Potensi Masalah Baru dalam Perubahan Serentak RTRW Provinsi
Penulis : Raden Ariyo Wicaksono
Hukum
Jumat, 18 Agustus 2023
Editor : Sandy Indra Pratama
BETAHITA.ID - Di tahun-tahun politik ini, sekitar 27 provinsi di Indonesia dinanti untuk segera menetapkan peraturan daerah (Perda) tentang rencana tata ruang wilayahnya (RTRW). Karena tiap provinsi di Indonesia diamanatkan untuk mengintegrasikan RTRW-nya dengan rencana zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil (RZWP3K) di wilayah masing-masing.
Namun, dalam beberapa kasus, perubahan RTRW ini justru memuat potensi masalah baru. Lantaran banyak kepentingan, seperti peningkatan iklim investasi, berusaha masuk terakomodasi dalam perubahan RTRW provinsi (RTRWP) yang disusun.
Menurut catatan Tim Strategi Nasional (Stranas) Pencegahan Korupsi, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), ada 19 provinsi di Indonesia yang ditargetkan menetapkan RTRW sepanjang Agustus hingga Desember 2023, dan 6 provinsi lainnya ditargetkan ditetapkan tahun depan. Salah satu RTRW provinsi yang menarik perhatian belakangan adalah Kalimantan Timur (Kaltim)
Alasannya, karena RTRW Kaltim berpotensi mengakibatkan perubahan fungsi kawasan Hutan Lindung (HL) seluas 101.790 hektare menjadi Hutan Produksi Tetap (HPT) di Kabupaten Mahakam Ulu. Sayangnya, sebagian besar penurunan status HL itu, tepatnya sekitar 56.396 hektare, justru menguntungkan sejumlah perusahaan pemegang izin usaha pertambangan (IUP), bahkan mengancam habitat badak sumatera timur (Dicerorhinus sumatrensis harrissoni) yang ada di sana.
Di Provinsi Bengkulu, dalam rangka review perubahan RTRW, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) juga menurunkan status HL Bukit Sanggul di Kabupaten Seluma menjadi HPT seluas 19.939 hektare, dan 14.810 hektare di antaranya juga menguntungkan dua perusahaan tambang emas yang memiliki IUP di Bukit Sanggul.
Kemudian dalam usulan perubahan RTRW Sumatera Barat (Sumbar), pemerintah setempat berencana menyediakan pola ruang pada kawasan peruntukan industri (KPI) seluas kurang lebih 15 ribu hektare. Celakanya di sana terdapat kawasan berstatus areal penggunaan lain (APL) yang berpotensi menimbulkan konflik, sebab tumpang tindih dengan lahan masyarakat.
Usulan perubahan RTRW Aceh juga memuat perubahan fungsi kawasan hutan seluas 85.765 hektare, sebagian besar merupakan kawasan hutan produksi. Yang menjadi catatan penting adalah adanya rencana penggabungan pola ruang untuk kawasan perkebunan skala besar dengan perkebunan rakyat. Hal tersebut dianggap akan memberikan dampak berupa tumpang tindah pemanafaatan kawasan, antara perkebunan skala besar dan perkebunan rakyat.
Di tempat lain, di Jawa Timur (Jatim), RTRW yang disusun potensi akan mengakibatkan bertambahnya luasan pertambangan, terutama di kawasan hutan. Penyebabnya, karena pertambangan dikategorikan sebagai kawasan budidaya. Celakaya dalam usulan perubahan RTRW, hampir seluruh wilayah Jatim merupakan kawasan pertambangan mineral, logam, minyak, gas dan panas bumi.
Stranas Pemberantasan Korupsi menganggap isu terkait RTRW provinsi ini sangat penting, dalam konteks pencegahan korupsi. Sebab rencana tata ruang tiap daerah akan menjadi dasar pemberian perizinan berbasis ruang.
Persoalan RTRW semakin runyam akibat banyaknya tabrakan kepentingan. Akibatnya penyusunan RTRW di daerah menjadi lamban. Sementara Undang-Undang Cipta Kerja yang memangkas kewenangan dan mengamanatkan penyegeraan penetapan RTRW, tidak membuat segala urusan tentang penetapan RTRW menjadi lebih sederhana.
