Cadangan Nikel Indonesia Hanya Bertahan 13 Tahun Lagi
Penulis : Raden Ariyo Wicaksono
Tambang
Jumat, 01 September 2023
Editor : Sandy Indra Pratama
BETAHITA.ID - Cadangan nikel Indonesia diperkirakan akan habis apabila terus ditambang dalam 13 tahun ke depan, menurut ekonom Faisal Basri. Perkiraan Faisal ini didasarkan pada data cadangan nikel Indonesia dan kecepatan eksploitasi yang dilakukan saat ini.
Dilansir dari CNN Indonesia, Faisal menyebut, data United States Geological Survey (USGS) menunjukkan Indonesia memiliki cadangan nikel 21 juta metrik ton. Angka tersebut, kata Faisal, sejatinya sama dengan cadangan nikel Australia.
Masih merujuk data USGS, negara dengan cadangan nikel terbesar selanjutnya adalah Brasil dengan cadangan sebesar 16 juta metrik ton, diikuti Rusia 7,5 juta metrik ton, New Caledonia 7,1 juta metrik ton, dan Filipina 4,8 juta metrik ton. Selanjutnya, ada Kanada yang memuliki 2,2 juta metrik ton, China 2,1 juta metrik ton, dan Amerika Serikat 0,37 juta metrik ton.
Meskipun menjadi negara dengan cadangan nikel terbesar di Dunia, lanjut Faisal, usia cadangan nikel Indonesia ini paling singkat dibandingkan negara-negara lainnya. Penyebabnya, karena ganasnya eksploitasi nikel di Tanah Air. Faisal mengungkapkan, pengerukan nikel di Indonesia menembus angka 1,6 juta metrik ton setiap tahunnya.
"Indonesia paling gila, cuma 13 tahun (umur cadangan nikel), kalau seperti yang sekarang. Ini kan smelter tambah terus, jadi bisa lebih cepat (habis). Pak Jokowi enggak peduli sama itu, dapat Rp510 triliun dengan mengeruk semakin dalam kekayaan kita. Enggak dihitung sebagai ongkos, dampak lingkungannya enggak dihitung, enggak benar," katanya, Rabu (23/8/2023) kemarin.
Faisal melanjutkan, pengerukan nikel di Indonesia berbeda dengan di Australia. Walau sama-sama memiliki cadangan 21 juta metrik ton nikel, tetapi produksi nikel Australia hanya 160 ribu metrik ton per tahun. Walhasil, umur cadangan nikel negara Kanguru itu masih bisa bertahan 131 tahun. Sehingga manfaatnya masih bisa dirasakan generasi-generasi yang akan datang.
Soal masalah ini, Faisal mengaku telah meminta kepada pemerintah untuk memperbaiki tata kelola eksploitasi nikel dan juga hilirisasinya. Sebab, untuk hilirisasi nikel, Indonesia hanya mendapat keuntungan yang kecil.
Faisal mengakui, sejak pemerintah melakukan hilirisasi nikel, nilai ekspor bijih nikel pada 2014 lalu hanya Rp1 triliun melesat menjadi Rp413,9 triliun. Tetapi rupiah hasil ekspor nikel itu tidak seutuhnya mengalir ke Indonesia. Menurut Faisal, 90 persen keuntungannya justru dinikmati China.
Faisal menjelaskan, hampir seluruh perusahaan smelter pengolahan bijih nikel di Indonesia dimiliki oleh China, sementara Indonesia menganut rezim devisa bebas. Dengan demikian, perusahaan China berhak untuk membawa semua hasil ekspornya ke luar negeri atau justru ke negerinya sendiri. Selanjutnya, ekspor olahan bijih nikel sama sekali tidak dikenakan segala jenis pajak dan pungutan lainnya.
Jadi penerimaan pemerintah dari ekspor semua jenis produk smelter nihil alias nol besar," ucap Faisal.
Faisal mengatakan, perusahaan smelter nikel bebas pajak lantaran menikmati tax holiday selama 20 tahun atau lebih. Insentif itu diberikan pemerintah melalui Kementerian Keuangan dan Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM).
Perusahaan nikel China di Indonesia, imbuh Faisal, juga tidak membayar royalti. Sebab, yang membayar royalti adalah perusahaan penambang nikel yang hampir seluruhnya adalah pengusaha dalam negeri. Saat masih dibolehkan mengekspor bijih nikel, pemerintah masih memperoleh pemasukan dari pajak ekspor.
SHARE