Negara Kaya Berpotensi Membayar Dana $170 T Untuk Reparasi Iklim

Penulis : Kennial Laia

Perubahan Iklim

Rabu, 07 Juni 2023

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID -  Negara-negara industri kaya, yang bertanggung jawab atas tingkat emisi gas rumah kaca yang berlebihan, berpotensi membayar $170 triliun untuk perbaikan iklim pada 2050. Ini untuk memastikan terpenuhinya target mengurangi kerusakan iklim. 

Kompensasi tersebut, yang berjumlah hampir $6 triliun per tahun, diungkap dalam studi baru yang diterbitkan di jurnal Nature Sustainability. Ini akan dibayarkan kepada negara-negara berkembang yang secara historis berpolusi rendah, dan harus beralih dari bahan bakar fosil meskipun belum menggunakan anggaran karbonnya secara maksimal. 

Menurut para peneliti, sistem kompensasi didasarkan pada gagasan bahwa atmosfer adalah milik bersama, sumber daya alam untuk semua orang yang tidak digunakan secara adil.

Skema ini adalah yang pertama kali meminta pertanggungjawaban negara-negara kaya yang secara historis bertanggung jawab atas emisi rumah kaca yang berlebihan atau tidak adil termasuk Inggris, AS, Jerman, Jepang, dan Rusia. Kompensasi ini diberikan kepada negara-negara yang paling sedikit berkontribusi terhadap pemanasan global – tetapi harus mendekarbonisasi ekonominya pada 2050 jika dunia ingin menjaga pemanasan global di bawah 1,5C dan mencegah kerusakan iklim yang paling dahsyat.

Indonesia semakin sering mengalami bencana hidrometeorologi akibat perubahan iklim. Foto udara menunjukkan situasi usai banjir bandang melanda Kecamatan Cicurug, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, pada September 2020. Dok Teguh Pratama/Tim Reaksi Cepat BNPB

Dalam skenario ambisius ini, peneliti menemukan bahwa 55 negara termasuk sebagian besar sub-Sahara Afrika dan India harus mengorbankan lebih dari 75% bagian anggaran karbon mereka. 

Di sisi lain, Inggris telah menggunakan 2,5 kali alokasi wajarnya, dan akan berkewajiban membayar $7,7 triliun untuk emisinya yang berlebihan pada 2050. AS telah menggunakan lebih dari empat kali bagian wajarnya untuk menjadi negara terkaya di dunia, dan akan bertanggung jawab atas reparasi $80 triliun di bawah skema ini.

“Ini adalah masalah keadilan iklim bahwa jika kita meminta negara-negara untuk segera mendekarbonisasi ekonomi mereka, meskipun mereka tidak bertanggung jawab atas kelebihan emisi yang membuat iklim tidak stabil, maka mereka harus diberi kompensasi atas beban yang tidak adil ini,” kata Andrew Fanning, penulis utama dan peneliti tamu di Sustainability Research Institute, University of Leeds. 

Menurut Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC), total anggaran karbon sejak 1960 adalah 1,8 triliun ton CO2 atau setara gas rumah kaca. Angka tersebut ditentukan untuk menjaga pemanasan global di bawah 1,5C. 

Dengan menggunakan ukuran populasi, para peneliti menghitung berapa banyak 168 negara telah menggunakan bagian yang adil dari anggaran karbon global sejak 1960. 

Sebagian negara sesuai dengan anggaran karbonnya. Namun, utara global atau global north (AS, Eropa, Kanada, Australia, Selandia Baru, Jepang, dan Israel) telah secara besar-besaran melampaui bagian mereka yang adil dari atmosfer bersama.

Hampir 90% dari kelebihan emisi dihasilkan oleh global utara yang kaya, sedangkan sisanya berasal dari negara-negara beremisi tinggi di selatan global, terutama yang kaya minyak seperti Arab Saudi dan Uni Emirat Arab.

Lima negara beremisi rendah dengan populasi besar – India, Indonesia, Pakistan, Nigeria, dan China (saat ini merupakan penghasil emisi terbesar di dunia) – akan berhak menerima kompensasi $102 triliun, karena telah mengorbankan bagian anggaran karbon mereka dalam skenario nol emisi.

“Perubahan iklim mencerminkan pola kolonisasi atmosfer yang jelas,” kata Jason Hickel, rekan penulis dan profesor di Institute of Environmental Science and Technology at the Autonomous University of Barcelona. 

“Tanggung jawab atas emisi berlebih sebagian besar dipegang oleh kelas atas [dalam negara] yang memiliki konsumsi sangat tinggi dan yang memiliki kekuasaan yang tidak proporsional atas produksi dan kebijakan nasional. Merekalah yang harus menanggung biaya kompensasi,” terangnya. 

Beberapa tahun terakhir, tuntutan untuk memberi kompensasi kepada negara-negara yang rentan terhadap krisis iklim meningkat. Ini karena mereka harus menderita atas dampak negatif karena emisi gas rumah kaca yang berlebihan dari negara lain. Kompensasi ini juga dinilai sebagai bagian dari gerakan keadilan iklim yang lebih luas, untuk membuat pencemar membayar krisis iklim dan transisi energi hijau. 

Tahun lalu di KTT Cop27 PBB, negara-negara sepakat untuk membentuk dana pembiayaan kerugian dan kerusakan (damage and loss) untuk menyediakan dana bagi negara-negara miskin. Ini ditujukan untuk biaya ekonomi dan non-ekonomi yang tidak dapat diperbaiki dan tidak dapat dihindari dari peristiwa cuaca ekstrem dan bencana iklim yang lambat seperti kenaikan permukaan laut dan pencairan gletser.

Menurut penelitian yang diterbitkan bulan lalu, perusahaan minyak, gas, dan batu bara terkemuka dunia bertanggung jawab atas $5,4 triliun dalam kekeringan, kebakaran hutan, kenaikan permukaan laut, dan pencairan gletser, serta bencana iklim lainnya yang diperkirakan terjadi antara tahun 2025 dan 2050. Ini adalah studi pertama yang mengukur beban ekonomi yang disebabkan oleh masing-masing perusahaan yang telah mengekstraksi – dan terus mengekstraksi – kekayaan dari bahan bakar fosil yang memanaskan planet bumi.

Guardian

SHARE