Menyoal Kebijakan dan Pendanaan Transisi Energi Indonesia
Penulis : Raden Ariyo Wicaksono
Energi
Rabu, 16 Agustus 2023
Editor : Sandy Indra Pratama
BETAHITA.ID - Di tengah pecahnya rekor baru suhu bumi dan cuaca ekstrem pada Juli 2023 kemarin, sejumlah pemimpin global menggalang kerja sama untuk mempercepat proses transisi energi dengan berbagai skema pendanaan untuk sejumlah negara, termasuk Indonesia.
Indonesia sudah meluncurkan skema transisi energi berkeadilan atau Just Energy Transition Partnership (JETP) di KTT G20 Bali pada November 2022 lalu. Tetapi hingga kini publik masih kesulitan mendapatkan akses informasi tentang implementasi skenario dan rencana transisi energi.
Meski komitmen transisi energi JETP tersebut sudah delapan bulan berlalu, dokumen-dokumen perencanaan dan agendanya masih tertutup. Padahal, lebih dari 278 juta jiwa penduduk Indonesia berada di garis terdepan dalam krisis iklim dan telah menjadi korban kebijakan pemerintah yang candu pada energi fosil batu bara.
Sekretariat JETP sendiri sebelumnya mengatakan akan meluncurkan dokumen investasi dan kebijakan komprehensif atau comprehensive investment and policy plan (CIPP) pada 16 Agustus 2023 dan menjanjikan akan adanya akses untuk bertukar informasi terkait perkembangan dokumen ini untuk ruang partisipasi publik.
Manajer Portofolio Energi Terbarukan Trend Asia, Beyrra Triasdian, mengatakan, aspek keadilan yang digadang-gadang selalu disebutkan dalam berbagai skema pendanaan transisi energi nyatanya masih jauh dari harapan. Pihaknya menganggap transisi energi yang berkeadilan seharusnya bersifat transparan dan partisipatif.
"Nyatanya, hingga saat ini tidak ada dokumen yang bisa dijangkau dengan mudah oleh publik. Ruang partisipasi publik seyogyanya menjadi hak warga negara, apalagi investasi ini akan berisiko utang yang harus dibayarkan kemudian hari,“ kata Beyrra, dalam keterangan tertulis.
Beyrra melanjutkan, masyarakat selalu dikesampingkan dalam keputusan-keputusan penting terkait investasi besar, terlebih masalah pengadaan energi. Sementara, ketika bencana iklim dan suhu ekstrem mendera, rakyatlah yang paling merasakan dampaknya.
"Tapi informasi terkait skenario transisi, seperti komitmen pemensiunan dini PLTU, pengembangan energi terbarukan dan bagaimana pemulihan atas dampak setiap proses pengelolaan energi, nyatanya selama ini tidak melibatkan pihak yang paling tersakiti dan dirugikan,” ujar Beyrra.
Di atas kertas, skema-skema pendanaan iklim ini krusial dalam transisi energi. Namun, banyak catatan yang harus diperhatikan. Afrika Selatan misalnya, telah menjalankan skema pendanaan JET-IP sejak 2021. Namun dalam implementasinya skema tersebut memiliki banyak persoalan, mulai dari transparansi dan partisipasi publik yang minim, lemahnya aspek keadilan terhadap buruh terdampak, porsi hibah yang kecil dibandingkan utang, hingga kentalnya kepentingan industri fosil yang masuk melalui solusi palsu.
Secara historis, proyek-proyek pembangunan intensif seperti yang akan didanai JETP cenderung riskan. Ketika aspek penegakan keadilannya minim, risikonya akan ditanggung masyarakat lokal.
Ekonom dan Direktur CELIOS, Bhima Yudhistira berpendapat, Indonesia seharusnya membangun sistem tata kelola yang kuat dan memastikan aspek-aspek keadilan dan transparansi dari skema-skema pendanaan yang tersedia. Sistem ini bukan hanya akan berlaku pada JETP, tetapi juga segala skema yang mungkin ditawarkan pada Indonesia di masa depan.
