Menerka Angka Badak Jawa yang Sebenarnya
Penulis : Kennial Laia
Badak
Kamis, 13 April 2023
Editor : Sandy Indra Pratama
BETAHITA.ID - Sejak 20 September 2020, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar konsisten mengabarkan kelahiran anak badak jawa di akun Instagram pribadinya @siti.nurbayabakar. Seiring itu sang menteri juga menyampaikan jumlah populasi termutakhir satwa yang terancam punah tersebut, yang kini hanya bisa ditemui di Taman Nasional Ujung Kulon, Banten.
Menteri Siti terakhir menyampaikan pertumbuhan angka badak jawa (Rhinoceros sondaicus) September lalu, sebanyak 77 individu. Data ini diperoleh dari kamera-deteksi, yang dikelola oleh Balai Taman Nasional Ujung Kulon sejak 2011. Namun laporan investigatif terbaru Yayasan Auriga Nusantara, organisasi lingkungan dan sumber daya alam, mengungkap indikasi terjadinya penurunan populasi serta kabar kematian yang tidak terpublikasi.
Laporan yang dirilis Selasa, 11 April 2023 itu mengungkap, sebanyak 17 individu badak tidak terekam kamera-deteksi sejak 2020, dan pada 2021 jumlah yang tidak terdeteksi menjadi 18 individu, terdiri atas sembilan betina dan sembilan jantan. Namun Auriga menemukan bahwa individu yang “hilang” ini tetap dihitung dalam data populasi terkini oleh KLHK. “Menjadi pertanyaan penting bagaimana angka-angka yang diumumkan tersebut dihasilkan,” tulis laporan tersebut.
“Bahwa tujuh dari 15 badak yang tidak terekam tersebut adalah betina. Kehilangan betina sebanyak itu pada populasi kecil adalah kehilangan yang sangat besar,” tambah laporan tersebut.
“Selama ini terkesan ada glorifikasi (KLHK) pada setiap temuan anak baru badak jawa,” kata Timer Manurung, Ketua Yayasan Auriga Nusantara dan penulis utama laporan. “Namun sebenarnya ada masalah yang lebih mengkhawatirkan, yakni pengelolaan taman nasional Ujung Kulon yang sedang salah arah,” tambahnya.
Investigasi yang dilakukan oleh Auriga, banyak dari narasumber anonim di KLHK, Balai TNUK, dan konservasionis badak jawa, menemukan bahwa tiga dari 18 individu itu ditemukan mati. Mereka adalah badak Puspa (betina) dan Wira (jantan) ditemukan mati pada 2021. Sementara itu badak Febri (betina) ditemukan mati pada 2020.
Timer mengatakan, sistem kamera-deteksi untuk badak jawa di Taman Nasional Ujung Kulon adalah salah satu yang paling sistematis di Indonesia. Artinya, ada kemungkinan kecil bahwa kamera tersebut tidak mampu mendeteksi badak jawa yang melewati koridor. Ini karena badak jawa juga cenderung melewati koridor yang sama.
Auriga menduga badak jawa yang tidak terekam tersebut telah mati, baik oleh penyakit maupun perburuan. Namun Timer berharap bahwa asumsi itu tidak benar terjadi di lapangan.
“Masih ada harapan bahwa kita bisa menemukan beberapa individu lagi. Tidak mungkin badak sebanyak itu hilang. Tapi yang paling kita khawatirkan adalah adanya pemburu masuk,” kata Timer, sembari menambahkan kemungkinan pengolahan data yang tidak sesuai.
Namun kesenjangan data populasi badak jawa antara 2011 dan Agustus 2022 ini sulit dihiraukan. Laporan Auriga menemukan bahwa KLHK selalu merilis jumlah populasi badak jawa lebih banyak dari yang terekam kamera, kecuali tahun 2014.
Betahita menganalisis perbedaan jumlah ini tidak terlalu signifikan. Dalam rentang 2011-2018, misalnya, gap jumlah antara terdeteksi kamera dan publikasi KLHK berkisar pada satu hingga 10 individu. Namun pada 2019, gap ini melebar menjadi 13 individu.
Perbedaan paling signifikan terlihat sejak 2020 hingga Agustus 2022, yakni 39, 20, dan paling besar pada Agustus 2022 sebanyak 43 yang tidak terekam kamera.
Dok. Auriga Nusantara
Riszki Is Hardianto, peneliti spesies Auriga Nusantara dan tim penulis laporan tersebut mengatakan, keberadaan gap sangat wajar dalam range populasi. Namun pihaknya mulai mempertanyakan ketika perbedaan itu menjadi sangat jauh, yakni ketika KLHK mengumumkan populasi 77 individu, sementara yang terdeteksi kamera hanya 34 individu.
“Ini bisa menjadi salah satu indikasi bahwa terjadi penurunan populasi badak jawa di Ujung Kulon,” kata Riszki. Dia menambahkan bahwa Auriga juga menemukan penyusutan kantong badak di taman nasional, yang mengindikasikan pengurangan sebaran satwa tersebut.
Menurut Riszki, perbedaan data tersebut dipengaruhi oleh metodologi penghitungan populasi yang digunakan. Dalam laporan tersebut, Auriga bersandar pada metode saintifik yang banyak digunakan yakni kamera-deteksi.
