Pertambangan dan Smelter Nikel Dituding Rusak Sungai Sagea

Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

Tambang

Senin, 04 September 2023

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID - Koalisi masyarakat sipil menuding ekspansi kawasan yang dilakukan PT Indonesia Weda-Bay Industrial Park (IWIP) dan aktivitas pertambangan nikel di Halmahera Tengah (Halteng), Maluku Utara, telah mengubah kondisi desa-desa dan kawasan di sekitarnya, termasuk kualitas air sungai dan air laut.

Melalui keterangan tertulisnya, koalisi masyarakat sipil yang di dalamnya termasuk Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), Aksi Ekologi, Emansipasi Rakyat (AEER), dan Forest Watch Indonesia (FWI), menyebut sejumlah sungai di desa lingkar tambang bahkan tertimbun hingga tidak lagi mengalirkan air ke laut. Terbaru, Sungai Sagea dan sumber mata air Boki Maruru di Desa Sagea juga ikut tercemar akibat material tanah dari kerukan tambang pada akhir Juli lalu.

Dinamisator Save Sagea, Adlun Fiqri mengatakan, perayaan hari jadi IWIP kelima yang digelar secara mewah dan meriah dilakukan di atas penderitaan masyarakat yang tinggal di sekitar IWIP. Selama 5 tahun ini warga terpaksa hidup di tengah kerusakan lingkungan yang parah, air, sungai dan udara yang tercemar.

“Sungai-sungai besar di Teluk Weda seperti Sungai Kobe dan Sungai Sagea kini tercemar akibat dari operasi sejumlah perusahaan pertambangan nikel, yang semuanya terintegrasi dengan IWIP,” ujar Adlun, Rabu (30/8/2023) lalu.

Tampak dari ketinggian kawasan industri terpadu PT Indonesia Weda Industrial Park (IWIP), Halmahera Tengah, Maluku Utara. Foto: Auriga Nusantara.

Menurut Adlun, Kampung Sagea bukan sekedar tempat tinggal, namun bagian dari identitas karena di sana para leluhurnya hidup dan tinggal dari generasi ke generasi. Yang hidup tinggal di sana dan yang meninggal pun dikubur di Sagea.

Adlun bersyukur lahir dan besar di Sagea yang sungai dan mata air mengalir sepanjang tahun. Tanahnya subur dan menumbuhkan beragam tanaman endemik. Telaga dan lautnya menyediakan protein kehidupan. Telaga Sagea sangat lekat dengan kehidupan perempuan. Para perempuan biasanya berbondong-bondong mengambil kerang dan memancing ikan di telaga Sagea jika terjadi musim ombak di laut.

“Dari dulu lagi torang biasa rame-rame ambe bia di talaga. Jadi so turun temurun,” tambah Fifa, warga Sagea.

Koordinator AEER Pius Ginting mengatakan, daya tampung dan daya dukung Sungai Sagea dan sungai-sungai lain di lingkar kawasan industri PT IWIP telah terlampaui. Pemerintah dan perusahaan kendaraan listrik sebagai calon pembeli perlu mengaudit tata kelola aspek sosial serta lingkungan yang sejauh ini dijalankan oleh PT IWIP.

Salah satu instrumen yang dapat digunakan ialah kriteria Initiative for Responsible Mining Assurance (IRMA) yang telah diluncurkan pada Juni 2018 lalu. Kriteria IRMA, kata Pius, dapat melengkapi produk hukum nasional dalam mengawasi kualitas air sungai-sungai di sekitar kawasan industri PT IWIP.

Sebenarnya, masih kata Pius, pengembangan kawasan industri nikel di Halmahera Tengah juga harus sejalan dengan kajian lingkungan hidup strategis (KLHS) yang dirumuskan oleh pemerintah daerah. Pius berpendapat, persoalannya sekarang adalah sejauh mana kajian itu telah dipertimbangkan dalam penyusunan rencana tata ruang wilayah (RTRW) dan RPJMD.

"Jika sudah dipertimbangkan, apakah KLHS mereka telah mempertimbangkan daya tampung dan daya dukung lingkungan perairan yang turun akibat adanya kawasan industri nikel? Perlu ada evaluasi instrumen pengelolaan lingkungan,” jelas Pius.

Hal lain yang perlu dijadikan diperhatikan adalah Halmahera dan pulau-pulau kecil sekitarnya berbeda dengan pulau-pulau besar. Halmahera memiliki karakteristik berupa das yang sempit dan pendek. Sehingga menurut, Manager Kampanye dan Intervensi Kebijakan Forest Watch Indonesia (FWI) Anggi Putra, pendekatan pemanfaatannya perlu kehati-hatian dan tidak bisa digeneralisasi.

Sayangnya, izin tambang nikel seluas 201 ribu hektare, telah diberikan kepada 43 perusahaan di sana dan justru membebani Halmahera dan pulau-pulau kecil sekitarnya. Kemudian, sebesar 180.587 hektare justru berada di Hutan Lindung dan Hutan Produksi.