Bhima bilang, salah satu yang paling penting adalah transparansi. Tanpa transparansi yang intens dari skema pendanaan, maka transisi energi yang adil tidak mungkin terjadi. Menurut Bhima, Indonesia selalu terbiasa dengan skema pembangunan yang top-down tanpa pelibatan publik secara bermakna. Walhasil masyarakat selalu jadi korban, kehilangan penghasilan, bahkan kehilangan tempat tinggal.
"Dengan teknologi komunikasi sekarang, idealnya ada keterlibatan publik, dari yang paling sederhana menggunakan website untuk memberikan akses terhadap draft penyusunan CIPP JETP. Satu-satunya alasan tidak membuka akses adalah pemerintah memang tidak punya political will,” ujar Bhima.
Bhima menambahkan, tanpa adanya transparansi, proyek-proyek investasi akan berisiko besar mengancam masyarakat lokal dan masyarakat rentan. Transisi yang benar-benar adil harus mempertimbangkan aspek ketenagakerjaan, aspek gender, disabilitas, dan inklusi sosial (GEDSI), dan menangani legacy impact dari segala proyek energi. Untuk itu, pelibatan masyarakat seluas-luasnya, terutama masyarakat rentan terdampak, harus dijamin.
Menurut Manajer Kampanye Tata Ruang dan Infrastruktur Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Nasional, Dwi Sawung, aspek keadilan dari skema transisi, seperti misalnya JETP, harus secara dikemukakan secara nyata, bukan hanya menjadi embel-embel manis. Skema-skema investasi seringkali berfokus pada aspek bisnis dan pembangunan yang menjamin untung.
"Sementara pelibatan masyarakat lokal, re-edukasi buruh, dan hal sejenis yang tidak menguntungkan cenderung diabaikan. Harus ada instrumen yang menjamin aspek ini,” ujar Sawung.
Tak hanya itu, porsi aspek pinjaman dibandingkan dengan aspek hibah juga perlu diperhatikan. Dalam prinsip Common but Differentiated Responsibilities and Respective Capabilities (CBDR-RC), diakui bahwa setiap negara punya kapasitas dan tugas yang berbeda-beda.
Maka ditegaskan bahwa negara maju berkewajiban membantu transisi energi dan dekarbonisasi negara berkembang. Namun nyatanya, skema yang berat pada uang pinjaman tidak akan benar-benar adil. Pada akhirnya skema ini akan lebih menyajikan peluang keuntungan bagi sektor-sektor
swasta, sementara risikonya ditanggung oleh negara dan warga.
Dalam JETP, Presiden Indonesia Joko Widodo bersama dengan International Partners Group (IPG) yang melibatkan Amerika Serikat, Jepang, Kanada, Denmark, Uni Eropa, Perancis, Jerman, Italia, Norwegia, dan Britania Raya, bersepakat untuk menjalankan kerja sama pendanaan untuk proses dekarbonisasi sektor energi Indonesia.
Negara-negara tersebut berjanji untuk mengumpulkan dana USD20 miliar dari berbagai sumber dalam periode 3-5 tahun. Skema pendanaan apapun nyatanya perlu diperhitungkan dengan matang, yang mana dalam rentang waktu tersebut perlu dipastikan prosesnya benar-benar memenuhi tujuan dasar transisi energi yang memang masyarakat kehendaki.
Selama Indonesia belum memiliki sistem tata kelola sendiri untuk menangani investasi transisi energi, maka akan terombang-ambing dan bergantung pada skema yang ditawarkan. Tanpa ada cara untuk menjamin bahwa pembiayaan transisi akan benar benar adil, transisi tidak akan pernah berpihak pada warga terdampak, dan hanya menjadi skema bisnis mencari untung dari para taipan energi.
SHARE