Walhi: RTRW Jatim Mengundang Bencana, sebab Memfasilitasi Tambang

Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

Tambang

Jumat, 18 Agustus 2023

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID - Sepanjang Juni hingga Desember 2023 setidaknya ada 21 provinsi di Indonesia yang ditargetkan menetapkan rencana tata ruang wilayahnya (RTRW), salah satunya Jawa Timur (Jatim). Analisis yang dilakukan Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) menunjukkan, rencana tata ruang Jatim yang ditargetkan ditetapkan Agustus 2023 itu cenderung memfasilitasi kepentingan pertambangan, dan itu berpotensi mengundang kiamat ekologi.

Dalam analisisnya, Walhi menguraikan, Jatim merupakan salah satu wilayah provinsi di Pulau Jawa yang memiliki banyak industri ekstraktif, terutama pertambangan. Konsesi pertambangan di provinsi ini hampir tersebar di setiap titik wilayah baik kawasan Pesisir Utara Jawa, kawasan hutan dan Pesisir Selatan Jawa.

Berdasarkan data dari Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) Jatim, pada 2012 jumlah izin usaha pertambangan (IUP) di provinsi tersebut sekitar dari 378 izin, lalu menjadi 347 izin pada 2016. Kemudian pada 2017 meningkat menjadi 379 izin, lalu turun menjadi 376 izin pada 2018. Jumlah IUP ini diperkirakan akan bertambah, bila merujuk pada data Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) yang sejak 2018 tercatat sebanyak 268 unit izin.

Dengan semakin bertambahnya izin tambang, maka luasan areal tambang di Jatim juga akan meningkat. Saat ini luasan pertambangan di Jatim kurang lebih mencapai 500 ribu-600 ribu hektare, baik sifatnya sudah IUP operasi produksi, eksplorasi maupun proses penetapan wilayah pertambangan.

Areal tambang emas PT Bumi Suksesindo (BSI) di Gunung Tumpang Pitu, Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur. Keberadaan tambang ini mendapat penolakan keras dari masyarakat pesisir selatan Jawa Timur karena dianggap membawa dampak lingkungan./Foto: Bumisuksesindo.com

"Melihat hal ini tentu kami menilai penting untuk menyoroti dan menyuarakan persoalan semakin meningkat dan meluasnya industri ekstraktif di Jawa Timur, baik yang legal maupun ilegal," kata Wahyu Eka Styawan, Direktur Walhi Jatim, Rabu (16/8/2023).

Wahyu menganggap, isi Rancangan Peraturan Daerah (Perda) tentang Tata Ruang dan Tata Wilayah (RTRW) Provinsi Jawa Timur sangat mengkhawatirkan. Sebab ditemukan potensi peningkatan jumlah tambang, terutama di kawasan hutan yang tentunya difasilitasi melalui perencanaan tata ruang. Hal tersebut dapat dilihat pada Pasal 12 Rancangan Perda RTRW Provinsi Jatim, yang menyebut pertambangan dikategorikan sebagai kawasan budidaya.

Hal ini, menurut Wahyu, berbahaya, sebab tambang adalah kegiatan ekstraksi yang mengeruk saripati bumi, sementara budidaya secara definisi adalah sebuah upaya yang terencana untuk memelihara dan mengembang-biakan tanaman atau hewan supaya tetap lestari sehingga hasilnya dapat dimanfaatkan. Parahnya tidak hanya tambang, perumahan, infrastruktur dan pertahanan keamanan dimasukkan dalam kategori ini.

Selanjutnya, pada Pasal 74 paragraf ke-5 menunjukkan, hampir semua wilayah di Jatim adalah kawasan pertambangan mineral, logam, minyak, gas dan panas bumi. Perencanaan ruang ini juga tumpang tindih dengan Pasal 71 tentang pangan dan Pasal 72 tentang pengembangan holtikultura. Selain itu penetapan ruang pertambangan juga tumpang tindih dengan Pasal 54 tentang rencana kawasan lindung, Pasal 55 tentang kawasan lindung, Pasal 56 tentang kawasan perlindungan setempat dan Pasal 57 tentang konservasi.

"Sebagai contoh di Trenggalek, pemerintah mengeluarkan IUP tambang untuk PT SMN, tetapi lokasinya berada dalam kawasan hutan lindung, hutan produksi, hutan rakyat dan kawasan lindung karst. Selain itu juga beririsan dengan kawasan mata air, permukiman dan pesisir," ungkap Wahyu.

