Konservasi Badak Jawa Salah Arah?
Penulis : Raden Ariyo Wicaksono
Konservasi
Minggu, 28 Mei 2023
Editor : Sandy Indra Pratama
BETAHITA.ID - Tiga badak jawa (Rhinoceros sondaicus), bernama Febri, Wira dan Puspa, ditemukan tinggal tulang belulang di tiga titik berbeda di Taman Nasional Ujung Kulon (TNUK), pada 2020 dan 2021 lalu. Sementara belasan badak jawa lainnya tidak diketahui nasibnya, sebagian besar tak terpantau kamera deteksi sejak 2020 lalu.
Fakta-fakta tersebut mengarah pada dugaan adanya permasalahan dalam pengelolaan konservasi badak jawa beberapa tahun terakhir. Indikasi permasalahan tersebut sebagian besar dipaparkan Yayasan Auriga Nusantara dalam laporan terbarunya berjudul Badak Jawa di Ujung Tanduk yang dirilis 11 April 2023 lalu.
Dalam laporan itu, Auriga Nusantara memaparkan berbagai indikasi permasalahan dalam pengelolaan taman nasional di ujung barat pulau Jawa itu. Permasalahan dimaksud di antaranya, adanya aktivitas perburuan satwa, penurunan populasi badak jawa, hingga kebijakan pengelolaan taman nasional yang dianggap salah arah.
Yang disebutkan terakhir, merujuk pada kebijakan pengalokasian anggaran dan penempatan staf yang dinilai tidak tepat.
Soal anggaran, kecuali 2020 karena pandemi Covid-19, anggaran yang dialokasikan pemerintah bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) untuk TNUK selalu meningkat dalam empat tahun terakhir. Bahkan, peningkatannya sangat drastis pada 2021 dan 2022, masing-masing sebesar Rp90.269.384.000 dan Rp112.628.864.000.
Namun, sebagian besar dari total anggaran Rp256,6 miliar tersebut ternyata bukan untuk kegiatan teknis konservasi badak jawa. Melainkan untuk kegiatan proyek pengadaan atau pemeliharaan kendaraan, pembangunan atau pemeliharaan infrastruktur dan pembangunan Javan Rhino Study and Conservation Area (JRSCA).
Pada 2021 misalnya, anggaran yang dialokasikan untuk membiayai kegiatan-kegiatan tersebut di atas totalnya sebesar Rp33.883.865.000. Sedangkan pada 2022, dana yang dialokasikan untuk kegiatan-kegiatan seperti di atas, angkanya meningkat jauh lebih besar, mencapai Rp77.672.298.700.
Soal pembangunan JRSCA, Auriga berpendapat, fasilitas suaka badak ini perlu dijadikan catatan tersendiri. Alasannya, karena tidak jelas arahnya, sementara menyerap anggaran sangat besar.
Anggaran besar untuk JRSCA ini dapat dilihat dalam Sistem Informasi Rencana Umum Pengadaan (SiRUP). Pada 2021, terdapat 8 paket kegiatan proyek terkait JRSCA dengan total anggaran Rp33.229.865.000, di antaranya Jasa Konsultansi Manajemen Konstruksi Pembangunan JRSCA, Jasa Konsultansi Perencanaan Teknis Pembangunan JRSCA, dan Pengadaan Sarana dan Prasarana Pendukung JRSCA.
Kemudian pada 2022, juga terdapat paket kegiatan proyek JRSCA yang dianggarkan, jumlahnya 19 paket dengan total Rp77.166.749.700. Paket kegiatan proyek tersebut seperti Pembangunan Paddock Penelitian dalam rangka Pembangunan JRSCA, Pembangunan Komplek Kantor Pengelola dalam rangka Pembangunan JRSCA, dan Pembangunan Pagar Batas dan Pintu Karang Ranjang dalam rangka Pembangunan JRSCA.
"Padahal, pada 2011 fasilitas ini telah ditentang sedemikian keras oleh kelompok masyarakat sipil dan akademisi karena akan membelah Ujung Kulon dengan pagarnya," kata Auriga Nusantara dalam laporannya.
