Walhi di Tiga Provinsi Desak Evaluasi Tata Kelola Tambang Nikel

Penulis : Aryo Bahwono

Tambang

Jumat, 14 Juli 2023

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID -  Taji pemerintah menindaklanjuti dugaan ekspor nikel ilegal hingga persoalan pelanggaran lingkungan karena tambang nikel dirasai tumpul. Kerusakan lingkungan dan kemiskinan pun membayangi kawasan penghasil nikel. 

Koordinasi dan Supervisi wilayah V KPK baru-baru ini mengungkap adanya dugaan ekspor ilegal bijih nikel ke China sejak awal 2020. Diduga jumlah total ekspor ilegal ore nikel dari Indonesia ke China mencapai 5,3 juta ton yang diperkirakan merugikan negara sebesar 14 triliun rupiah dalam bentuk royalti dan pajak ekspor. 

Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Sulawesi Tengah, Sunardi Katili, mengatakan temuan KPK seharusnya ditindaklanjuti dengan penegakan hukum. Sayangnya pemerintah terkesan lambat bahkan tak menunjukkan upaya tindak lanjut penegakan hukum.

“Atas situasi yang terjadi, kami dari Aliansi Sulawesi Terbarukan meminta dan menuntut negara Indonesia, yang pertama, usut tuntas semua pelaku ekspor ilegal bijih nikel ke negara China dan hukum seberat-beratnya,” kata Sunardi dalam konferensi pers secara daring, Sabtu (9/7), seperti dikutip dari VoA Indonesia

Ilustrasi bijih nikel.

Aliansi Sulawesi Terbarukan merupakan gabungan Walhi di tiga provinsi penghasil nikel, yakni Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara. Mereka menilai perlu evaluasi keseluruhan tata kelola industri pertambangan, izin-izin usaha pertambangan yang bermasalah, baik yang merugikan negara maupun yang merusak lingkungan dan melanggar HAM. Lebih lanjut perlu moratorium izin tambang baru dan evaluasi seluruh industri nikel di Pulau Sulawesi.

Dampak Pertambangan Nikel di Pulau Sulawesi

Direktur Eksekutif Walhi Sulawesi Tenggara, Andi Rahman, menyebutkan pemerintah perlu memperketat pengawasan aktivitas penambangan nikel yang selama ini dilakukan secara masif tanpa memikirkan nasib masyarakat yang berada di wilayah pertambangan.

Menurutnya dalam dua tahun terakhir dalam satu wilayah di  Sulawesi Tenggara saja, terdapat sekitar 8.400 hektar kawasan hutan yang ditambang secara ilegal dan sekarang masih berproses di Kejaksaan Tinggi.

Salah satu dampak pertambangan saat ini adalah tercemarnya sumber mata air masyarakat di Pulau Wawonii. Padahal berdasarkan UU No 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, Pulau Wawonii tidak boleh ditambang.

“Setiap hujan mereka harus merasakan banjir, bahkan sekarang yang terjadi di lapangan, masyarakat itu telah sebulan tidak mendapatkan air bersih karena sumber mata air mereka sudah rusak akibat ekspansi tambang nikel,” jelas dia.

Berbagai dampak dari penambangan nikel di Sulawesi Tenggara itu, membantah anggapan bahwa keberadaan perusahaan tambang nikel dapat menyejahterakan masyarakat.

Aliansi Sulawesi Terbarukan mengungkap di Indonesia saat ini terdapat 11 perusahaan smelter nikel dengan sembilan di antaranya berasal dari China yang menghasilkan Nickel Pig Iron (NPI), Ferronickel dan Matte Nickel. Hampir seluruh pabrik smelter di pulau Sulawesi dan Maluku Utara itu menggunakan energi pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) berbahan bakar batubara.

Tidak Bisa Dibiarkan

Direktur Eksekutif Walhi Sulawesi Selatan, Muhammad Al Amin, menegaskan pemerintah perlu mengungkap tuntas dugaan ekspor ilegal bijih nikel ke China itu, apalagi jika dihasilkan dari kegiatan penambangan yang menyebabkan kerusakan lingkungan hidup dan memiskinkan masyarakat.

“Itu tentu saja kami sangat marah sekali karena tidak bisa kami biarkan. Ini rakyat sudah dikorbankan, lingkungan hidup sudah dirusak sementara manfaatnya tidak dirasakan oleh masyarakat Indonesia, malah dimanfaatkan oleh segelintir orang yang punya jejaring ke China dan pemerintah China itu sendiri,” tegas Al Amin.

Data Kementerian ESDM tahun 2020 menyebutkan total neraca sumber daya bijih nikel Indonesia mencapai 11.88 milyar ton, 99 persen cadangan nikel tersebut tersebar di Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara dan Maluku Utara.

SHARE