Wahyu menjelaskan, membaca pola ruang di Jatim yang terbaru, IUP PT SMN tumpang tindih dengan kawasan budidaya perikanan, kawasan wisata, kawasan lindung dan konservasi. Hal yang sama juga terlihat pada keberadaan IUP PT Bumi Suksesindo dan PT Damai Suksesindo di Banyuwangi, yang terdapat tumpang tindih, serta parahnya berbatasan langsung dengan Taman Nasional Meru Betiri.

Walhi Jatim, kata Wahyu, juga menemukan kecacatan tata ruang di Jatim, pada Pasal 121 dan Pasal 122 Perda tersebut memfasilitasi kegiatan pertambangan di kawasan hutan, termasuk hutan lindung. Lalu dipertegas dalam Pasal 132 dalam arahan zonasi pertambangan dan energi terutama pada poin ke-4 dan ke-5, diizinkan pengembangan kawasan pertambangan bersama penelitian dan pengembangan infrastruktur.

"Tentu ini rancu dan bias, sehingga membuka keran eksploitasi ekstraktif di semua tempat, tidak terkecuali kawasan lindung. Membaca bagaimana tata ruang Jatim memfasilitasi industri ekstraktif adalah sama saja dengan mengundang kiamat ekologis. Karena semua ruang dikeruk, dihancurkan tanpa melihat keberlanjutan kawasan dan generasi yang akan datang," hemat Wahyu.

Selain itu perluasan industri ektraktif tidak berkaca pada krisis ekologis yang disebabkan oleh tambang, sebagaimana yang terjadi di Porong, Sidorajo. Semburan lumpur akibat tambang migas sampai saat ini masih menyembur, meninggalkan jejak luka dan trauma pada warga. Karena mereka harus terusir dari kampung tercintanya dan hidup dalam penuh kerentanan.

Wahyu berpendapat, sampai saat ini industri ekstraktif terutama pertambangan adalah yang paling brutal dan telah banyak memicu konflik sosial. Di Banyuwangi, warga bernama Budi Pego yang menyuarakan penolakan tambang emas Tumpang Pitu mengalami kriminalisasi dengan dituduh seorang komunis, parahnya yang melaporkan kasus tersebut adalah orang tambang.

"Saat ini Budi Pego mendekam di penjara setelah sempat digantung nasibnya selama 3 tahun lebih, terutama pasca putusan kasasi MA (Mahkamah Agung) yang cacat dengan memberatkan hukuman Budi Pego. Perlu diketahui Budi Pego divonis bersalah tanpa bukti, sebab spanduk yang dituduhkan secara misterius hilang," ungkap Wahyu.

Masih di Banyuwangi, imbuh Wahyu, 3 orang warga Alasbuluh melakukan protes karena kampungnya rusak akibat dilewati kendaraan tambang Galian C, bukannya didengar oleh Pemerintah Banyuwangi. Tiba-tiba mereka dilaporkan perusahaan, lalu ditahan dan diadili. Ketiganya divonis bersalah dan dijatuhi hukum 3 bulan penjara. Namun pada 2023 ini ketiganya bisa bernafas lega sebab MA mengabulkan kasasi 3 warga ini dan diputus tidak bersalah.

"Situasi serupa juga terjadi di Bojonegoro, bahkan proses hukum masih berlanjut ada beberapa warga yang dikriminalisasi perusahaan ketika protes penolakan tambang," katanya.

Catatan-catatan tambang ini, kata Wahyu, melengkapi betapa industri ekstraktif memiliki banyak dampak dan turut meningkatkan ancaman kerusakan lingkungan hingga konflik sosial.

Selain itu industri ekstraktif adalah salah satu penyumbang emisi yang besar, karena mengeruk tanah yang merupakan carbon storage (penyimpan) dan membabat hutan serta lahan hijau yang menjadi carbon sequestration (pengikat). Profit ekonomi yang didapatkan tidak seberapa, itu pun larinya ke segelintir orang, tetapi dampaknya luas dan bersifat jangka panjang.

Sampai artikel ini selesai ditulis, tidak ada pernyataan yang diberikan Gubernur Jatim, Khofifah Indarparawansa. Upaya konfirmasi terkait usulan perubahan RTRW Jatim, tidak mendapatkan tanggapan ataupun respon dari Khofifah.

SHARE