Rencana Pensiun PLTU Batubara Perlu Aktif Libatkan Pemda
Penulis : Kennial Laia
Energi
Jumat, 21 Juli 2023
Editor : Sandy Indra Pratama
BETAHITA.ID - Pensiun dini pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara dinilai akan berdampak pada berbagai indikator ekonomi di daerah tempat pembangkit beroperasi. Karena itu pemerintah daerah harus dilibatkan secara aktif dalam implementasi transisi energi tersebut.
Hal ini diungkapkan dalam hasil studi oleh Center of Economic and Law Studies (CELIOS) bekerjasama dengan Yayasan Indonesia CERAH, diluncurkan pada 18 Juli 2023. Menurut para peneliti, salah satu langkah awal adalah melibatkan pemerintah daerah dalam rencana peluncuran rencana tindak lanjut pendanaan transisi energi Just Energy Transition Partnership (JETP) pada 16 Agustus 2023 mendatang.
Bhima Yudhistira, ekonom dan direktur CELIOS mengatakan, risiko dari belum siapnya pemerintah daerah dalam melaksanakan transisi energi akan menciptakan tekanan pada sektor tenaga kerja, serta pendapatan masyarakat yang bergantung pada rantai pasok PLTU.
“Sebagai contoh, terdapat sekitar 4.666 pekerja langsung (tetap dan tidak tetap) yang akan terdampak penutupan PLTU batu bara di Langkat, Cilacap, dan Probolinggo. Ini belum termasuk pekerja tidak langsung yakni para pelaku UMKM yang berada di sekitar lokasi PLTU, serta pekerja di lokasi sumber batubara,” kata Bhima dalam diseminasi temuan riset, Selasa, 18 Juli 2023.
Studi ini dilakukan di tiga provinsi, yakni Kabupaten Langkat, Sumatra Utara, Cilacap, Jawa Tengah, dan Probolinggo, Jawa Timur. Menurut Bhima, hasilnya menunjukkan pemerintah daerah belum aktif dilibatkan dalam agenda JETP. Khususnya pada tahap transisi pekerja yang langsung terdampak, dan pekerja sektor UMKM di sekitar lokasi PLTU.
Selain itu, dampak pensiun PLTU batu bara yang berakibat pada potensi pendapatan daerah yang hilang pasca pensiun PLTU belum disiapkan potensi penggantinya. Akibatnya, aspek berkeadilan atau just yang diusung JETP pun dipertanyakan.
Peneliti CELIOS Muhammad Saleh mengatakan, sebagian besar pemerintah daerah yang menjadi objek penelitian belum tahu dan tidak dilibatkan dalam kebijakan transisi energi JETP.
“Secara spesifik pemerintah daerah bahkan belum mengetahui keberadaan Perpres No 11/2023 tentang Urusan Pemerintahan Konkuren Tambahan di Bidang Energi dan Sumber Daya Mineral pada sub-Bidang Energi Baru Terbarukan,” ujar Saleh.
Menurut Saleh, hingga saat ini pemerintah daerah belum memiliki kerangka regulasi pelaksana Perpres No 11/2023. Selain itu pemerintah daerah menyatakan kerangka regulasi yang ada belum mampu menjawab kebutuhan transisi energi.
“Pemerintah daerah idealnya mulai mempersiapkan jaminan perlindungan materiil kepada masyarakat pasca penutupan PLTU. Artinya, ketika PLTU batubara dipensiunkan maka masyarakat yang kehilangan pendapatan tetap mendapat kompensasi berupa peralihan ke profesi lainnya,” kata Saleh.
Sementara itu peneliti CELIOS Muhammad Andri Perdana mengatakan, ada potensi hilangnya pendapatan asli daerah (PAD) dari pemensiunan dini PLTU batu bara. Jumlahnya bervariasi, dengan kisaran 1,2% hingga 6,4% dari keseluruhan PAD di suatu kabupaten, yang bergantung pada besarnya kapasitas pembangkit masing-masing daerah.
"Namun potential loss PAD ini dapat dimitigasi dengan melakukan negosiasi dengan pemerintah pusat atas kenaikan nilai Dana Transfer ke Daerah serta mendorong komitmen investasi energi bersih sebagai pengganti sumber penghasilan daerah yang hilang," kata Andri.
"Lalu pada aspek ketenagakerjaan, pemerintah daerah juga dapat mendorong adanya program upskilling dan reskilling atau peningkatan keahlian tenaga kerja yang terdampak, sebagaimana dilaksanakan pada daerah-daerah lokasi pensiun dini PLTU di program JETP Afrika Selatan. Sementara pada aspek perputaran ekonomi UMKM, studi CELIOS menemukan bahwa dampak langsung keberadaan PLTU meski kecil terhadap ekonomi sektor informal, namun perlu mendapat perhatian dari skema JETP" ungkap Andri.
Agung Budiono, Ad Interim Direktur Eksekutif Yayasan Indonesia CERAH menuturkan, temuan riset ini sangat penting karena menunjukan terdapat sejumlah celah yang harus segera dibenahi oleh pengambil kebijakan. Ihwal itu mulai dari aspek perencanaan, penguatan regulasi, serta implementasi skema JETP yang berhubungan langsung dengan daerah.
“Dorongan untuk menyudahi penggunaan PLTU dan akselerasi pengembangan energi terbarukan perlu dilihat sebagai peluang untuk beralih dari ketergantungan energi yang menghasilkan banyak emisi. Kebijakan ini berdampak positif dalam jangka panjang," kata Agung.
"Namun di sisi lain strategi perencanaan dan mitigasi atas dampak sosial, ekonomi dan lingkungan yang ada di daerah penting dilakukan agar proses transisi benar-bener dapat mengimplementasikan nilai yang berkeadilan,” pungkas Agung.
Studi tersebut juga memberikan beberapa rekomendasi kepada pemerintah:
- Kemenko Marves dan Kementerian ESDM perlu mendorong model transisi energi berkeadilan yang melibatkan pemerintah daerah secara aktif, baik dalam menyusun regulasi di level undang-undang maupun rencana teknis dalam bentuk Comprehensive Investment and Policy Plan (CIPP) JETP.
- Isi Perpres No 11/2023 perlu ditinjau kembali agar dapat menjawab kebutuhan transisi energi di daerah, dan selanjutnya, pemerintah daerah secepatnya menyediakan regulasi pelaksanaan Perpres No 11/2023.
- Kerangka transisi pada level pusat diwujudkan dalam lima pengaturan tata kelola untuk: (a) penilaian dampak; (b) pengembangan keterampilan; (c) kebijakan perlindungan sosial; (d) dialog sosial; (e) inovasi dan teknologi.
- Dalam menjalankan kebijakan transisi berkeadilan, Indonesia perlu segera menyediakan RUU Perubahan Iklim untuk menyempurnakan ragam regulasi yang selama ini bersifat sektoral.
- Kementerian Ketenagakerjaan perlu membentuk program khusus terkait reskilling dan upskilling pekerja yang terdampak transisi energi.
- Sekretariat JETP perlu memperluas pemahaman dan sosialisasi kebijakan transisi energi serta melibatkan pemda dalam merumuskan kebijakan terkait rencana pendanaan JETP.
- Dalam memitigasi dampak pada sektor tenaga kerja akibat pensiun dini PLTU, pemerintah daerah dapat meminta jaminan pendanaan untuk program redeployment, reskilling, upskilling, retraining, dukungan relokasi pekerja, serta dukungan penempatan tenaga kerja di daerah terdampak.
SHARE