PBB: Gugatan Hukum Menjadi Alat Penting untuk Keadilan Iklim
Penulis : Kennial Laia
Perubahan Iklim
Jumat, 28 Juli 2023
Editor : Sandy Indra Pratama
BETAHITA.ID - Gugatan hukum atas lambannya pemerintah dan perusahaan menangani kerusakan iklim disebut menjadi faktor penting yang membawa perubahan. Hal ini terungkap dalam laporan terbaru Program Lingkungan PBB (UNEP), dirilis Kamis, 27 Juli 2023.
Laporan UNEP bersama Sabin Center for Climate Change Law at Columbia University mengatakan, litigasi menjadi preseden untuk aksi iklim di seluruh dunia. Di satu sisi, ada risiko serangan balik dan kriminalisasi aktivis, yang dapat menghambat aksi iklim.
UNEP mencatat, saat ini terdapat 2.365 gugatan hukum terkait krisis iklim di seluruh dunia, hampir 200 di antaranya diajukan dalam 12 bulan terakhir. Kasus-kasus ini mencakup berbagai hal mulai dari target dan strategi pengurangan karbon pemerintah hingga kelambanan perusahaan dan disinformasi serta klaim atas kerusakan terkait iklim.
Kepala hukum lingkungan internasional UNEP, Andy Raine, mengatakan saat ini orang beralih ke pengadilan untuk mendapatkan keadilan. Ini terjadi di tengah berbagai bencana iklim yang semakin meningkat, seperti gelombang panas, banjir bandang, serta cuaca ekstrem lain yang dipicu oleh perubahan iklim.
“Litigasi iklim... telah menjadi tren signifikan yang tak terbantahkan dalam cara para pemangku kepentingan berupaya memajukan aksi dan akuntabilitas iklim,” kata Raine dalam rilis resmi, Kamis, 27 Juli 2023.
Sebagian besar kasus masih berada di Amerika Serikat, di mana anak muda melayangkan lusinan gugatan hukum terhadap pemerintah federal dan negara bagian. Swiss dan Prancis juga tengah menghadapi pengadilan hak asasi manusia Eropa selama setahun terakhir. Kedua negara tersebut dituduh melanggar hak warga negara mereka.
Sementara itu Australia harus membela diri dari tuduhan gagal melindungi sekelompok penduduk Kepulauan Selat Torres dari kerusakan iklim. Pemerintah Inggris juga terpaksa menyusun ulang strategi nol bersihnya setelah gugatan dimenangkan para juru kampanye iklim.
Gugatan terhadap perusahaan besar juga semakin meningkat. Walau saat ini belum ada kemenangan besar di Amerika Serikat, keputusan Mahkamah Agung baru-baru ini untuk mempertahankan serangkaian tuntutan hukum terhadap perusahaan minyak dan gas di pengadilan negara bagian menjadi pertanda bagi bagi penggugat, tulis laporan tersebut.
Bahan bakar fosil bukan satu-satunya industri pencemar yang menjadi sasaran. Pada bulan Februari, tindakan hukum resmi diluncurkan oleh empat penduduk pulau Pari di Indonesia terhadap perusahaan semen Swiss, Holcim. Para warga menuntut kompensasi atas kerusakan, kontribusi keuangan untuk tindakan perlindungan banjir, dan pengurangan emisi CO2 Holcim dengan cepat.
Tinjauan tahunan tentang litigasi hukum terbaru London School of Economics and Political Science (LSE) menyatakan, terjadi ledakan kasus greenwashing terkait iklim setahun terakhir. Ini termasuk termasuk gugatan terhadap komitmen iklim perusahaan, klaim produk yang meragukan, investasi berlebihan atau dukungan untuk aksi iklim, dan kegagalan untuk mengungkapkan risiko iklim.
Ada beberapa kisah sukses penting selama setahun terakhir, terutama seputar klaim pemasaran. Maskapai penerbangan Belanda KLM mengatakan akan membatalkan kampanye iklan di Belanda yang meminta pelanggan untuk "terbang secara bertanggung jawab" setelah gugatan oleh kelompok lingkungan. Sedangkan perusahaan susu Eropa Arla Foods, yang membuat mentega Lurpak, dilarang oleh pengadilan untuk menggunakan istilah "jejak iklim nol bersih" saat menjual produknya di Swedia.
LSE menemukan sekitar 55% dari 549 kasus di mana pengadilan telah membuat keputusan memiliki hasil yang positif. Meskipun dampak dari putusan ini sulit untuk diurai, para akademisi mengatakan litigasi tampaknya dipandang sebagai masalah serius oleh banyak bisnis dan lembaga keuangan. Sebuah studi baru-baru ini menemukan litigasi menimbulkan risiko keuangan bagi perusahaan bahan bakar fosil karena menurunkan harga saham mereka.
Bahkan litigasi yang gagal “dapat membentuk narasi seputar aksi iklim, mendorong pengambil keputusan untuk mengubah pendekatan mereka”, kata laporan LSE.
Laporan UNEP mengatakan bahwa ketika litigasi iklim meningkat dalam frekuensi dan volume, badan preseden hukum akan tumbuh, yang “membentuk bidang hukum yang semakin terdefinisi dengan baik”. UNEP mencatat, pengadilan semakin harus menangani pertanyaan tentang tanggung jawab negara di luar batas negara dan sedang melihat yurisdiksi lain untuk mendapatkan panduan tentang cara menangani kasus iklim.
Di masa mendatang, UNEP mengharapkan peningkatan jumlah kasus terkait migran, pengungsi internal, dan pencari suaka yang mencoba pindah dari negara atau wilayah asal mereka, setidaknya sebagian karena perubahan iklim. Masyarakat adat dan kelompok lain yang secara tidak proporsional rentan terhadap perubahan iklim cenderung membawa lebih banyak kasus mencari perubahan kebijakan atau ganti rugi atas kerusakan iklim.
UNEP juga mengantisipasi meningkatnya tuntutan hukum sebelum dan sesudah bencana cuaca ekstrem.
SHARE