Masyarakat Adat Tanah Papua Minta KLHK Tetapkan 10 Hutan Adat

Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

Masyarakat Adat

Sabtu, 23 September 2023

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID - Perwakilan masyarakat adat dari sejumlah suku dari Tanah Papua meminta Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) mengukuhkan 10 hutan adat. Mereka ingin lahan bekas konsesi perusahaan dikembalikan kepada masyarakat adat setempat.

“Pengakuan hutan adat terjadi hanya pada Kongres AMAN saja, setelah itu tidak ada. Hak kami tidak dihormati dan tidak dilindungi, hutan adat dicuri dan digusur. Kami mengalami kesulitan air bersih, kesulitan pangan dan terjadi konflik antara masyarakat pro dan kontra perusahaan,” ujar Regina Bay, Perempuan Adat Namblong asal Lembah Grime Nawa, Kabupaten Jayapura, dalam keterangan tertulis, Kamis (21/9/2023).

Regina menjelaskan, tahun lalu pemerintah melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menetapkan tujuh hutan adat di Tanah Papua. Penetapan tujuh hutan adat ini adalah yang pertama kali dilakukan pemerintah di Tanah Papua, sejak adanya putusan Mahkamah Konstitusi (2012) yang menetapkan hutan adat bukan hutan negara.

Regina Bay, Perempuan Adat Namblong asal Lembah Grime Nawa, Kabupaten Jayapura, Papua.

Perwakilan masyarakat adat dari sejumlah suku di Tanah Papua, datang ke Kantor KLHK, Jakarta, menyerahkan permohonan penetapan 10 hutan adat, Rabu (20/9/2023) kemarin. Foto: Pusaka Bentala Rakyat.

Tujuh hutan adat itu terdiri dari enam Surat Keputusan (SK) Hutan Adat di Kabupaten Jayapura, atas nama Marga Syuglue Woi Yonsu seluas 14.602,96 hektare, Yano Akura 2.177,18 hektare, Yano Meyu 411,15 hektare, Yosu Desoyo 3.392,97 hektare, Yano Wai 2.593,74 hektare, dan Takwobleng 404,9 hektare, lainnya Marga Ogoney di Kabupaten Teluk Bintuni seluas 16.299 hektare.

Sehari sebelumnya, Rabu (20/9/2023), Mama Regina bersama perwakilan dan pemimpin masyarakat adat, berasal dari Suku Afsya-Kabupaten Sorong Selatan, Suku Moi Kelim-Kabupaten Sorong, Suku Wambon Kenemopte-Distrik Subur, dan Distrik Jair, dan Suku Awyu-Kabupaten Boven Digeol, pemimpin organisasi Pemuda Adat, Sorong, dan Perempuan Adat Namblong, Jayapura, bersama Yayasan Pusaka Bentala Rakyat, bertemu dan berdialog dengan Direktorat Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan (Ditjen PSKL) di ruang pertemuan PSKL KLHK, Manggala Wanabakti, Jakarta.

Dalam pertemuan itu, Irene Thesia, Perempuan Adat Tehit dari Sorong Selatan, menyampaikan, pihaknya menyambut baik komitmen pemerintah pusat dan daerah untuk melakukan evaluasi perizinan usaha pemanfaatan sumber daya alam. Yang mana, Menteri LHK telah menerbitkan SK.01/MENLHK/KUM.1/1/2022 tentang Pencabutan Izin Konsesi Kawasan Hutan, dan mencabut sekitar 55 izin usaha perkebunan, pengusahaan hasil hutan dan hutan tanaman industri di Tanah Papua.

"Namun upaya penertiban perizinan belum diikuti dengan pemulihan dan pengembalian hak masyarakat adat Papua yang dialihkan secara paksa dan diambil tanpa persetujuan bebas masyarakat adat,” keluh Irene.

Yulian Kareth, salah seorang perwakilan masyarakat adat, mengatakan menurut data, kawasan hutan di Tanah Papua yang telah diberikan kepada 59 perusahaan perkebunan dan hutan tanaman industri (HTI), luasnya diperkirakan mencapai 2.061.538 hektare. Dari luasan tersebut, tutupan hutan yang hilang dan telah dibuka untuk untuk bisnis perkebunan dan HTI seluas kurang lebih 120.255 hektare.