Sementara itu KLHK dan Balai Taman Nasional Ujung Kulon melakukan penghitungan jumlah individu badak jawa di Taman Nasional Ujung Kulon dilakukan dengan cara menambahkan apabila terdapat kelahiran atau teridentifikasi individu baru. Pengurangan dilakukan jika ditemukan kematian dengan verifikasi bangkai atau bukti lain seperti tulang belulang.
Metode yang berbeda ini kemudian memengaruhi jumlah badak jawa yang dirilis dalam laporan (terdeteksi kamera) dan publikasi KLHK.
Sayangnya, kondisi badak jawa yang digambarkan di laporan tersebut jarang terekspos ke publik. Auriga mencatat, KLHK maupun Balai Taman Nasional Ujung Kulon tidak mengumumkan kematian badak Febri, Wira, maupun Puspa yang terjadi pada 2020-2021.
“KLHK seolah tidak mau menerima kabar buruk, dan fokus pada berita kelahiran supaya pengelolaan terlihat baik-baik saja agar bagus citranya. Kalau kematian lebih sensitif karena menandakan adanya penurunan populasi,” kata Riszki.
Riszki mendorong agar KLHK dan Balai Taman Nasional Ujung Kulon menerapkan transparansi publik dalam upaya konservasi badak jawa. “Transparansi data sangat penting dalam pengelolaan satwa liar. Jika data disembunyikan jelas bahaya karena bisa jadi dalam penentuan kebijakan pengelolaannya tidak tepat guna karena menggunakan data yang kurang tepat,” kata Riszki.
“Transparansi juga bisa mengundang banyak pihak untuk terlibat dalam upaya perlindungan dan pelestarian itu sendiri,” pungkas Riszki.
Dok. Auriga Nusantara
Di balik kisah terbitnya laporan investigatif milik Auriga Nusantara ini terselip persoalan menarik. Persoalan semodel apa? Auriga menilai, seperti tercantum dalam laporannya, ada fenomena ketidakleluasaan para pihak yang berkecimpung dalam upaya konservasi badak jawa. Ada berbagai istilah kekhawatiran yang merebak di internal kalangan, bahwa setiap informasi yang beredar mengenai badak jawa, memiliki konsekuensi tersendiri.
Semisal, persis seperti yang juga betahita temukan di kalangan pelaku konservasi, kekhawatiran semacam “di-Timbul-kan” bagi birokrat atau pegawai KLHK; “di-WWF-kan” bagi kelompok masyarakat sipil; dan “di-Erik-kan” bagi akademisi.
Di-Timbul-kan adalah kejadian yang menimpa Timbul Batubara, saat itu Kepala Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Papua, yang
dipindah seketika oleh atasannya, konon karena menandatangani kerja sama dengan WWF Indonesia yang sedang tidak disukai Menteri LHK; di-WWF-kan adalah pemutusan kerja sama secara sepihak oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dengan WWF Indonesia, dan bahkan disertai tindakan-tindakan lainnya yang cenderung menghalang-halangi aktivitas WWF Indonesia; sedang di-Erik-kan adalah kejadian yang menimpa Erik Meijaard dan kawan-kawan yang dilarang melakukan penelitian di kawasan hutan Indonesia (baca: yang dikelola Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan).
Oleh Karenanya, demi menjaga keselamatan mereka, terutama keselamatan pekerjaan yang imbasnya pada kelangsungan hidup badak jawa, maka nama-nama tokoh yang diwawancara berikut sumber-sumber data akan ditampilkan secara anonim, dan disebut “ISTIMEWA”, dalam publikasi Auriga Nusantara.
Respons KLHK
Kepala Biro Humas KLHK Nunu Anugerah mengonfirmasi terdapat 15 individu badak jawa yang tidak terekam pada 2021. Sehingga yang terekam pada tahun tersebut adalah 61 individu dari 76 yang terdata.
Dua dari 15 individu ini kembali terdeteksi kamera pada 2022, yakni badak Melati bersama anaknya dan badak Silva.
“Ke-15 individu yang belum terekam tidak bisa langsung disimpulkan mati atau hilang. Karena hingga saat ini belum ada temuan bukti kematian badak. Kemungkinan besar badak tersebut menghindar dari gangguan yang terjadi di dalam kawasan, sehingga mencari jalur yang lebih aman,” kata Nunu melalui pesan percakapan kepada Betahita, Rabu, 12 April 2023.
Nunu juga mengonfirmasi terjadi kematian badak jawa yang terjadi pada rentang 2018-2021. Pada 2018, satu individu badak jawa mati ditemukan mati pada 23 April 2018. Tahun berikutnya, badak Manggala ditemukan mati pada 21 Maret 2019.
Tiga badak ditemukan mati dalam rentang 2020-2021. Pada 5 Februari 2020, tim patroli Taman Nasional Ujung Kulon menemukan tulang belulang badak, yang diduga bernama Febri. Lalu pada Februari 2021, kembali ditemukan dua pasang tulang belulang badak jawa yang diidentifikasi bernama Wira dan Puspa.
Nunu mengatakan, kematian badak Samson dan Manggala kesimpulan bukan akibat perburuan, melainkan karena adanya kelainan dalam pencernaan dan usia. Sementara itu Febri, Wira, dan Puspa masih memerlukan “pemeriksaan menggunakan ekstrak DNA untuk menyimpulkan penyebab kematian.”
“Namun dapat dipastikan kematian yang terjadi bukan akibat perburuan karena bagian tubuh yang ditemukan masih lengkap,” ungkap Nunu.
SHARE