Soal anggaran yang minim untuk kegiatan teknis konservasi ini diakui pihak pengelola TNUK. Kepala Balai TNUK, Anggodo, menyebut anggaran yang dialokasikan pemerintah untuk Balai TNUK per tahunnya berkisar antara Rp17 miliar hingga Rp18 miliar. Sebagian besar atau sekitar 70 persen dari anggaran itu dialokasikan untuk gaji pegawai dan honor tenaga tidak tetap, seperti tenaga pengamanan hutan lainnya (TPHL) dan masyarakat mitra polhut (MMP).
"Sisanya untuk pemeliharaan bangunan, eksploitasi dan sedikit untuk kegiatan teknis," kata Anggodo, Selasa (2/5/2023).
Pada kesempatan sebelumnya Anggodo menjelaskan, besar anggaran untuk Balai TNUK tiap tahunnya tidak jauh berbeda dengan balai-balai taman nasional lainnya. Kalaupun ada kegiatan yang tidak ada anggaran pembiayaannya, biasanya akan dibantu oleh organisasi masyarakat sipil yang menjadi mitra Balai TNUK. Meski kemudian Anggodo bilang Balai TNUK tidak bergantung pada mitra.
"Kalau anggaran semua taman nasional sama masalahnya. Kurang semua. Ya dicukup-cukupkanlah. Artinya kita, dari pemerintah dengan APBN menurut saya sudah memadai, adapun ya kurang-kurangnya ada mitra kita bisa membantu. Kalau misalnya dia (anggaran) sudah ada ya mitra membantu yang lain. Dan kita tidak tergantung dari mitra juga. Saya siapkan anggarannya kok," kata Anggodo, melalui percakapan telepon, Rabu (12/4/2023) lalu.
Gambaran Alokasi Anggaran Taman Nasional Ujung Kulon.
Soal anggaran pembangunan JRSCA. Anggodo mengatakan, pembangunan infrastruktur dan kegiatan lain terkait JRSCA adalah proyek strategis nasional dari Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) dan Kementerian Keuangan. Anggaran untuk JRSCA, kata Anggodo, terpisah dari anggaran rutin Balai TNUK.
Anggodo melanjutkan, anggaran yang dialokasikan untuk kegiatan teknis konservasi badak tahun ini, nilainya sekitar Rp800 juta. Salah satu kegiatan teknis yang dibiayai dengan dana tersebut adalah pemantauan badak jawa.
"Untuk kegiatan rutin monitoring badak dan satwa lain, patroli dianggarkan terpisah. Khusus badak, monitoring dianggarkan Rp800 juta, satwa lainnya banteng, macan, owa dianggarkan Rp200 juta. Mitra membantu kita hanya untuk mengisi kesenjangan DIPA (daftar isian pelaksanaan anggaran) kita," kata Anggodo.
Lebih lanjut Anggodo mengatakan, anggaran untuk konservasi satwa, termasuk untuk badak jawa, rutin dianggarkan setiap tahunnya, kecuali pada 2020. Karena pandemi Covid 19, alokasi anggaran untuk Balai TNUK pada 2020 terkena penghematan dan berimbas pada anggaran untuk konservasi satwa.
“2020 ada Covid jadi anggaran kena penghematan. Kita dibantu mitra Yabi untuk kegiatan monitor badak. 2021 sudah bisa dianggarkan kembali Rp860 juta untuk kegiatan monitor badak, 2022 dianggarkan kembali Rp800 juta untuk badak dan Rp100 juta untuk banteng dan owa,” terang Anggodo.
Kurang Tenaga Lapangan untuk Konservasi Badak Jawa
Selain soal anggaran, Auriga Nusantara juga menyinggung soal struktur dan penempatan staf Balai TNUK yang dianggap tidak mencerminkan prioritas konservasi badak jawa. Sebab menurut Auriga, tidak ada staf yang secara spesifik dalam jangka panjang dialokasikan untuk kegiatan konservasi badak jawa.
