Hari Badak Sedunia: Gejala Gawat Badak Sumatra
Penulis : Kennial Laia
Badak
Jumat, 22 September 2023
Editor : Yosep Suprayogi
TAMAN Nasional Way Kambas, Lampung, menutup tahun 2022 dengan kecemasan mendalam. Di taman nasional itu baru saja digelar survei untuk mencari badak. Hasilnya: nihil. Tidak ditemukan satupun jejak badak. Padahal, survei di area tengah TNWK yang diyakini sebagai habitat badak sumatra (Dicerorhinus sumatrensis) itu berlangsung besar-besaran. Selama sekitar 15 hari, tak kurang 120 orang melakukan pencarian di area seluas 15.400 hektare.
“Gejala itu mengerikan buat saya. Harusnya (badak) itu ada, tapi kok enggak ada," kata Prof. Hadi S. Alikodra, Guru Besar Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor, kepada Betahita, Senin, 18 September 2023. "Kotoran enggak ada, jejak pun nggak. Tidak ada tanda-tanda di pohon, seperti bekas gesekan badak. Ini mengkhawatirkan,” ujarnya lagi.
Alikodra adalah Wakil Ketua Dewan Pembina YABI (Yayasan Badak Indonesia). YABI merupakan salah satu organisasi yang terlibat intensif dalam konservasi badak, termasuk di Taman Nasional Way Kambas.
Laporan lainnya dari sumber Betahita makin membikin pilu. Di area tengah ke selatan taman nasional, ujar sumber Betahita, kini terpasang sekitar 200 kamera pantau (camera-trap). Dipasangnya di tempat-tempat badak berada. Di jalan setapaknya, di tempat dia spa lumpur, hingga di tempat-tempat dia mencari makan. Namun, tidak ada badak yang terekam sejak 2019.
Ihwal penggunaan sumber anonim oleh Betahita di laporan ini baiklah kami terangkan lebih dulu alasannya. Soalnya, memang tidak ada ancaman atas keselamatan narasumber, yang merupakan pertimbangan utama penggunaan sumber anonim dalam jurnalistik. Namun, sumber-sumber Betahita mengaku, mereka mengkhawatirkan hal yang lebih buruk dari keselamatan pribadi.
Kembali ke badak di TN Way Kambas. Alikodra mengatakan pihaknya tak kehilangan harapan untuk menemukan badak di TN Way Kambas. Yang perlu dilakukan adalah sebuah survei lanjutan secara intensif dan besar-besaran di berbagai habitat badak. Tujuannya untuk mengetahui secara pasti jumlah satwa terancam punah tersebut. "Di Way Kambas perlu penyisiran di area atas (utara) dan bawah (selatan) taman nasional," kata dia. “Kita harus berani bilang harus ada sensus pada daerah atas dan bawah. Supaya tiga-tiganya tersisir semua,” ujarnya.
Hal ini klop dengan catatan kamera pantau yang dibocorkan sumber Betahita. Upaya deteksi via kamera, ujarnya, belum secara penuh dilakukan di bagian tengah ke utara. Sehingga, ada kemungkinan jika upayanya ditambah, ada harapan satwa ini dapat diidentifikasi.
Untuk kebutuhan survei lanjutan tersebut, Alikodra mengatakan pihaknya sedang mengupayakan agar survei di area yang lebih luas itu dilakukan. "Sekarang sedang proses, anggaran sedang diajukan,” ujarnya.
Alikodra mengungkapkan, para pegiat konservasi mengkhawatirkan populasi badak sumatra, maupun badak jawa (Rhinoceros sondaicus), terus menurun. "Indikasinya banyak," ujar Prof. Hadi.
Di Taman Nasional Ujung Kulon, habitat terakhir badak jawa, badak cula satu itu sulit dijumpai secara langsung. Pergerakannya pun jarang terdeteksi kamera.
Demikian halnya badak sumatra. Menurut dokumen Strategi dan Rencana Aksi Konservasi (SRAK) 2017, populasi badak sumatra tidak lebih dari 80 individu yang tersebar di tiga taman nasional, yakni Taman Nasional Way Kambas, Lampung, sebanyak 40 individu. Di kawasan ini, terdapat 7 badak yang berada di penangkaran Sumatran Rhino Sanctuary (SRS) dan 33 individu diklaim hidup di alam liar. Kemudian di Taman Nasional Gunung Leuser, Aceh, sebanyak 30-60 individu, dan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan, Lampung-Bengkulu, sebanyak 15 individu.
Angka di atas bisa saja halu, meski kita berharap akurat. Soalnya, laporan pengawas perdagangan liar TRAFFIC dan Asian Rhino Specialist Group IUCN tahun 2020, memperkirakan jumlah badak sumatra hanya 34-47 individu. Angka ini turun dari perkiraan minimum sebelumnya yaitu 73 individu pada 2015.
