Menanti Pemulihan Kerugian Negara dalam Kasus Korupsi Ekspor CPO
Penulis : Raden Ariyo Wicaksono
Hukum
Rabu, 21 Juni 2023
Editor : Sandy Indra Pratama
BETAHITA.ID - Penetapan Wilmar Group, Permata Hijau Group, dan Musim Mas Group sebagai tersangka korporasi dalam kasus dugaan korupsi izin ekspor minyak sawit atau crude palm oil (CPO), seharusnya dapat membuka jalan pemulihan kerugian negara di balik kelangkaan minyak goreng pada akhir 2021-2022, setelah vonis ringan lima terdakwa yang sudah inkracht.
Ketua Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia, Arie Rompas, berpendapat putusan pengadilan sebelumnya aneh dan tidak menyasar tanggung jawab korporasi, padahal majelis hakim menyatakan korupsi izin ekspor minyak sawit itu merupakan aksi korporasi. Dengan kerugian negara mencapai triliunan rupiah, para terdakwa hanya diminta membayar ratusan juta rupiah.
"Penetapan tersangka korporasi ini dapat menjadi upaya untuk pemulihan kerugian negara secara lebih optimal,” kata Arie Rompas, dalam keterangan resminya, Sabtu (17/6/2023).
Arie melanjutkan, desakan menjerat korporasi dalam kasus kelangkaan minyak goreng ini telah lama disuarakan masyarakat sipil. Korupsi izin ekspor minyak sawit telah menyebabkan kelangkaan dan melambungnya harga minyak goreng yang menyusahkan rakyat, serta merugikan keuangan negara hingga Rp6,47 triliun. Sudah seharusnya penegak hukum bertindak progresif, dengan cara menjerat korporasi demi memulihkan keuangan negara.
Kejaksaan Agung, imbuh Arie, harus memastikan ketiga tersangka korporasi dibawa ke persidangan dan dituntut bertanggung jawab atas kerugian keuangan negara. Mengingat rumitnya struktur perusahaan yang menjadi tersangka korporasi itu, Kejaksaan Agung dapat menerapkan pendekatan pidana pencucian uang. Hal ini perlu dilakukan untuk menutup celah penghindaran lewat berbagai skema aksi korporasi.
Selain itu, Komisi Pengawas Persaingan Usaha mesti memastikan tak ada dominasi pelaku usaha di tingkat hilir untuk mencegah persaingan tidak sehat. Merujuk data KPPU, kata Arie, 70 persen pangsa pasar minyak goreng dikuasai oleh delapan perusahaan saja. Dominasi pelaku usaha rentan berujung pada besarnya pengaruh mereka dalam pembentukan kebijakan.
“Karena kasus ini masih tahap permulaan, publik perlu mengawal proses penegakan hukumnya dan memastikan terwujudnya proses peradilan yang bersih dan transparan,” ujar Arie Rompas.
Pengungkapan kasus korupsi dalam penerbitan dokumen ekspor ini, menurut Arie, membuka kotak pandora sengkarut pengelolaan sawit. Kasus korupsi ini menjelaskan betapa mudahnya aktor korporasi mempengaruhi kebijakan pemerintah lewat agen-agen mereka.
“Masih segar di ingatan publik betapa sulitnya memperoleh minyak goreng pada akhir 2021 hingga 2022, bahkan dampaknya masih terasa sampai sekarang. Harga minyak goreng tidak pernah kembali ke harga sebelum terjadinya kelangkaan,” lanjut Arie.
Arie mengatakan, pemerintah harus serius membenahi tata kelola sawit Indonesia, salah satunya dengan kembali memberlakukan moratorium pemberian izin, serta melakukan audit korporasi sawit secara transparan. Desakan ini juga sudah berkali-kali disampaikan kelompok masyarakat sipil, termasuk lewat gugatan kelangkaan minyak goreng terhadap Presiden Joko Widodo dan Menteri Perdagangan ke Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta.
SHARE