Praktik Bisnis Cela di Batang Toru
Penulis : Aryo Bhawono
SOROT
Selasa, 28 Februari 2023
Editor : Sandy Indra Pratama
BETAHITA.ID - Proyek PLTA Batang Toru dikembangkan dan dioperasikan oleh PT North Sumatera Hydro Energy (NSHE). PLN duduk sebagai investor nasional utama dengan kepemilikan saham 25 persen melalui PT Pembangkit Jawa Bali Investasi (PJBI).
Awalnya PLN melibatkan anak perusahaannya, PT Pembangkit Jawa Bali (PJB) pada 2015. Pada Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) PT PJB Desember 2016, proyek ini dialihkan kepada PJBI selaku anak perusahaan PT PJB (cucu perusahaan PLN).
Keterlibatan pemerintah Cina dalam proyek ini dilakukan melalui anak perusahaan BUMN negara itu, State Development and Investment Corporation (SDIC), yakni SDIC Power. Mereka mengantongi 70 persen saham NSHE dan duduk sebagai mayoritas pemilik saham.
PLTA Batang Toru direncanakan beroperasi pada 2022 namun menghadapi berbagai kendala hingga mundur pada 2026. Kendala paling berpengaruh adalah hengkangnya pendana, Bank of China, akibat kritik atas ancaman habitat orangutan tapanuli (Pongo tapanuliensis) di lokasi proyek pada Maret 2019.
Dirjen Ketenagalistrikan Rida Mulyana meninjau kemajuan proyek PLTA Batang Toru di Kabupaten Tapanuli Selatan, Sumatera Utara yang berkapasitas 510 MW (4x127,5 MW) dan merupakan salah satu proyek pecepatan pembangkit listrik 35.000 MW. Kredit Foto: akun twitter @infogatrik.
Risiko Hilangnya Investasi
Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) Pengelolaan Independent Power Producer (IPP) Tahun 2016 hingga Semester I Tahun 2020 bahkan mencatat praktik bisnis buruk PLN di proyek ini hingga merisikokan hilangnya investasi.
Proyek PLTA Batang Toru diperkirakan menelan biaya 1,68 miliar Dolar AS. Sebesar 75 persen pembangunan akan dibiayai pinjaman dan sisanya ditanggung oleh ekuitas yang disuntikkan para pemegang saham, termasuk PLN dan SDIC Power.
Laporan BPK menyebutkan kepemilikan 25 persen saham PT NSHE mewajibkan PLN untuk menyetor modal setidaknya sebesar 104,2 juta Dolar AS untuk pengembangan proyek itu. Jumlah suntikan modal tersebut melonjak 21 persen dari yang pertama kali dihitung pada tahun 2014, perusahaan hanya diharuskan membayar 86,8 juta Dolar AS.
BPK tidak memperoleh dokumen pembahasan atau evaluasi penggunaan setoran modal ini dalam RUPS NSHE maupun RUPS PJB. Sementara suntikan dana PLN mencapai 76,3 juta Dolar AS (73 persen) dari komitmen pendanaan hingga 2020.
Pelang Proyek Pembangunan PLTA Batang Toru di Sumatera Utara. Proyek ini dianggap membahayakan habitat serta mengancam orangutan tapanuli. Kredit foto: akun twitter @infogatrik.
Kemajuan proyek pembangunan PLTA Batang Toru pun jauh dari target. BPK mencatat per Oktober 2020, progres pembangunan hanya sekitar 11 persen, jauh dari target 78,98 persen.
Sementara hasil konfirmasi BPK kepada Direksi NSHE menyebutkan pertimbangan kondisi over supply tenaga listrik tahun 2020, PLN dan perusahaan itu sepakat memundurkan rencana Commercial Operation Date (COD) dari 31 Juli 2022 menjadi 31 Desember 2026.
