Investigasi Global Buktikan Ekspor Pasir Laut Merusak Lingkungan
Penulis : Kennial Laia
Lingkungan
Senin, 05 Juni 2023
Editor : Sandy Indra Pratama
BETAHITA.ID - Bisnis penambangan pasir berdampak negatif bagi lingkungan maupun komunitas di seluruh dunia, terutama perempuan dan anak. Hal itu diungkap dalam laporan terbaru Environmental Reporting Collective (ERC), jaringan global jurnalis yang bekerja di isu kejahatan lingkungan.
Selama setahun terakhir, organisasi tersebut meneliti dampak penambangan pasir di 12 negara. Wilayah tersebut mulai dari Indonesia, Singapura, Kamboja, Vietnam, Thailand, Filipina, China, Taiwan, India, Nepal, Sri Lanka, hingga Kenya.
Isu penambangan pasir ini kembali mengemuka setelah Presiden Joko Widodo menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi Laut akhir Mei lalu. Aturan ini membuka kembali keran ekspor pasir laut dari Indonesia yang sebelumnya dilarang sejak era Presiden Megawati Soekarnoputri.
Tim ERC menemukan, penambangan pasir yang masif menyebabkan pulau-pulau kecil di Indonesia hilang. Selain itu, aktivitas ini merusak daerah penangkapan ikan di Taiwan, Filipina, dan China.
Hal ini terlihat dari pemberitaan media nasional, seperti di Indonesia. Sebelumnya Majalah Tempo menemukan bagaimana penambangan pasir laut oleh PT Logo Mas Utama di perairan utama Pulau Rupat dan Pulau Babi, Bengkalis, Riau, telah memperparah kerusakan ekosistem pesisir dan abrasi di wilayah tersebut.
Sementara itu di Taiwan, kegiatan ilegal pengeruk pasir laut asal China dituding sebagai dalang kerusakan daerah penangkapan ikan di Pulau Penghu. Ini menyebabkan tangkapan nelayan lokal menurun secara drastis, hingga hampir 90 persen. Data Biro Pertanian dan Perikanan wilayah Penghu mencatat, tangkapan ikan di sana melorot dari 346 metrik ton pada 2018 menjadi hanya 160 metrik ton pada 2021.
Di China, pemerintah melakukan tambang pasir di Danau Poyang. Ini menyebabkan kerusakan daerah penangkapan ikan dan habitatnya. Nelayan pun telah dilarang beroperasi demi pengerukan pasir.
Aktivitas penambang pasir laut di Filipina pun telah merusak pesisir di Ilocos Sur. Ini juga berdampak pada menurunnya hasil tangkapan ikan nelayan setempat.
Tim ERC juga menemukan, penambangan pasir di seluruh dunia melibatkan jaringan mafia yang mengelola bisnis bernilai miliaran dolar. Mafia tambang pasir ini disebut-sebut terlibat dalam aktivitas yang mengancam keselamatan jurnalis, pegiat lingkungan, dan masyarakat sipil. Beberapa dari mereka dipenjara, bahkan kehilangan nyawa.
"Kami menemukan banyak kasus kriminal yang terkait aktor penambang pasir ini di Nepal, Filipina, Sri Lanka, Vietnam, sampai India," tulis laporan tersebut.
Di Bihar, India, misalnya, mafia tambang pasir umumnya berasal dari kasta yang lebih tinggi. Mereka merampas tanah pertanian dari kasta yang lebih rendah. Aksi ini kadang melibatkan kontak senjata antara kelompok mafia yang berbeda. Tim ERC mewawancarai warga sipil yang menjadi korban kekejaman mafia tambang pasir di wilayah tersebut.
Selain itu, laporan juga menginvestigasi bagaimana penambangan pasir berdampak pada kelompok rentan, seperti perempuan. Tim ERC mewawancarai perempuan dari Kenya, Indonesia, Kamboja, dan India. Penambangan pasir tidak hanya merusak rumah mereka, tapi juga lahan pertanian dan mengancam ketahanan pangan mereka.
Di Indonesia, sekelompok perempuan berjuang melawan perusahaan penambangan pasir di Pasar Seluma, Bengkulu, dengan protes damai dan simbolik. Di sana, penambangan pasir laut oleh PT Flaminglevto Baktiabadi dituding mengancam ekosistem remis, kerang laut yang merupakan sumber pendapatan dan protein bagi masyarakat adat Serawai.
"Dari semua hasil investigasi kami itu, ada indikasi kuat bahwa penambangan pasir berdampak buruk pada lingkungan dan komunitas. Apalagi tidak ada aturan atau badan global yang memonitor eksploitasi pasir, yang merupakan sumber daya kedua terbanyak yang digunakan setelah air," tulis ERC.
Kolaborasi global tersebut melibatkan Center for Investigative Reporting Sri Lanka, Kontinentalist (Singapura), Mekong Eye (Kamboja, Vietnam, Thailand), The Initium (China), Science Africa (Kenya), Tempo (Indonesia), The Reporter (Taiwan), NBC News (USA), The Philippine Center for Investigative Journalists (Filipina), dan Ukaalo (Nepal).
SHARE