Merusak Mangrove, Tambang Nikel Sultra Diadukan ke Gakkum KLHK

Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

Tambang

Rabu, 18 Oktober 2023

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID - Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sulawesi Tenggara (Sultra) melaporkan PT Wijaya Inti Nusantara (WIN) ke Direktorat Jenderal (Ditjen) Penegakan Hukum Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Gakkum KLHK) pada Senin (16/10/2023). Perusahaan tambang nikel itu dilaporkan lantaran diduga melakukan tindak pidana pengrusakan mangrove dan lingkungan hidup di Desa Torobulu, Kecamatan Laeya, Kabupaten Konawe Selatan, Sultra.

Direktur Walhi Sultra, Andi Rahman menjelaskan, dasar hukum laporan PT WIN ke Gakkum LHK ini adalah dugaan tindak pidana lingkungan hidup dan kehutanan, berupa perusakan lingkungan hidup dan melakukan kegiatan tanpa izin lingkungan yang diatur dalam Pasal 98 dan Pasal 109 Jo. Pasal 116 ayat (2) Undang-Undang 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Andi mengungkapkan, pengrusakan mangrove tersebut dilakukan di luar Wilayah Izin Usaha Pertambangannya (WIUP) yang dipegang perusahaan. Hal tersebut berdasarkan hasil tumpang susun atau overlay peta satelit dan peta Minerba One Map Indonesia (MOMI) Kementerian Energi Sumber Daya dan Mineral (ESDM).

"Kami duga perusakan mangrove ini dilakukan untuk pembuatan jalan ke jetty (dermaga tambang) perusahaan. Untuk luasan yang digarap belum kami punya real-nya. Dugaan kami perusahaan tersebut telah menggarap hutan mangrove sejak tahun 2020," kata Andi, Selasa (17/10/2023).

Sejumlah warga saat melakukan aksi penolakan aktivitas tambang PT WIN di kawasan pemukiman, Desa Torobulu, Konawe Selatan, satu bulan yang lalu. Foto: Walhi Sultra.

Menurut Andi, saat menyerahkan laporan tersebut, pihak Gakkum LHK menyatakan akan melakukan penelaahan terlebih dahulu, sebelum kemudian melakukan tinjauan lapangan. Andi berharap kasus ini benar-benar menjadi perhatian dan segera mendapat tindakan dari Gakkum LHK.

Selain merusak hutan mangrove di luar WIUP, lanjut Andi, PT WIN juga juga telah melakukan penambangan di area pemukiman warga, dan telah merusak sungai dan sumber mata air masyarakat di Desa Torobulu. Akibatnya, sudah tiga pekan warga di desa tersebut kesulitan mendapatkan air bersih.

"WIUP PT WIN ini masuk dalam pemukiman warga, dan seharusnya menurut kami IUP itu dicabut, karena berada dalam kawasan pemukiman warga. Jika tidak (dicabut) dampaknya nanti akan dirasakan warga yang berada di dalam IUP. Warga sudah 3 minggu tidak mendapatkan air bersih," kata Andi.

Andi menyebut, satu bulan lalu warga setempat melakukan aksi menolak aktivitas pertambangan di kawasan pemukiman. Alih-alih penolakan itu didengar, yang terjadi justru 8 warga dilaporkan ke Polres Konawe Selatan oleh PT WIN.

"Laporannya diduga telah menghalang-halangi investasi. Padahal warga hanya memperjuangkan haknya untuk mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat, sesuai dengan UU No. 32 Tahun 2009," ujarnya.

Andi menganggap pelaporan 8 warga yang menolak aktivitas tambang itu adalah bentuk upaya kriminalisasi yang dilakukan pihak perusahaan terhadap warga yang sedang memperjuangkan hak sebagai warga negara.

Berdasarkan data Mineral One Data Indonesia (MODI) Kementerian ESDM, PT WIN telah memegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) Operasi Produksi Nomor 820/DPMPTSP/XI/2019, dengan luas sekitar 1.931 hektare. IUP tersebut berlaku mulai 29 November 2019 hingga 28 November 2029.

Masih berdasarkan MODI Kementerian ESDM, perusahaan ini beralamat di Jl. Anuang No. 86 Kelurahan Maricaya Selatan, Kecamatan Mamajang, Kota Makassar, Sulawesi Selatan. Perusahaan ini dimiliki oleh PT Tri Daya Jaya (99 persen saham) dan Frans Salim Kalalo (1 persen saham). Selain sebagai pemegang saham minoritas, Frans Salim Kalalo juga menjabat sebagai direktur pada perusahaan ini, sedangkan kursi komisaris diduduki oleh Anthony Kalalo.

SHARE