Pengendalian Polusi PLTU Suralaya Dapat Cegah 1.527 Kematian
Penulis : Raden Ariyo Wicaksono
Polusi
Rabu, 13 September 2023
Editor :
BETAHITA.ID - Penilaian dampak Kesehatan (HIA) terbaru dari Centre for Research on Energy and Clean Air (CREA) mengungkapkan, polusi udara dari kompleks PLTU batu bara Suralaya-Banten, memiliki dampak yang buruk terhadap kesehatan masyarakat dan perekonomian. Bila pengendalian polusi diterapkan lebih ketat di kompleks PLTU tersebut, kata CREA, 1.527 nyawa bisa terselamatkan dan uang triliunan rupiah bisa dihemat.
Pertumbuhan dan pembangunan Indonesia dalam beberapa tahun terakhir telah menjadikan Indonesia sebagai negara dengan perekonomian terbesar di Asia Tenggara, namun hal ini harus dibayar mahal. Sektor pembangkit listrik bertenaga bahan bakar fosil seperti batu bara terus dikembangkan guna memenuhi kebutuhan negara dengan jumlah penduduk terbesar keempat di dunia ini. Akibatnya mutu udara di Indonesia pun kian buruk sehingga sangat mempengaruhi kesehatan penduduk dan ekonomi negara, yang berkontribusi terhadap pengurangan angka harapan hidup hingga lima tahun serta merugikan Indonesia sebesar lebih dari USD220 miliar setiap tahunnya.
Jakarta pun kian melemah akibat polusi udara. Selain itu dana Kemitraan Transisi Energi yang Adil (Just Energy Transition Partnership - JETP) ditunda. Dana JETP senilai USD20 miliar itu dimaksudkan untuk membantu Indonesia dalam transisi ramah lingkungan.
Salah satu polusi dari PLTU batu bara itu dihasilkan dari dari kompleks PLTU Suralaya-Banten. Menurut CREA, polusi dari PLTU ini mencapai Kota Serang, Cilegon, dan Jakarta, yang telah mengalami krisis polusi udara selama bertahun-tahun. Meskipun pemerintah berupaya mengesampingkan kontribusi PLTU batu bara terhadap polusi udara dan berencana menerapkan kebijakan work from home (WFH) di Jakarta untuk mengurangi polusi udara dari kendaraan komuter, analisis CREA menunjukkan partikel halus (PM2.5) dari pembakaran batu bara di sekitarnya berkontribusi terhadap lonjakan polusi udara tahunan di Jakarta, termasuk dari kompleks Banten-Suralaya, dan memiliki dampak yang buruk bagi penduduk di seluruh wilayah barat laut Jawa.
Pembakaran batu bara pada PLTU batu bara seperti di kompleks PLTU Suralaya menimbulkan polusi udara yang terdiri dari partikel halus (PM2.5), nitrogen dioksida (NO2), sulfur dioksida (SO2), dan ozon (O3), yang seluruhnya dapat menyebar dalam jarak jauh dan menyebabkan penyakit pada manusia. Mulai dari batuk kronis seperti yang dialami oleh Presiden Indonesia musim panas ini, hingga kematian. Di Indonesia, rata-rata konsentrasi PM2.5 tahunan terkadang melebihi 50 µg m-3, atau dengan kata lain melanggar pedoman WHO terkait batas tahunan sebesar 5 µg m-3 dengan faktor 10.
Penilaian dampak kesehatan (HIA) yang dilakukan CREA menemukan, jika standar nasional untuk PLTU batu bara ditegakkan, dampak tersebut di atas dapat dikurangi, dan jika teknologi terbaik yang tersedia (BAT) diterapkan, perbaikannya mungkin akan lebih besar.
Apabila standar nasional ditegakkan, polusi udara akan berkurang, mencegah hingga 97–268 kematian, 141–300 kunjungan ke unit gawat darurat, 17–236 kasus asma baru pada anak, 74–157 kelahiran prematur, 48–103 kelahiran dengan berat badan lahir kurang, dan 59.000–125.000 ketidakhadiran kerja. Penurunan kerugian kesehatan ini akan menghemat perekonomian Indonesia sebesar Rp0,940–2,6 triliun (USD70–190 juta).
Bila teknologi terbaik yang tersedia (BAT) untuk pengendalian emisi juga diterapkan di kompleks PLTU Suralaya-Banten, rata-rata konsentrasi PM2.5 tahunan akan turun menjadi kurang dari 0,2 µg m-3 dan dapat menyelamatkan hingga 1.527 nyawa setiap tahunnya. Penerapan teknologi terbaik yang tersedia (BAT) juga dapat mencegah hingga 1.642-1.792 kunjungan ke unit gawat darurat, 932-1.164 kasus asma baru pada anak, 853-942 kelahiran prematur, 561-615 kelahiran dengan berat badan lahir kurang, dan 680.000-746.000 ketidakhadiran kerja setiap tahunnya. Semua ini dapat diartikan adanya potensi keuntungan ekonomi sebesar Rp14,7 triliun (USD1,08 miliar).
Banyaknya PLTU di Indonesia yang lokasinya dekat dengan perkotaan, dan kurangnya penerapan pengendalian emisi, memberikan kontribusi signifikan terhadap salah satu krisis polusi udara paling serius di dunia, yang membawa dampak besar bagi masyarakat dan perekonomian Indonesia.
“Pemerintah Indonesia harus mengambil langkah-langkah yang lebih serius untuk mengatasi emisi dari PLTU batu bara. Sangat penting untuk menegakkan kepatuhan terhadap standar, menerapkan teknologi terbaik yang tersedia (BAT), dan pada akhirnya menggantinya dengan sumber energi terbarukan sesegera mungkin,” ucap Jamie Kelly, Analis Mutu Udara di CREA, dalam keterangan tertulis, Selasa (12/9/2023).
Meskipun Kemitraan Transisi Energi yang Adil (JETP) Indonesia, yang akan mengucurkan dana sebesar USD20 miliar untuk transisi ramah lingkungan di Indonesia, mengalami penundaan, terdapat langkah-langkah terjangkau yang dapat dilakukan pemerintah untuk mengurangi polusi udara dari PLTU batu bara tanpa ditunda-tunda, di antaranya dengan mengganti PLTU batu bara dengan sumber energi terbarukan, mewajibkan penerapan langkah-langkah pengendalian polusi udara, menetapkan batas yang ambisius pada konsentrasi gas buang polutan dan memastikan penerapannya, dan mewajibkan publikasi emisi industri dengan dokumentasi dan metodologi yang transparan.
Lauri Myllyvirta, Analis Utama CREA menambahkan, Kemitraan Transisi Energi yang Adil (JETP) adalah langkah penting yang diambil pemerintah Indonesia menuju pencapaian komitmen iklimnya. Namun, polusi udara dari PLTU batu bara akan terus menimbulkan dampak kesehatan yang signifikan hingga Indonesia sepenuhnya beralih ke energi terbarukan yang ramah lingkungan.
“Pemerintah Indonesia tidak boleh menunda penerapan langkah-langkah pengendalian polusi udara yang sangat mudah dilakukan untuk melindungi perekonomian dan seluruh masyarakat dari dampak PLTU batu bara,” katanya.
SHARE