"Staf teknis berpindah-pindah dalam waktu yang tidak terlalu lama. Sementara pengambil kebijakan, terutama kepala balai, cenderung tanpa latar belakang kemampuan teknis konservasi. Akibatnya, selain konservasi badak jawa lebih didominasi politik ketimbang teknis konservasi, (pengelolaan) pengetahuan konservasi badak jawa tidak berkesinambungan di Balai Taman Nasional Ujung Kulon," kata Auriga.
Masih menurut Auriga, kegiatan teknis konservasi badak jawa di TNUK selama ini sangat tergantung kepada organisasi masyarakat sipil, seperti World Wildlife Fund (WWF), Yayasan Badak Indonesia (YABI), dan Aliansi Lestari Rimba Terpadu (ALeRT), baik inisiatif kegiatan, pengolahan data dan informasi, bahkan pendanaan.
Pada 2012, lanjut Auriga, Balai TNUK memutuskan kegiatan pemantauan dengan kamera deteksi sepenuhnya menggunakan anggaran negara. Pendanaan terhadap puluhan masyarakat sekitar yang terlibat dalam kegiatan ini pun diambil alih oleh Balai TNUK--yang sebelumnya didanai dan dikelola WWF Indonesia. Akan tetapi, sistem kerja dan standar kesejahteraan mereka lebih buruk sehingga kualitas kegiatan pun menurun jauh.
"Berdasar informasi yang kami kumpulkan, banyak penduduk sekitar ini, yang sebelum direkrut menjadi pelaku teknis konservasi adalah para pemburu satwa, yang tidak terlibat lagi pada kegiatan konservasi badak jawa di lapangan. Bahkan, kami mendapat indikasi bahwa ada yang kembali menjadi pemburu atau terlibat perburuan satwa," terang Auriga.
"Benar, taman nasional tidak hanya mengelola satu spesies. Tapi, di Taman Nasional Ujung Kulon spesies lain pun cenderung terlantar (neglected). Padahal, spesies ini juga termasuk langka, seperti macan, banteng, owa jawa, dan sebagainya. Tapi, jangankan kegiatan teknis konservasinya, bahkan data spesies ini pun tidak tersedia di Balai Taman Nasional Ujung Kulon," imbuh Auriga.
Anggodo mengakui kurangnya sumber daya manusia (SDM), khususnya staf ASN Balai TNUK, yang dapat difokuskan untuk kegiatan teknis konservasi badak jawa. Karena saat ini pegawai staf Balai TNUK sudah banyak yang pensiun. Untuk itu, saat ini pihaknya melibatkan masyarakat sekitar untuk membantu staf di lapangan.
"Kita maksimalkan teman-teman di lapangan. Untuk penugasan pada 1 kantor resort/pos jaga dijaga minimal 2 orang ASN dan 3 sampai dengan 4 orang masyarakat sebagai TPHL dan MMP," kata Anggodo.
Anggodo menjelaskan, tidak bisa sembarangan staf Balai TNUK dapat ditempatkan khusus untuk mengurusi konservasi badak. Staf yang ditugaskan untuk kegiatan konservasi badak, lanjut Anggodo, hanyalah staf yang memiliki pengetahuan tentang badak dan sudah terlatih.
Namun sayang, staf-staf yang sebelumnya difokuskan untuk mengurusi konservasi badak sudah banyak yang purna tugas. Anggodo menghitung, sejak 2020 lalu jumlah staf Balai TNUK yang purna tugas jumlahnya sebanyak 30 orang, termasuk yang pensiun tahun ini.
"Khusus untuk badak ini kita pilih yang pernah terdidik dengan Yayasan Badak Indonesia, karena sudah terlatih. Sudah tepat orang-orangnya. Dan orang-orang ini banyak yang pensiun. Kita kekurangan tenaga ini," kata Anggodo.
