PTUN Jakarta Tolak Gugatan Dua Perusahaan Sawit di Papua Selatan

Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

Hukum

Rabu, 06 September 2023

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID - Gugatan dua perusahaan sawit PT Megakarya Jaya Raya (MJR) dan PT Kartika Cipta Pratama (KCP) atas Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Nomor SK.1150/MenLHK.Setjen/PLA.2/11/2022 dan SK.1157/MenLHK.Setjen/PLA.2/11/2022 ditolak Majelis Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta.

Putusan perkara Nomor 82/G/2023/PTUN.JKT, dan 87/G/2023/PTUN.JKT, yang didaftarkan pada Maret 2023 tersebut melalui dibacakan melalui persidangan secara elektronik (e-court) pada Selasa (05/09/2023).

Dua perusahaan sawit itu diduga merupakan anak perusahaan Hayel Saeed Anam (HAS) Group, perusahaan modal asing asal Yaman, yang beroperasi di daerah Kali Digoel, Distrik Jair, Distrik Mandobo, hingga daerah Kali Mappi, Distrik Fofi, Kabupaten Boven Digoel, Provinsi Papua Selatan (sekarang).

Dalam Pokok Perkara, Majelis Hakim PTUN Jakarta menyatakan menolak gugatan Penggugat (PT MJR dan PT KCP) dan Penggugat II Intervensi (atas nama Koperasi Yefioho Dohona Ahawang) seluruhnya. Majelis hakim menghukum Penggugat dan Penggugat II Intervensi secara tanggung renteng untuk membayar biaya perkara sejumlah Rp332.000.

Perwakilan Masyarakat Adat Suku Awyu dari Boven Digoel, Papua Selatan mengajukan permohonan sebagai Tergugat Intervensi dalam gugatan korporasi PT Megakarya Jaya Raya dan PT Kartika Cipta Pratama terhadap Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Foto: Koalisi Selamatkan Hutan Adat Papua

Awal perkara, perusahaan PT MJR dan PT KCP menggugat Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Nomor SK.1150/MenLHK.Setjen/PLA.2/11/2022 dan SK.1157/MenLHK.Setjen/PLA.2/11/2022 tentang Penertiban dan Penataan Pemegang Pelepasan Kawasan Hutan, masing-masing atas nama PT Megakarya Jaya Raya dan PT Kartika Cipta Pratama.

Perusahaan tersebut memperkarakan keputusan Menteri LHK terkait, antara lain penetapan komitmen tambahan yang wajib dipenuhi seperti tidak melakukan pembukaan lahan berhutan di dalam areal pelepasannya untuk kegiatan perkebunan kelapa sawit. Keputusan itu dianggap merugikan perusahaan.

Eksepsi jawaban KLHK atas perkara ini, antara lain bahwa keputusan yang menjadi objek sengketa merupakan tindak lanjut dari arahan Presiden RI dan penambahan komitmen sudah sesuai dengan ketentuan untuk mengurangi dan mengendalikan deforestasi. Dalam proses evaluasi ditemukan juga fakta bahwa perusahaan tidak mengusahakan lahan secara maksimal, tidak ada kontrak penjualan, tidak ada suplai untuk pengolahan kelapa sawit, tidak ada laporan produksi dan belum ada kegiatan pemanenan.

Saksi Ahli Totok Dwi Diantoro, dosen Fakultas Hukum UGM, yang dihadirkan oleh Tim Advokasi Selamatkan Hutan Adat Papua, dalam persidangan PTUN Jakarta, menyatakan penertiban kawasan hutan tidak mencabut pelepasan kawasan hutan, hanya mengubah jenis usahanya. Hal itu tidak akan berkait dengan pelepasan kawasan hutan, karena itu tidak mengubah apa yang sudah dilepas.

Penertiban dalam konteks ini boleh jadi dimasukkan ke dalam kerangka menertibkan, karena melihat ada ketidakefektifan izin yang sudah diberikan. Kemudian negara atau pemerintah memberikan sikap dengan mendorong upaya upaya menjadi jenis usaha yang tadinya diharapkan oleh penerima izin.

"Dalam perkara ini, masyarakat adat Awyu asal Boven Digoel, pemilik tanah dan hutan adat, yang menjadi sasaran dan objek sengketa bersikap dengan mengajukan permohonan gugatan sebagai Tergugat Intervensi," kata Franky Samperante, Direktur Yayasan Pusaka Bentala Rakyat.

Yayasan Pusaka Bentala Rakyat bersama Greenpeace Indonesia, Elsam, Satya Bumi, PPMAN, LBH Papua dan sejumlah organisasi sipil lainnya, sejak beberapa bulan lalu membentuk Koalisi Selamatkan Hutan Adat Papua untuk membantu Masyarakat Adat Suku Awyu dalam membela hak dan kepentingan mereka dari gugatan sejumlah korporasi sawit.

Pada Mei 2023, perwakilan masyarakat adat dan pemimpin marga dari Suku Awyu, yang berdiam di beberapa kampung di wilayah Kabupaten Boven Digoel, yakni Gergorius Yame, Fidelis Misa, Barbara Mukri, Paskalis Mukri, Maximus Nawisi dan Adolfina Sifi, menyampaikan permohonan sebagai intervensi melawan gugatan yang diajukan perusahaan melalui PTUN Jakarta.

"Mereka memohon kepada Majelis Hakim PTUN Jakarta agar diterima menjadi pihak intervensi dengan kemauan sendiri untuk mempertahankan atau membela hak dan kepentingannya mereka tidak dirugikan oleh putusan pengadilan," ujar Franky.

Gergorius Yame, berpendapat tindakan Menteri LHK menerbitkan putusan pencabutan dan pembatasan izin akan dapat memulihkan hak dan kepentingan masyarakat adat terdampak perusahaan ini, sebaliknya bilamana permohonan perusahaan diterima maka akan merugikan hak dan kepentingan masyarakat, termasuk perempuan adat.

Masyarakat adat itu akan kehilangan wilayah hak ulayat berupa hutan dan tanah, kehilangan ruang kehidupan, menghilangkan keanekaragaman hayati dilokasi dan menghilangkan tempat keramat dan tempat penting berdasarkan pengetahuan dan keyakinan masyarakat adat.

Berbagai organisasi masyarakat sipil, organisasi pemuda dan mahasiswa di Tanah Papua dan di luar Pulau Papua, berkomitmen untuk mengawal gugatan masyarakat adat Awyu terhadap perusahaan di PTUN Jakarta dan terhadap pemerintah di PTUN Jayapura, sebagai gugatan masyarakat adat, gugatan lingkungan hidup, untuk keselamatan manusia dan bumi.

"Pada perayaan Hari Internasional Masyarakat Adat Se Dunia, di Jayapura, 12 Agustus 2023 lalu, pemuda adat dan pelajar mahasiswa, menyatakan mendukung upaya penyelamatan hutan adat Papua yang saat ini sedang terancam dengan hadirnya investasi berbasis lahan dan kebijakan pemerintah yang tidak berpihak pada keberlangsungan dan keberlanjutan hutan adat Papua. Kawal sampai menang," ucap Franky.

SHARE