Menanti Audit Lingkungan Tambang Nikel di Wawonii

Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

Tambang

Kamis, 15 Juni 2023

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID - Keruh berwarna lumpur, begitulah kondisi perairan laut di Kecamatan Wawonii Tenggara, Kabupaten Konawe Kepulauan, Sulawesi Tenggara (Sultra), satu tahun terakhir. Kondisi tersebut terjadi sejak pertambangan nikel beroperasi di pulau kecil tersebut. Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) mendorong dilakukannya audit lingkungan di Wawonii

Sekretaris Jenderal (Sekjen) Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara), Susan Herawati, mengatakan ada lima wilayah desa yang terdampak pencemaran perairan laut oleh pertambangan nikel ini, yaitu Desa Sukarela Jaya, Dompo-Dompo, Roko-Roko, Bahaba dan Teparoko. Kondisi ini, menurut dia, telah diproyeksikan sehingga sejak awal masyarakat setempat dengan sekuat tenaga menolak adanya aktivitas pertambangan di pulau kecil itu.

Melihat kondisi saat ini, imbuh Susan, kelima desa tersebut merupakan desa yang terdampak langsung akibat masuknya industri ekstraktif yang ada di Pulau Wawonii. Masyarakat diporak-porandakan di ruang-ruang produksinya, baik di darat maupun di laut.

"Ini sudah terlihat jelas dengan keruhnya perairan laut di pesisir Kecamatan Wanonii Tenggara," kata Susan, dalam keterangan resminya, Jumat (2/6/2023).

Anak perusahaan Harita Group, PT Gema Kreasi Perdana (GKP), kembali menyerobot lahan warga di Roko-Roko Raya, Kabupaten Konawe Kepulauan, Sulawesi Tenggara. Foto: Jatam

Menurut Susan, kasus ini harusnya menjadi momentum yang tepat bagi KKP dan KLHK untuk bertindak, terutama melakukan audit lingkungan hidup, baik dari lokasi pertambangan PT GKP hingga ke perairan yang dapat diduga telah tercemar akibat aktivitas pertambangan di darat.

"Pemerintah pusat bersama Pemerintah Daerah Sulawesi Tenggara seharusnya telah mencabut izin PT GKP dan harus dituntut untuk mengembalikan kondisi sosio-ekologis seperti sebelum mereka masuk ke Pulau Wawonii, terutama penimbunan pantai yang telah dilakukan untuk pembangunan pelabuhan/tersus tambang,” ungkap Susan.

Sebagian besar masyarakat yang tinggal di Pulau Wawonii berprofesi sebagai nelayan dan petani (pekebun). Sehingga masuknya industri yang rakus akan tanah dan air akan sangat berpengaruh terhadap perebutan ruang kelola yang ada di wilayah Kecamatan Wawonii Tenggara.

Perebutan ruang kelola ini akan mengakibatkan terampasnya secara paksa ruang-ruang produktif warga, salah satu contoh yang bisa dilihat langsung adalah masyarakat dipaksa untuk menjual rugi tanah-tanah perkebunan yang telah menjadi hak mereka secara turun temurun dengan harga murah, bahkan terdapat tanah-tanah yang dirampas secara paksa.

"Sedangkan di wilayah pesisir, tanah dan laut sebagai ruang produksi warga juga dirampas untuk diubah menjadi pelabuhan atau terminal khusus untuk pertambangan, yang bahkan mengorbankan ekosistem mangrove dan terumbu karang di pesisir tersebut,” ujar Susan.

Kiara mencatat, masyarakat telah menempuh berbagai cara untuk mengusir pertambangan di Pulau Wawonii. Bahkan dengan melakukan gugatan Judicial Review Peraturan Daerah (Perda) Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Konawe Kepulauan.

Dalam salinan putusan judicial review, pada bagian pertimbangannya, Majelis Hakim MA secara tegas menyebutkan pengelolaan Pulau Wawonii setidak-tidaknya dilaksanakan dengan tujuan melindungi, memperkaya sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil, serta menjaga sistem ekologis secara berkelanjutan.

Susan menerangkan, secara filosofis, Kabupaten Konawe Kepulauan merupakan pulau kecil yang rentan dan sangat terbatas sehingga membutuhkan perlindungan khusus, sehingga kegiatan yang tidak ditujukan untuk menunjang kehidupan ekosistem di atasnya, termasuk pertambangan harus dilarang untuk dilakukan.

Kiara melihat, kata Susan, putusan Majelis Hakim MA tersebut sangat jelas dan tegas, terutama dalam poin bahwa pertambangan di pulau kecil akan mengancam kehidupan seluruh makhluk hidup di atasnya, termasuk juga manusia.

"Tetapi putusan MA No. 57 P/HUM/2022 tersebut belum dieksekusi di lapangan sehingga perusahaan PT GKP masih beroperasi hingga kini dan diduga aktivitasnya berdampak seperti yang saat ini tengah dialami oleh masyarakat,” jelas Susan.

Susan melanjutkan, KKP melalui PSDKP dan KLHK melalui Gakkum sebagai penegak hukum seharusnya bertanggung jawab dengan hal tersebut, dan dapat menindak tegas PT GKP. Apalagi sudah ada Putusan MA yang menyatakan pertambangan dilarang di pulau kecil.

Menurut Susan, sudah saatnya KKP dan KLHK menunjukkan sikap tegas dan tidak menoleransi perusakan lingkungan khususnya di pulau-pulau kecil, terutama Menteri KKP dengan slogannya bahwa ekosistem adalah panglima.

"Tetapi realita yang terjadi masih jauh panggang dari api. Masyarakat masih dalam derita kehilangan ruang produksinya baik perkebunan maupun lautnya. Karena mereka masih mengeluhkan semakin jauh melaut dan minimnya hasil tangkapan,” ujar Susan.

Susan bilang, keruhnya perairan di Kecamatan Wawonii Tenggara harus dilihat secara keseluruhan, tidak boleh secara parsial. Sebab, keruhnya air dimulai dari rusaknya sumber-sumber mata air warga yang berada di darat, sehingga jika terjadi hujan maka substrat tanah galian dan land clearing tersebut terbawa hingga ke perairan laut.

SHARE