"Terus kita juga enggak ada tambahan tenaga. Sebagian tenaga kita adalah dengan memanfaatkan masyarakat sekitar. Kita libatkan untuk patroli, monitoring badak. Gitu," imbuh Anggodo.
Anggodo bilang, telah mengajukan pengadaan pegawai aparatur sipil negara (ASN) baru. Untuk kebutuhan penempatan di lapangan, saat ini Balai TNUK butuh tambahan ASN setidaknya sebanyak 20 orang. Ia berharap pegawai tambahan untuk Balai TNUK itu memiliki latar belakang ilmu kehutanan, biologi dan kedokteran hewan.
"Dan lebih banyak sarjana baru untuk membantu petugas kita yang semakin besar memasuki usia pensiun. Minimal (tambahan pegawai) 10 sampai dengan 20 orang. Tahun 2020 pensiun 6 orang, 2021 pensiun 12 orang, 2022 pensiun 5 orang, tahun ini 7 orang," terang Anggodo.
Di lain kesempatan, Humas Balai TNUK, Andri Firmansyah, juga mengakui Balai TNUK memang kekurangan SDM untuk konservasi badak jawa, dan menurut dia permasalahan ini bukanlah hal yang tabu untuk dibahas.
Andri bilang, meskipun sebaran badak jawa berada di bagian semenanjung Ujung Kulon dan masuk dalam wilayah kerja Seksi Pengelolaan Taman Nasional (SPTN) Wilayah II, tetapi dalam pelaksanaan kegiatan konservasi badak jawa, SPTN Wilayah II juga dibantu para personel dari SPTN Wilayah I, SPTN Wilayah III dan Balai TNUK.
"Terkait dengan SDM yang ada di TNUK, memang kekurangan dan bukan hal tabu mas, kami sudah sering sampaikan ini kok. Tapi dalam hal pengelolaan badak seperti yang pernah saya sampaikan, TN dibantu oleh para mitra yang untuk pengelolaannya, seperti IRF (International Rhino Foundation), YABI dan Alert serta mitra lainnya," ujar Andri, Senin (1/5/2023).
Berdasarkan data Statistik Direktorat Jenderal (Ditjen) Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem (KSDAE) Tahun 2021, tenaga pengamanan hutan yang ada di TNUK totalnya sebanyak 146 orang, terdiri dari 12 orang Polisi Hutan (Polhut), 1 Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS), 85 THPL dan 48 MMP.
Dari komposisi tersebut tampak lebih dari 90 persen tenaga pengamanan hutan di TNUK tidak bersifat permanen, karena statusnya bukanlah pegawai ASN Balai TNUK--mengacu pada TPHL dan MMP.
Tak Ada SRAK, Surat Edaran pun Jadi
Pelaksanaan rencana konservasi badak jawa sempat kehilangan arah dan pedomannya. Terutama setelah Strategi Rencana Aksi Konservasi (SRAK) Badak Indonesia berakhir pada 2017 lalu, dan tidak ada SRAK lanjutannya.
Berbeda dengan badak sumatera (Dicerorhinus sumatrensis) yang sempat dibuatkan Rencana Aksi Darurat (RAD) Penyelamatan Populasi, berlaku 2018 hingga 2021, yang setidaknya menjadi kerangka kerja untuk berbagai program dan kegiatan konservasinya. Arah rencana konservasi badak jawa pasca-SRAK tidak ada panduannya.
Tidak ada rencana aksi, arahan ataupun pedoman lainnya, yang diterbitkan untuk menggantikan atau mengisi kekosongan kebijakan strategis konservasi dari pemerintah khusus untuk badak jawa. Walhasil, pelaksanaan rencana konservasi badak jawa selama beberapa tahun terakhir nyaris tak ada akselerasinya.
Hingga pada 21 Maret 2023 lalu Direktur Jenderal (Dirjen) Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem (KSDAE) mengeluarkan Surat Edaran Nomor: SE.3/KSDAE/KKHSG/KSA.2/3/2023 tentang Arahan Pelaksanaan Kegiatan Prioritas Pengelolaan Badak Jawa. Namun, Surat Edaran dimaksud dianggap memiliki kekurangan dibanding SRAK.
