Penangkapan Ikan Terukur Berlaku Awal 2024

Penulis : Gilang Helindro

Kelautan

Kamis, 19 Oktober 2023

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID - Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono menyatakan pelaksanaan kebijakan ekonomi biru Penangkapan Ikan Terukur (PIT) mulai berlaku awal tahun depan. Di antaranya mekanisme kuota penangkapan dan penerimaan negara bukan pajak (PNBP). 

"PIT kita terapkan untuk kemajuan sektor perikanan tangkap dan juga menjaga keberlanjutan ekologi," ungkap Menteri Trenggono dalam keterangan resminya Rabu, 19 Oktober 2023.

KKP sebelumnya telah menerbitkan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 28 tahun 2023 sebagai turunan Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2023 tentang Penangkapan Ikan Terukur. Menteri KKP juga mengeluarkan Surat Edaran Nomor 1569 tentang Tahapan Pelaksanaan Kebijakan Penangkapan Ikan Terukur pada 2 Oktober lalu.

Sesuai surat edaran tersebut, perizinan berusaha subsektor penangkapan ikan dan pengangkutan ikan yang sebelumnya akan berubah menjadi format Penangkapan Ikan Terukur. Pengajuan perubahan format dibuka mulai 1 sampai 18 November 2023.

Lembaga Pengembangan Sumber Daya Nelayan (LPSDN), Nusa Tenggara Barat menilai kehidupan nelayan semakin sulit dan mengeluhkan penerapan kebijakan PIT dari KKP. Foto/Istimewa

Sedangkan batas waktu permohonan dan layanan kuota penangkapan ikan baru akan dimulai pada 21 November sampai 29 Desember 2023. Saat ini KKP masih menyelesaikan dokumen keputusan menteri mengenai kuota penangkapan ikan tersebut.

"Kuota penangkapan saya pastikan utamanya untuk nelayan dan pelaku usaha perikanan dalam negeri. Maka dari itu saya minta teman-teman juga siap dengan mekanisme penangkapan yang baru ini. Perizinannya, kewajiban PNBP-nya, peralatannya seperti VMS, saya harap dilengkapi semuanya," ujarnya.

Mengenai mekanisme kuota penangkapan selama setahun, kata Trenggono, pelaku usaha yang akan mengajukan jumlahnya. Proses pengajuan dilakukan secara online sehingga efektif dan efisien. Sedangkan PNBP yang harus dibayar pelaku usaha nantinya berdasarkan hasil tangkapan, bukan berdasarkan kuota.

"Kalau kuota setahunnya 100 ribu ton misalnya, terus yang didapat 80 ribu ton, ya berarti PNBP yang dibayar ya 80 ribu ton itu," ungkapnya.

Namun, Amin Abdullah, Nelayan di Lombok Timur dan juga Ketua Lembaga Pengembangan Sumber Daya Nelayan (LPSDN), Nusa Tenggara Barat menilai kehidupan nelayan semakin sulit dan mengeluhkan penerapan kebijakan PIT dari KKP. “Ditambah lagi dengan banyaknya administrasi yang harus dilengkapi dengan adanya PIT,” katanya  

Pasalnya, kebijakan yang berorientasi untuk menggenjot penerimaan negara bukan pajak (PNBP) dari sektor kelautan dan perikanan dengan mekanisme PNBP pasca produksi, menjadikan nelayan dan pelaku usaha perikanan merasa dipaksa membayar denda di luar pembayaran PNBP.

Bahkan, pelaku usaha perikanan dan nelayan yang tidak patuh terancam tidak akan diterbitkan surat laik operasi (SLO) dan surat persetujuan berlayar (SPB) hingga pembekuan izin usaha.

Dalam catatan Aminkehidupan nelayan juga semakin sulit sejak disahkan UU Cipta Kerja dan PP Nomor 11 Tahun 2023 tentang Penangkapan Ikan Terukur. Nelayan tradisional, ujarnya, harus mengurus perizinan yang sangat rumit. “Kita bisa bayangkan, bagaimana nelayan mengurus perizinan yang begitu banyak, mulai dari izin kapal yang sangat rumit, izin penangkapan ikan, sampai izin untuk mendapatkan kuota pengangkatan ikan,” ungkap Amin. 

SHARE