Konflik Agraria di Pakel adalah Bentuk Pengabaian HAM

Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

Agraria

Senin, 17 Juli 2023

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID - Intensitas perampasan hak-hak warga dalam konflik agraria di Desa Pakel, Kecamatan Licin, Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur (Jatim), satu dekade terakhir cenderung meningkat. Konflik ini di Pakel ini menurut Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jatim, adalah bentuk pengabaian hak asasi manusia (HAM).

Walhi Jatim mencatat, setidaknya sejak 2020 hingga 2023, sekitar 14 warga mengalami kriminalisasi atau pemidanaan. Sebelas di antaranya hanya sampai fase pemanggilan, sementara 3 lainnya kini tengah menghadapi sidang pidana atas tuduhan penyebaran berita bohong. Ketiganya yakni, Mulyadi, Suwarno, dan Untung.

"Tidak hanya itu dalam rentang 3 tahun telah terjadi sekitar 3 kejadian dalam bentuk intimidasi dan kekerasan, baik oleh perkebunan maupun kepolisian Banyuwangi," ujar Wahyu Eka Styawan, Direktur Walhi Jatim, memaparkan isi Kertas Posisi bertajuk Konflik Agraria di Pakel adalah Bentuk Pengabaian HAM, yang dirilis pada Selasa (12/7/2023).

Tingginya intensitas kekerasan, intimidasi hingga tingginya angka kriminalisasi, lanjut Wahyu, selalu sejalan dengan tidak kunjung selesainya konflik agraria. Seperti yang diungkapkan oleh Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) dalam laporan akhir tahun 2022, yang menyebutkan terdapat sekitar 497 orang yang telah menjadi korban.

Warga Pakel, Banyuwangi, Jawa Timur, memberikan dukungan tiga warga, Mulyadi, Suwarno, dan Untung, yang didakwa atas dugaan menyebarkan berita bohong. Sumber foto: walhi

Pakel, lanjut Wahyu, menjadi salah satu tapak yang mengalami situasi serupa. Tidak kunjung diselesaikannya persoalan konflik agraria di Banyuwangi meninggalkan jejak kelam penyelesaian konflik agraria.

Sebagai contoh warga Pakel yang tergabung dalam Rukun Rani Sumberejo Pakel (RTSP). Meski telah melakukan langkah yang cukup progresif seperti berkali-kali ke Jakarta untuk mendesak penyelesaian konflik, dari audiensi dengan Kementerian ATR/BPN, Kantor Staf Presiden hingga Komnas HAM, terhitung sejak 2021, 2022 hingga 2023 kemarin, belum ada tanda-tanda konflik agraria akan diselesaikan.

Sementara itu, semakin lama konflik agraria dibiarkan, maka akan semakin banyak hak-hak warga yang terampas, mengalami gangguan dari pihak yang tidak ingin warga mendapatkan hak atas tanah seperti pemegang izin HGU, dalam konteks Pakel, pemegang HGU yang mengklaim punya konsesi hingga Pakel selalu mengganggu upaya warga dalam memperoleh hak atas tanah.

"Paling parah dari pembiaran ini adalah munculnya intimidasi, kekerasan sampai puncaknya adalah kriminalisasi, seperti yang dialami oleh tiga warga Pakel hari ini," ujar Wahyu.

Pengabaian HAM pada Warga Pakel

Kekerasan, intimidasi dan kriminalisasi yang dialami oleh warga Pakel, lanjut Wahyu, adalah bentuk dari perampasan hak asasi manusia. Sebab akar dari persoalan ini adalah Negara melalui ATR/BPN Banyuwangi yang memberikan hak guna usaha (HGU) yang mencaplok wilayah Pakel, di saat banyak warga adalah tunakisma atau mereka yang tidak bertanah.

Memberikan izin di tengah situasi ketimpangan adalah bentuk pelanggaran hak atas hidup. Pengabaian ini bentuknya adalah, adanya aneka macam gangguan pada warga Pakel yang tengah berjuang untuk memperoleh hak atas tanah. Seperti adanya intimidasi, kekerasan dan menghalangi warga untuk bersuara dan mengusahakan hak mereka.

"Peristiwa ini dapat mencakup, mendiskreditkan perjuangan warga bukan murni oleh mereka dengan mengkambing-hitamkan kelompok jejaring yang membantu sebagai otak perjuangan. Padahal sudah jelas di sana adalah pusat ketimpangan penguasaan lahan dan warga bergerak atas kebutuhannya," urai Wahyu.

Selain itu, lanjut Wahyu, muncul pula aneka kekerasan dan intimidasi dengan tujuan untuk menutup saluran suara warga, dengan tingkatan tertinggi adalah kriminalisasi. Seperti penerapan pidana, sebagai contoh penangkapan dan penahanan tiga warga Pakel oleh polisi.

Tiga warga itu dituduh menyebarkan berita bohong, sampai menimbulkan keonaran. Padahal pasal tersebut, kata Wahyu, sifatnya darurat dalam situasi kacau sebuah negara. Sedangkan pada konflik di Pakel ini levelnya adalah desa, bahkan kekacauan dimaksud tidak ada.

Dalam dasar konstitusional, hak-hak warga negara dilindungi. Menjalankan setiap demokrasi serta melakukan perlawanan sebagai kontrol atas kebijakan pemerintah. Pada dasarnya pemerintah sebagai representasi rakyat, harus mewadahi dan mendengarkan aspirasi rakyatnya.

"Bukan berlaku semena-mena atas nama hukum dan demokrasi," ucap Wahyu.

Wahyu menyimpulkan, konflik agraria di Desa Pakel merupakan korban perampasan HAM ketimpangan penguasaan lahan yang tak kunjung diselesaikan, menjadi sebuah konflik dan selalu diabaikan oleh Negara melalui pemerintah pusat, dalam hal ini lembaga negara seperti Kementerian ATR/BPN.

Pengabaian itu diperparah dengan keterlibatan institusi, seperti kepolisian, bahkan Kejaksaan dan institusi Kehakiman, yang dalam konflik agraria ini selalu berada di pihak yang seakan-akan berhadapan dengan warga. Dengan mengabaikan konteks dan persoalan yang terjadi.

"Maka dari itu, jika ingin konflik agraria tidak semakin panjang dan perampasan hak asasi manusia dan semakin tinggi angkanya. Maka negara di sini wajib melaksanakan dan menjalankan apa itu hak asasi manusia, sebagaimana yang telah termaktub dalam Undang-Undang Dasar RI Tahun 1945 beserta aturan turunannya," kata Wahyu.

SHARE