Koordinator Stranas Pemberantasan Korupsi, Niken Ariati, mengungkapkan, selain karena banyaknya benturan kepentingan, penyusunan dan penetapan RTRW provinsi kali ini agak rumit disebabkan RTRW yang ada harus diintegrasikan dengan rencana zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil (RZWP3K).
"Itu memang integrated, tapi kan harus mengulang dari awal. Nah. kalau RTRW-nya berubah menjadi RTRWP. Tentunya RDTR-nya (rencana detail tata ruang) juga berubah. Ini kan sebenarnya model-model begitu jadi kayak mari kita ulang lagi dari awal," ujar Niken Ariati, Koordinator Stranas Pemberantasan Korupsi.
Niken bilang, saat ini baru 8 dari 31 provinsi sudah menetapkan peraturan daerah (perda) tentang RTRW-nya, yakni Sulawesi Selatan, Papua Barat, Jawa Barat, Banten, Bali, Kaltim, Jambi dan Sulawesi Tengah. Tapi dirinya tidak berani menjamin penetapan RTRW di 8 provinsi itu bebas dari masalah.
"Itu sudah selesai, sudah keluar Perdanya. Jadi ini juga kita lagi dorong terus, karena kalau dia tidak selesai RDTR tidak jalan, kita baru 160-an yang terintegrasi dengan OSS, yang punya Perda 300, Perkada (peraturan kepala daerah). Karena 1 kabupaten bisa banyak RDTR-nya," terang Niken.
Niken mengakui, masih ada persoalan dalam sinkronisasi antara Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dengan Kementerian Agraria Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), soal penerbitan izin di dalam kawasan hutan dan izin tata ruang.
"Jadi Stranas yang pertama mengawal adalah tatakannya kita beresin. Yang disebut tatakan itu tata ruang, batas administrasi, termasuk tata ruang di dalamnya ada batas antara laut dan darat. Itu yang coba kita beresin tatakannya, baru kita ngomongnya izin. Izin sawit, pertambangan dan kehutanan."
Senarai mereka yang diuntungkan. Infografer: Robby
Soal kawasan hutan, lanjut Niken, dari angka 125 juta hektare penunjukan kawasan hutan, baru sekitar 90-an juta hektare yang statusnya sudah ditetapkan sebagai kawasan hutan. Sedangkan sekitar 26 juta hektare lainnya sampai sekarang belum ditetapkan. Menurut Niken, belum selesainya penetapan kawasan hutan itu terkadang masih sering menjadi masalah di daerah.
"Misalnya teman Riau cerita ada praperadilan ketika ada sertifikat tanah di dalam kawasan hutan. Kata pengadilan ini belum ditetapkan kok. Padahal tahapan pengukuhan itu kan ditunjuk, ditata batas, ditetapkan. Nah, ada memang ditetapkan tapi tahapannya belum sempurna," jelas Niken.
Terpisah, Menteri ATR/BPN, Hadi Tjahjanto, menjelaskan, Undang-Undang Cipta Kerja mengamanatkan perencanaan tata ruang disusun mencakup wilayah darat, laut, udara dan dalam bumi sebagai satu kesatuan wilayah perencanaan. Sehingga RTRW yang disusun, terutama RTRW provinsi harus sudah mengintegrasikan rencana tata ruang darat dan rencana zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil (RZWP3K).
"Dengan amanat tersebut, maka semua Perda RTRW provinsi yang berlaku saat ini harus direvisi untuk mengintegrasikan RZWP3K ke dalam revisi RTRW provinsi," terang Hadi, Kamis (10/8/2023) lalu.
Mantan Panglima TNI itu melanjutkan, PP No. 21 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang mengamanatkan semua provinsi harus segera melakukan revisi RTRW-nya, dalam rangka mengintegrasikan muatan RZWP3K dan PP No. 43 Tahun 2021 tentang Penyelesaian Ketidaksesuaian Tata Ruang, Kawasan Hutan, Izin, dan/atau Hak Tatas Tanah mengamanatkan semua provinsi melakukan revisi RTRW provinsi dalam rangka mengurangi tumpang tindih tata ruang.