Peneliti Auriga Nusantara, Riszki Is Hardianto mengatakan, SRAK Badak Indonesia dibuat untuk memastikan upaya konservasi badak yang sudah terkelola, dapat berjalan lebih baik dan lebih kuat untuk ke depannya, minimal dalam waktu 10 tahun periode SRAK.
"Sangat disayangkan bila SRAK ini tidak dilanjutkan, karena dengan adanya SRAK mampu menekan laju kepunahan dan memberikan arahan dalam upaya konservasi dalam jangka waktu yang cukup panjang," kata Riszki, Rabu (3/5/2023).
Riszki mengatakan, pelaksanaan SRAK Badak Indonesia belum bisa dianggap berhasil. Riszki mencatat, ada target tujuan dan sasaran konservasi badak jawa yang belum tercapai dalam periode pelaksanaan SRAK Badak 2007-2017, sehingga tidak tepat bila SRAK Badak Indonesia tidak dilanjutkan. Salah satunya adalah soal second habitat (habitat kedua) atau second population (populasi kedua).
"Sebagai contoh pada rencana second habitat atau rumah kedua badak jawa yang sudah direncanakan sejak awal 1990-an, dan dipertegas dalam SRAK Badak Indonesia 2007-2017, belum juga didapatkan calon lokasinya di mana," kata Riszki.
Padahal, imbuh Riszki, seluruh pakar sepakat badak jawa butuh rumah baru. Alasannya, karena peningkatan populasi lebih lanjut di dalam TNUK tidak mungkin dilakukan, sebab daya dukung untuk badak sudah hampir jenuh. Sedangkan perluasan populasi di luar batas TNUK juga tidak memungkinkan, karena daerah-daerah di sekitarnya telah sepenuhnya ditempati oleh manusia.
Riszki berpendapat, aturan kebijakan konservasi badak jawa saat ini juga turun kelas. Sebelumnya, kebijakan konservasi badak jawa melalui SRAK diikat menggunakan peraturan menteri (Peraturan Menteri Kehutanan Nomor. P.43/Menhut-II/2007), namun kini hanya dibungkus dengan surat edaran (Surat Edaran Nomor: SE.3/KSDAE/KKHSG/KSA.2/3/2023) dari Dirjen KSDAE.
"Padahal harusnya upaya konservasi badak perlu keseriusan yang sangat tinggi dari semua pihak termasuk KLHK. Tapi ini level arahan strateginya malah diturunkan, yang sebelumnya SRAK itu di menteri, sekarang lewat SE (surat edaran) hanya di level Dirjen KSDAE, macam enggak terlalu menganggap penting upaya konservasinya," hemat Riszki.
Betahita mencoba membandingkan bobot antara SRAK Badak Indonesia dan Surat Edaran Arahan Pelaksanaan Kegiatan Prioritas Pengelolaan Badak Jawa. Tampak SRAK jauh lebih terukur karena memiliki target, tujuan dan sasaran yang jelas. Hal yang tidak dipunyai Surat Edaran.
Dalam SRAK Badak Indonesia 2007-2017, peran para pihak yang terlibat dalam konservasi badak jawa, termasuk kelompok masyarakat sipil dan perguruan tinggi, juga jelas pembagiannya. Bahkan dalam SRAK, kebutuhan dana tiap program kegiatan yang akan dikerjakan selama periode pelaksanaan SRAK juga cukup terestimasikan.
Sementara itu, pada Surat Edaran Arahan Pelaksanaan Kegiatan Prioritas Pengelolaan Badak Jawa, pembagian peran dan tanggung jawab para pihak, estimasi kebutuhan anggaran pelaksanaan tiap kegiatan strategis dan sumber pendanaannya, tidak diuraikan. Padahal arahan strategis Surat Edaran ini berlaku hingga 2029, waktu yang cukup panjang untuk sebuah arahan strategis yang tidak memiliki target dan ukuran yang jelas.
SHARE