Pensiun PLTU Barabara Penting Untuk Capai Target Penurunan Emisi

Penulis : Kennial Laia

Iklim

Jumat, 23 Juni 2023

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID -  Institute for Essential Services Reform (IESR) mendesak pemerintah Indonesia melakukan transformasi sektor ketenagalistrikan untuk mencapai emisi puncak pada 2030 dan netral karbon pada 2050. Hal ini sejalan dengan komitmen Presiden Joko Widodo untuk mencapai net-zero emission 2060 atau lebih awal sebagai bentuk tanggung jawab Indonesia mengurangi ancaman pemanasan global. 

Berdasarkan data Climate Watch, sektor energi menjadi penyumbang terbesar emisi gas rumah kaca. Secara global, sektor tersebut menghasilkan 36,44 gigaton karbon dioksida ekuivalen (Gt CO2e) atau 71,5% dari total emisi. Sementara itu, berdasarkan laporan Ember Climate, Indonesia menempati urutan ke-9 penghasil emisi CO2 terbesar dari sektor ketenagalistrikan di dunia, mencapai 193 juta ton CO2 pada 2021. Untuk itu, pemerintah harus mengejar penurunan emisi yang signifikan di sektor energi, khususnya terhadap sektor ketenagalistrikan. 

Manajer Program Transformasi Energi menegaskan IESR, Deon Arinaldo,  memandang penghentian PLTU batubara di Indonesia menjadi hal yang penting. Sebagai salah satu penerima komitmen pendanaan Just Energy Transition Partnership (JETP), Indonesia berkomitmen untuk mencapai puncak emisi sebesar 290 juta ton CO2 pada 2030, dan menaikkan bauran energi terbarukan di sektor ketenagalistrikan menjadi 34% pada 2030. 

“Target yang tercanang di komitmen JETP lebih tinggi dibandingkan kebijakan dan perencanaan yang sudah ditetapkan saat ini. Misalnya saja, target emisi mencakup sektor ketenagalistrikan secara keseluruhan dan juga bauran energi terbarukan yang 10% lebih tinggi dibandingkan dengan RUPTL 2021-2030 milik PLN,” kata Deon, Selasa, 20 Juni 2023. 

Aktivis Greenpeace Indonesia membentangkan banner dengan pesan “Quit Coal”, saat mereka memblokade crane yang akan memuat batu bara di PLTU batu bara Cirebon, Jawa Barat. Foto: Ardiles Rante

“Artinya, untuk mencapai target tersebut dalam kurun waktu kurang lebih tujuh tahun, perlu transformasi tidak hanya di perencanaan sistem kelistrikan seperti penghentian operasi PLTU batubara,” papar Deon. 

IESR menghitung setidaknya 8,6 GW PLTU batubara harus dipensiunkan sebelum 2030. Lalu diikuti dengan pengakhiran operasi 7,6 GW PLTU sebelum 2040. Ini dengan asumsi bahwa semua pembangkit, termasuk PLTU batubara, yang direncanakan di dalam RUPTL 2021-2030 terbangun. Sementara itu percepatan pengembangan energi terbarukan dan disinsentif ke investasi untuk pembangkit energi fosil juga terus didorong. 

Dalam laporan Delivering Power Sector Transition yang terbit baru-baru ini, IESR menemukan bahwa dari 13,8 GW PLTU yang direncanakan pembangunannya dalam RUPTL 2021-2030, sebanyak 2,9 GW dapat dibatalkan, 10,6 GW perlu diakhiri operasinya secara dini, dan 220 MW dipertimbangkan untuk diganti dengan pembangkit listrik berbasis energi terbarukan seperti biomassa. Pembatalan 2,9 GW PLTU merupakan opsi termurah untuk menghindarkan emisi GRK di sektor ketenagalistrikan. 

“Dari analisis yang kami lakukan di laporan ini, pembatalan pembangunan PLTU batubara yang dibarengi dengan pensiun dini bagi PLTU dapat membantu mencapai target puncak emisi yang disepakati dalam JETP. Kami memperkirakan ada 5,6 GW PLTU yang harus dipensiunkan sebelum 2030 jika 2,9 GW PLTU dapat dibatalkan pembangunannya,” ujar  Peneliti Sistem Ketenagalistrikan IESR, Akbar Bagaskara. 

IESR juga menemukan, penghentian operasi PLTU batubara bermanfaat dari sisi ekonomi dan sosial. Indonesia bisa terhindar dari biaya subsidi listrik yang diproduksi dari PLTU batubara dan biaya kesehatan yang masing-masing berjumlah $34,8 dan $61,3 miliar. Angka ini dua hingga empat kali lebih besar dari biaya aset terbengkalai (stranded asset), penghentian pembangkit (decommissioning), transisi pekerjaan, dan kerugian penerimaan negara dari batubara. 

“Hingga tahun 2050, diperkirakan akan diperlukan biaya investasi untuk pengembangan energi terbarukan dan infrastruktur pendukung, sebagai pengganti dari PLTU batubara yang dipensiunkan, sebesar $1,2 triliun,” kata peneliti senior IESR, Raditya Wiranegara. 

“Dukungan pendanaan internasional tentunya akan dibutuhkan untuk mewujudkan hal ini. Namun, dengan melakukan pensiun dini PLTU dan mengakselerasi pengembangan energi terbarukan di Indonesia diperkirakan akan ada 168,000 kematian yang bisa dihindarkan hingga tahun 2050,” pungkas Raditya. 

SHARE