Pidato Presiden Jokowi Masih Cerminkan Politik Patriarkis Negara

Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

HAM

Senin, 21 Agustus 2023

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID - Solidaritas Perempuan (SP) melihat pidato kenegaraan yang disampaikan Presiden Joko Widodo (Jokowi) di hadapan DPR/MPR pada 16 Agustus 2023 kemarin masih menunjukkan keberpihakannya pada pembangunan ekonomi kapitalistik yang ditopang oleh sistem politik patriarkis yang kerap mengabaikan kelompok-kelompok subordinat, terutama perempuan

Dalam keterangan resminya, organisasi feminis yang bergerak bersama perempuan akar rumput dalam memperjuangkan kedaulatan perempuan itu menguraikan, secara harfiah ketidakberpihakan Presiden terlihat dari tidak adanya satupun kalimat yang menyebutkan kata perempuan. Hal ini menjelaskan bahwa perhatian negara tidak tertuju pada pembangunan yang didasari pada semangat keadilan yang dimulai dari tatanan sistem yang setara dari sisi sosial, ekonomi, budaya maupun politik.

"Artinya, Presiden gagal melihat dengan jeli akar persoalan yang memunculkan ketimpangan yang dalam sehingga pembangunan yang seharusnya dapat dinikmati oleh seluruh rakyat Indonesia tanpa kecuali justru menjadi sebuah proses yang memiskinkan dan memarjinalkan kelompok-kelompok tertentu, termasuk kelompok perempuan," kata Solidaritas Perempuan, Kamis (17/8/2023) kemarin.

Presiden Jokowi juga menyampaikan, menjadi presiden bukan hal yang mudah karena memiliki tanggung jawab besar yang harus diemban untuk menyelesaikan permasalahan rakyat. Namun, besarnya tanggung jawab yang diucapkan Presiden bertolak belakang dengan berbagai bentuk pengabaian negara terhadap pemenuhan hak asasi manusia dan hak asasi perempuan.

Presiden Jokowi saat menyampaikan pidato pada Sidang Tahunan MPR RI dan Sidang Bersama DPR RI dan DPD RI dalam rangka HUT Ke-78 Proklamasi Kemerdekaan RI, di Ruang Rapat Paripurna, Gedung Nusantara MPR/DPR/DPD RI, Senayan, Jakarta, Rabu (16/08/2023) pagi. Foto: Tangkapan Layar.

Negara kerap melakukan pembiaran atau bahkan secara aktif melakukan tindakan diskriminatif terhadap tubuh dan ekspresi perempuan serta penghancuran ruang hidup dan hasil kerja perempuan. Selain itu, Solidaritas Perempuan juga memandang bahwa berbagai pernyataan yang dilontarkan Presiden dalam pidatonya, semakin menjauhkan harapan perempuan untuk tatanan yang adil dan berdaulat.

Pertama, Presiden menyatakan bonus demografi yang akan mencapai puncak di tahun 2030-an adalah peluang besar kita untuk meraih Indonesia Emas 2045. Namun, kelompok muda hanya dipandang sebagai komoditas dan investasi pembangunan tanpa pelibatan bermakna dalam merencanakan dan/atau membuat keputusan yang berpengaruh terhadap diri mereka sendiri maupun orang lain.

"Perebutan makna keterlibatan orang muda menyebabkan ketidakjelasan sejauh mana orang muda terlibat dalam pembangunan. Hal ini terlihat ketika perempuan muda melakukan perlawanan untuk mendapatkan haknya justru disebut sebagai penghambat kemajuan negara," ujar Soladaritas Perempuan.

Kedua, international trust yang digadang-gadang sebagai peluang untuk mendongkrak relevansi Indonesia di kancah internasional justru didominasi dengan kesepakatan-kesepakatan yang mengancam kedaulatan rakyat atas kontrol terhadap sumber daya.

Peran Indonesia dalam G20, ASEAN, perjanjian perdagangan (seperti RCEP, US IPEF, Indonesia-EU CEPA) menunjukkan bahwa kebijakan luar negeri dan perdagangan tidak disusun dan dilaksanakan demi pemenuhan kebutuhan dan kepentingan rakyat, terlebih lagi perempuan. Langkah tersebut justru menghimpit Indonesia dalam kontestasi ekonomi politik global yang patriarkis dan kapitalistik.

Ketiga, hilirisasi komoditas ekstraktif yang dianggap sebagai window of opportunity hanya melancarkan kepentingan industri ekstraktivisme yang diandalkan untuk membawa Indonesia keluar dari “jebakan pendapatan menengah” mencapai “negara maju” yang sayangnya sekadar mengacu pada perhitungan PDB. Salah satunya diperoleh dari penambahan nilai komoditas ekspor.

Alih-alih secara kolektif mendefinisikan pembangunan dan kesejahteraan sesuai dengan imaji rakyat. Selain itu, hilirisasi akan memperparah kerusakan lingkungan dan sumber kehidupan perempuan.

Keempat, reformasi struktural terutama penyederhanaan regulasi serta kemudahan perizinan telah menjadi praktek yang memberikan karpet merah terhadap investasi. pengetatan perizinan yang pada mulanya didasari oleh semangat untuk melindungi kehidupan rakyat, kini telah kehilangan keberpihakannya melalui skema kemudahan berinvestasi.

Persetujuan rakyat, terutama perempuan, tidak lagi dilihat sebagai sebuah aspek yang penting dalam melahirkan perizinan sehingga berdampak pada munculnya ribuan konflik antara rakyat dengan korporasi. Dalam pada itu, kerugian ekonomi perempuan, hancurnya pranata sosial masyarakat di mana perempuan memainkan peranan penting di dalamnya, dan hilangnya pengetahuan perempuan tidak lagi dianggap penting oleh negara.

Dari berbagai pernyataan Presiden Jokowi yang disampaikan dalam pidato kenegaraannya di hadapan DPR/MPR, maka Solidaritas Perempuan menyatakan, agenda perempuan tidak lagi menjadi agenda negara sehingga berbagai tindakan negara sama sekali tidak mencerminkan semangat berbangsa dan bernegara di mana kedaulatan tertinggi berada di tangan rakyat, termasuk perempuan. Kemudian, Negara dalam kepemimpinan Presiden Jokowi telah secara aktif melakukan pemiskinan dan menghancurkan kedaulatan perempuan atas hidup dan sumber-sumber kehidupannya.

"Atas dasar itu, Solidaritas Perempuan juga menyatakan bahwa dalam kemerdekaan Indonesia yang telah menapaki tahun ke-78, belum ada kemerdekaan bagi perempuan. Maka, kepemimpinan negara yang selanjutnya harus memiliki modal politik dan keberanian untuk memprioritaskan agenda perempuan. Bahwa perempuan sebagai bagian dari rakyat Indonesia, berdaulat untuk menentukan arah kehidupan berbangsa dan bernegara."

SHARE