"Revisi RTRWP dilakukan dalam jangka waktu 18 bulan pasca-terbitnya PP 21 Tahun 2021 atau Tahun 2022."
Saat ini, lanjut Hadi, dari total 38 provinsi terdapat 8 provinsi yang telah menetapkan Perda revisi RTRWnya, yaitu Jawa Barat, Banten, Bali, Jambi, Sulawesi Selatan, Kalimantan Timur, Papua Barat dan Sulawesi Tengah. Kemudian empat provinsi belum memiliki RTRW karena statusnya daerah otonomi baru (DOB), tiga provinsi telah mendapatkan Persetujuan Substansi Menteri ATR/BPN dan sedang proses Penetapan Perda yaitu Bengkulu, Daerah Istimewa Yogyakarta dan Kalimantan Selatan.
“Tiga provinsi sedang proses Persetujuan Substansi Menteri ATR/BPN yaitu Jawa Timur, Lampung dan Papua dan 20 provinsi sedang proses penyusunan Materi Teknis Revisi RTRW,” ujar Hadi.
Proses revisi RTRWP, lanjut Hadi, dimulai setelah pemerintah provinsi mendapatkan Rekomendasi Peninjauan Kembali dan revisi RTRWP dari Menteri ATR/BPN, yang kemudian dilakukan dengan proses penyusunan dokumen materi teknis dan penetapan Ranperda RTRWP.
"Jangka waktu penyusunan dan penetapan RTRW provinsi paling lama 18 bulan terhitung sejak pelaksanaan penyusunan RTRW provinsi," ujar Hadi, Kamis (10/8/2023) lalu.
Dalam proses penyusunan materi teknis RTRW provinsi, lanjut Hadi, pemerintah provinsi wajib mengakomodasi kebijakan strategis nasional, peruntukan kawasan hutan, kawasan pertanian pangan berkelanjutan (KP2B), mitigasi bencana, batas daerah, dan garis pantai. Dalam proses penyusunan materi teknis juga wajib melibatkan peran masyarakat dan stakeholder melalui konsultasi publik.
Soal perubahan RTRW yang cenderung mengakomodasi kepentingan korporasi industri ekstraktif, Hadi mengatakan, hal tersebut merupakan isu yang kompleks dan berkaitan dengan dinamika unik dari masing-masing wilayah. Setiap provinsi, katanya, memiliki karakteristik dan potensi yang berbeda-beda dan menjadi pertimbangan dalam proses pengembangan dan perubahan tata ruang.
Provinsi-provinsi di Indonesia, imbuhnya, memiliki beragam sumber daya alam, termasuk pertambangan, perkebunan, dan industri lainnya. Beberapa provinsi memiliki potensi ekstraktif yang signifikan karena keberadaan sumber daya mineral atau komoditas tertentu. Hadi mencontohkan, provinsi yang kaya akan tambang seperti Papua atau Kalimantan Timur, bisa jadi memiliki kepentingan industri ekstraktif yang kuat karena potensi ekonomi yang dapat dihasilkan dari sumber daya alam mereka.
Namun, kata Hadi, penting untuk diingat bahwa pengembangan industri ekstraktif harus dilakukan dengan hati-hati dan terencana. Dampak lingkungan, sosial, dan ekonomi dari aktivitas ekstraktif bisa sangat besar, termasuk masalah seperti kerusakan lingkungan, perubahan ekonomi masyarakat lokal, dan konflik lahan.
"Oleh karena itu, perubahan tata ruang yang mengakomodir kepentingan industri ekstraktif harus disertai dengan analisis dampak lingkungan yang ketat dan mekanisme pengelolaan yang berkelanjutan," pesan Hadi.
**Liputan ini merupakan kolaborasi betahita dengan koran tempo. Tulisan yang membahas proses revisi RTRW Nasional ini akan turun secara berangkai. Selamat membaca.
SHARE