Yang mana pun yang salah soal jumlah badak tersebut, Alikodra merasa di tiga kawasan yang menjadi habitat terakhir badak sumatra, satwa soliter ini semakin sulit ditemui. Di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan, misalnya, tidak ditemukan jejak badak sejak 2014. Di Way Kambas, terakhir kali terekam kamera tahun 2019. Sementara itu di Leuser, jumlah populasi tepatnya sulit ditentukan karena semakin jarang terdeteksi.
“Kami khawatir terjadi kondisi populasi yang terus menurun sehingga suatu saat akan terjadi kepunahan seperti badak jawa di Vietnam. Ini benar-benar mengkhawatirkan,” kata Alikodrai.
Riszki Is Hardianto, peneliti satwa Auriga Nusantara, menggarisbawahi ancaman kepunahan badak karena perburuan. Dia menekankan perburuan ilegal itu terindikasi terus berlangsung. Agustus lalu, misalnya, ditemukan satu bangkai badak jawa tanpa cula di Taman Nasional Ujung Kulon. Penegak hukum telah mengonfirmasi kematian tersebut akibat perburuan liar.
Riszki mengatakan ini alarm bahaya bagi pelestarian badak di Indonesia. Pasalnya, setelah tiga puluh tahun aman dari perburuan, bubuk mesiu kembali terendus di habitat badak. Bukan tidak mungkin, ancaman yang sama mengintai badak di Pulau Sumatera.
Badak sumatra masuk dalam daftar merah Uni Internasional untuk Konservasi Alam atau Union for Conservation of Nature (IUCN). Status spesies bercula dua ini kritis (critically endangered), atau satu langkah menuju kepunahan di alam liar.
Alikodra mengatakan perburuan terhadap badak sumatra telah diketahui menjadi salah satu faktor yang menyumbang penurunan populasinya. "Ancaman lainnya adalah izin-izin pertambangan dan perkebunan yang berada di sekitar habitat badak," kata dia.
Menurut Riszki, bukti adanya perburuan badak jawa di Ujung Kulon patut membuat was-was konservasi badak sumatra. “Mungkin sudah ada perburuan tapi kita tidak mengetahuinya, dan jangan sampai badak sumatra akan punah dalam kesepian,” kata dia. “Jika badak sumatra mengalami kepunahan, maka ini bukan saja terjadi kepunahan spesies/jenis akan tetapi tapi juga kepunahan genus/marga,” Riszki menambahkan.
Alikodra mengatakan, ada kemungkinan telah terjadi kepunahan lokal di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan. Pasalnya, di sana tidak ditemukan jejak badak selama hampir 10 tahun. Namun hal ini belum pasti karena tidak ada deklarasi dari pemerintah.
Karena itu, menurut Alikodra, salah satu langkah yang mendesak untuk dilakukan adalah sensus intensif dan besar-besaran untuk memperoleh jumlah pasti badak sumatra di alam liar. Menurutnya saat ini, gerakan yang harus dilakukan tidak boleh langkah yang biasa-biasa saja. Semua harus terlibat mulai dari lembaga swadaya masyarakat, pemerintah, masyarakat, hingga parapihak terkait lainnya.
“Harus ada gerakan masif untuk sensus. Kondisinya sangat kritis, jadi memerlukan aksi yang tidak biasa. Perlu high call dari pemerintah terkait,” ujar Alikodra.
Di Way Kambas langkah-langkah ini sedang didorong. Baru-baru ini, kata Alikodra, pihaknya mengadakan pertemuan dengan kementerian terkait ihwal kekhawatiran soal populasi badak. Pasca pertemuan tersebut, diadakan diskusi kelompok terfokus atau focus group discussion (FGD) di Ujung Kulon, Banten.
Alikodra mengatakan sejumlah hal juga harus ditingkatkan antara lain kegiatan pemantauan, koordinasi, pelaporan harus jelas, serta kejujuran dan kesungguhan manusia dalam menjaga badak. Metodologi pun tidak lagi mengandalkan sistem sampling, tetapi metode yang mempelajari pergerakan badak secara menyeluruh. Memang ada tantangannya, di antaranya karena terkait intensitas dana dan kegiatan yang tinggi.
“Dalam kondisi tidak biasa saat ini, (ironisnya) kita masih meraba-raba, ada atau tidak, hilang atau tidak hilang. Karena itu harus 100% sensus sebanyak-banyaknya. Bukan lagi sampling. Memang ada pendapat bahwa ini akan mengganggu badak, tapi ini cuma sekali saja untuk memastikan ada tidaknya badak,” kata Alikodra.
“Kerugiannya itu maha dahsyat kalau sampai badak sumatra hilang. Jangan sampai seperti Malaysia. Kepercayaan dunia mengarah ke Indonesia. Jadi kita juga harus berguru banyak. Maksudnya jangan sendirian, ini kan milik bersama,” Alikodra menegaskan.
SHARE