Artinya, dari angka tersebut, tutupan hutan pada areal konsesi yang masih tersisa luasnya sekitar 1.948.283 hektare. Kawasan hutan dimaksud berada dalam wilayah adat dan masih dalam penguasaan masyarakat adat.

“Kami meminta tanah dan hutan adat bekas konsesi perusahaan, yang dikuasai perusahaan tanpa persetujuan kesepakatan dengan masyarakat untuk dikembalikan kepada masyarakat. Kami akan kelola sendiri hutan adat,” minta Yulian.

Yulian melanjutkan, dalam konteks restitusi hak asasi manusia, idealnya hak masyarakat adat yang hilang, yang dirampas, dan mengakibatkan penderitaan dan kerugian, seharusnya pemerintah kembalikan, dan kerugian yang dialami masyarakat adat juga dipulihkan. Yulian bersama perwakilan masyarakat adat Tanah Papua lainnya yang hadir pun meminta dan menuntut pemerintah agar hutan adat segera dikembalikan, kuasa, pengelolaan dan pemanfaatannya oleh masyarakat adat.

Dipimpin Sekretaris Ditjen PSKL, Mahfudz, perwakilan masyarakat adat Tanah Papua dan sejumlah penjabat Ditjen PSKL berdialog membahas isu permasalahan dampak dari aktivitas perusahaan terhadap masyarakat adat dan lingkungan.

Pada kesempatan tersebut, perwakilan dan pemimpin marga dan suku menyerahkan surat permohonan penetapan hutan adat dan dilengkapi dokumen persyaratan, yakni sejarah masyarakat adat, pengetahuan penguasaan dan kepemilikan tanah, sejarah silsilah masyarakat adat, gambaran wilayah adat yang diklaim dan peta adat yang memuat batas tanah adat, peta wilayah adat dan/atau hutan adat, pengaturan dan kelembagaan adat, berita acara kesepakatan batas tanah adat, dan dokumen Peraturan Daerah tentang Pengakuan dan Perlindungan Hak Masyarakat Adat.

Ada 10 usulan hutan adat yang disampaikan perwakilan dan pemimpin masyarakat adat, yaitu hutan adat Sub Suku Afsya di Distrik Konda, Kabupaten Sorong Selatan; Marga Kinggo Kambenap, Suku Wambon Kenemopte, Distrik Jair, seluas 5.100 hektare; Marga Tenggare, Suku Wambon Kenemopte, Distrik Jair, seluas 3.000 hektare; Marga Aute, Suku Wambon Kenemopte, Distrik Subur, seluas 15.343 hektare.

Kemudian hutan adat Marga Kanduga, Suku Wambon Kenemopte, Distrik Subur, seluas 14.105 hektare; Marga Ekoki di Kampung Aiwat, Suku Wambon Kenemopte, Distrik Subur, seluas 61.304 hektare; Marga Ekoki di Kampung Subur, Suku Wambon Kenemopte, Distrik Subur, seluas 41.222 hektare; Marga Kemi, Suku Wambon Kenemopte, Distrik Subur, seluas 48.901 hektare; Marga Eninggugop, Suku Wambon Kenemopte, Distrik Subur, seluas 30.228 hektare; dan Marga Wauk, Suku Wambon Kenemopte, Distrik Subur, seluas 20.149 hektare.

“Bapak kami mohon untuk disegerakan penetapan hutan adat di wilayah adat Suku Afsya. Wilayah adat kami sempit karenanya kami menolak perusahaan yang mendapat izin kehutanan,” kata Johanis Meres, tokoh masyarakat adat Afsya, Kepada Direktur Penanganan Konflik, Tenurial dan Hutan Adat (PKTHA), Muhammad Said yang menerima surat dan dokumen usulan hutan adat.

Masih di momen yang sama, Muhammad Said menjelaskan, pemerintah sedang memproses 50 usulan hutan adat dan menjadi prioritas untuk ditetapkan pada 2023, di antaranya ada delapan lokasi hutan adat berada di Tanah Papua. 

SHARE