Kondisi ini berdampak pada memburuknya situasi di Halmahera dan pulau-pulau kecil sekitarnya dengan total kerusakan hutan di dalam konsesi pertambangan nikel sejak 2017 hingga 2021 sebesar 7.565 hektare. Diproyeksikan kerusakan hutan akan semakin parah hingga mencapai 157 ribu hektare ke depannya dari ulah pertambangan nikel ini.

“Tumpang tindih perizinan pertambangan nikel dengan konsesi HPH, HTI, dan Kebun menunjukkan kinerja buruk dalam tata kelola sumber daya alam sebagai eksklusifitas tambang dalam kawasan hutan. Hal ini menunjukkan lemahnya implementasi transparansi sumber daya alam dalam tata kelola perizinan tambang sebagai potret asimetris informasi.” kata Anggi Putra.

Sagea Diincar Tambang Nikel dan Karst

Sejak pertengahan Januari 2010, Sagea mulai diincar tambang. Dari tambang nikel berbendera PT First Pasific Mining (FPM) dan PT Zhong Hai Rare Metal Mining Indonesia, yang keduanya diberi izin bupati Halmahera Tengah hingga 2014 untuk FPM dan hingga 2030 untuk Zhong Hai.

Tak hanya tambang nikel yang mengintai Sagea namun juga tambang karst, pada 2019, ada pula rencana eksplorasi PT Gamping Indonesia, yang tergiur membongkar cadangan karst di Sagea. Rencana ini ditolak oleh warga.

Selain itu, wilayah Sagea ini juga diincar sebagai wilayah penunjang kawasan industri. Dalam dokumen perencanaan kementerian ATR/BPN terkait rencana detail tata ruang (RDTR) Kawasan Industri Teluk Weda, akan dijadikan wilayah pemukiman dan pertanian. Rencananya kawasan ini akan dibangun rumah susun untuk tempat tinggal para pekerja PT IWIP.

Warga Sagea yang bertetangga dengan IWIP dan sehari-hari menyaksikan sendiri kerusakan di wilayah sekitar IWIP, tak ingin kerusakan serupa terjadi di kampung halaman mereka. Warga tak ingin keindahan dan potensi wisata yang ada di kampung Sagea dirusak dengan
kehadiran tambang.

Selain berkebun pala, cengkeh, kelapa yang telah menyejahterakan mereka. Warga juga memanfaatkan potensi wisata Gua Bokimoruru dan Sungai Sageyen yang pendapatan retribusi masuk gua saja mencapai ratusan juta rupiah.

“Kerusakan lingkungan, akibat aktivitas tambang dan pembabatan hutan, meluas puluhan kilo meter, hingga kampung Sagea, yang jaraknya dari operasi IWIP sekitar 10 km,” kata Muh Jamil, Kepala Divisi Advokasi dan Hukum Jaringan Advokasi Tambang (Jatam).

Jamil mengungkapkan, jelang peringatan 5 tahun operasi IWIP, pertengahan Agustus lalu, air Sungai Sagea diketahui berwarna kekuningan dan diduga tercemar. Penyebabnya, menurut Jamil, karena hulunya telah ditambang oleh PT Weda Bay Nikel yang menyuplai bahan mentah ke smelter-smelter IWIP.

Menurut Pegiat Geowisata, Deddy Arif, yang dibutuhkan saat ini adalah pembentukan tim investigasi independen yang bergerak secara objektif dan saintis. Tim investigasi tersebut nantinya harus melibatkan seluruh kalangan seperti pegiat lingkungan, warga asli Desa Sagea, pemerintah pusat dan daerah, pemerhati geowisata, serta peneliti dari berbagai lembaga. Sebab, sejauh ini belum terdapat data terkait kualitas air Sungai Sagea.

“Satu keyakinan yang kita gunakan adalah dengan sedimentasi setebal saat ini di Sungai Sagea, tidak akan mungkin hanya gara-gara faktor lain yang berkembang dari dalam. Kalau melihat dari warna, ketebalan material dalam sedimen, bisa dipastikan ada aktivitas penambangan,” ucapnya.

“Bahkan, saya agak pesimis untuk mengembalikan Sungai Sagea seperti kondisi sebelum tercemar, karena sampai saat ini saya belum pernah mendapatkan satu sungai di konsesi tambang yang bisa kembali pulih seperti harapan kita bersama,” imbuh Deddy.

Hingga artikel ini selesai ditulis, belum ada tanggapan resmi dari pihak PT IWIP terhadap tudingan operasi industri menjadi dianggap merusak lingkungan yang disampaikan koalisi masyarakat sipil. Upaya konfirmasi yang dilakukan Betahita kepada Departemen Komunikasi PT IWIP, tidak mendapat respon apapun.

SHARE