi.

Padahal, Irasan berharap mekanisme yang disediakan oleh pasar melalui RSPO dapat memberikan keadilan, kepastian waktu,  dan kejelasan prosedur penanganan pengaduan keluhan. "Sehingga proses penyelesaian menjadi jelas,” kata dia.

Berita lainnya:

  1. 10 Besar Grup Sawit yang Dapat Pemutihan: Sinar Mas, Wilmar, ...
  2. 25 Taipan Kuasai Sawit Indonesia
  3. Dana Sawit: Rp 4 T untuk Petani, Rp 40 T untuk Korporasi

Nazar Ikhwan, hakim adat dari Nagari Anam Koto, Kinali, Pasaman Barat, Sumatera Barat mengungkapkan, upaya melalui mekanisme pengaduan RSPO sejauh ini tidak memberikan hasil. Berbagai alasan disampaikan oleh RSPO. Misalnya, yang diajukan tidak berdasar dan tidak sesuai dengan maksud kebijakan minyak sawit berkelanjutan, sebagaimana yang tertera dalam P&C RSPO. Alasan lainnya seperti kasus yang diadukan masih dalam penilaian dan akan diuji di lapangan.

“Yang lebih menyakitkan, ada perusahaan dari kelompok usaha anggota RSPO yang sedang berkonflik dengan masyarakat,  namun bisa menjual anak perusahaan yang berkonflik tersebut kepada pihak lain,” kata Nazar.

Semua hal ini, kata Nazar, melanggar prinsip dan kriteria RSPO dan sudah selayaknya RSPO memberikan sanksi kepada perusahaan tersebut. “Namun semua yang kami harapkan dari RSPO tidak pernah terjawab apalagi dipenuhi,” ungkapnya.

Gasmil, masyarakat adat dari Jorong Labuhan, Nagari Tiku Limo Jorong, Agam, Sumatera Barat, menambahkan, pelanggaran peraturan perundangan dan kebijakan yang dilakukan oleh perusahaan tidak mendapat sanksi apa pun dari pihak RSPO. “Kami tidak menemukan penerapan standar berkelanjutan dalam bisnis kelapa sawit Wilmar di PT AMP. Kami sangat berharap RSPO dapat mengontrol penerapan P&C dan memberikan sanksi terhadap anggota yang melanggar,” kata Gasmil.

Komunitas masyarakat adat dan komunitas lokal mengingatkan kembali tujuan pendirian RSPO, yaitu untuk mendorong prinsip minyak sawit berkelanjutan di mana aspek menghormati hak-hak masyarakat adat dan komunitas lokal serta keberlanjutan lingkungan menjadi bagian penting di dalamnya.

Masyarakat yang menyatakan sikap kepada RSPO adalah:

  1. Masyarakat Nagari Kotobaru, Pasaman Barat, Sumatera Barat
  2. Masyarakat Anam Koto Kinali Pasaman Barat, Sumatera Barat
  3. Masyarakat Labuhan, Agam, Sumatera Barat
  4. Masyarakat Talang Mamak Luak Talang Parit, Indragiri Hulu, Riau
  5. Kelompok Tani Harapan Sp-3, Nagari Simpang Tigo Koto Baru, Kec. Luhak Nan Duo, Pasaman Barat, Sumatera Barat
  6. Masyarakat Tanjung Hanau, Seruyan, Kalimantan Tengah
  7. Masyarakat Desa Lampasa, Kabupaten Seruyan, Kalimantan Tengah
  8. Masyarakat Adat Dayak Bekati Riuk Dusun Sebalos, Bengkayang, Kalimantan Barat
  9. Masyarakat Dayak Bekati Subah, Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat
  10. Masyarakat Adat Dayak Hibun, Kerunang-Entapang, Sanggau, Kalimantan Barat. */**

SHARE