“Hal tersebut mengakibatkan PLN tidak dapat mengukur kewajaran dan efektivitas investasi
PJB melalui PJBI pada PLTA Batang Toru, serta timbulnya risiko kehilangan investasi
tersebut,” tulis BPK dalam LHP itu.
Selain itu BPK menyebutkan PLN telah melanggar Peraturan Menteri BUMN No 1/2011 tentang tata kelola perusahaan yang baik dan peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam proses pelibatan PT PJB. Pelibatan anak perusahaan ini dilakukan tanpa persetujuan dari rapat pemegang saham dan diskusi internal di antara direksi.
PLN tak memberikan tanggapan terkait pertanyaan yang diajukan tim kolaborasi mengenai LHP BPK ini.
Pembangunan terowongan PLTA Batang Toru di Sumatera Utara. Rencananya terowongan ini akan dipakai sebagai jalan air. Proyek peledakan proyek ini dilakukan ioleh PT Dahana. Kredit foto: website PT Dahana.
Potensi Kerugian Perekonomian Negara
Direktur Penegakan Hukum Yayasan Auriga Nusantara, Roni Saputra, menyebutkan kelebihan setoran modal PLN, melalui cucu perusahaannya, merupakan indikasi potensi kerugian perekonomian negara. Temuan ini seharusnya ditindaklanjuti oleh penegak hukum.
Proyek ini memang tidak menggunakan uang negara, melainkan kelompok perusahaan BUMN, yakni PLN melalui PT PJBI. Makanya potensinya kerugiannya ada pada perekonomian negara, dan dapat ditindaklanjuti dengan UU Korupsi.
“Ini kaitannya dengan kerugian perekonomian negara makanya dapat didalami dengan UU Korupsi,” ucapnya.
Koordinator Divisi Politik ICW, Egi Primayogha, menyebutkan kurangnya akuntabilitas PLN dapat ditindaklanjuti oleh institusi penegak hukum berdasarkan Undang-Undang Korupsi. Laporan BPK mengungkapkan bahwa PLN menunjuk NSHE secara langsung sebagai pengembang PLTA Batang Toru, yang pada tahun 2015.
Terowongan yang dibangun di PLTA Batang Toru. Rencananya terowongan ini akan dipakai sebagai jalan air yang menggerakkan turbin PLTA Batang Toru. Kredit foto: akun twitter @infogatrik.
Perusahaan itu dimiliki oleh PT Dharma Hydro Nusantara (DHN) yang berbasis di Jakarta dan Fareast Green Energy (FEGE) yang berbasis di Singapura. Padahal keduanya tidak memiliki pengalaman dalam membangun bendungan.
"Ini skema yang sama dengan yang dipakai mayoritas terpidana kasus korupsi menggunakan skema ini," kata Egi.
Perjanjian antara NSHE dan PLN ditandatangani saat Sofyan Basir masih menjabat sebagai Direktur Utama PLN. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkannya sebagai tersangka dalam kasus korupsi PLTU Riau-1 pada tahun 2019. Dia diadili tetapi pengadilan tidak menyatakan dia bersalah dan kemudian membebaskannya.
Juru bicara PLN Gregorius Adi Trianto mengatakan bahwa perusahaan telah mematuhi peraturan dan penunjukan langsung kepada NSHE telah disetujui oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) pada tahun 2013.
NSHE tidak menanggapi permintaan wawancara dan pertanyaan yang dikirimkan kepada perusahaan.
Peta aliran Sungai Batang Toru yang akan dimanfaatkan PLTA Batang Toru di pelang proyek pembangunan. Pemanfaatan sungai di ekosisitem sebagai PLTA ini dianggap membahayakan orangutan tapanuli karena sungai itu menjadi tempat pertemuan satwa. Kredit Foto: Vincent Fabian Thomas/ Tim kolaborasi.
Desain Mahal Listrik Mahal
PLTA Batang Toru di desain menjadi pembangkit listrik peaker yang hanya dijalankan pada saat permintaan listrik mencapai puncak tertinggi dalam sehari. Pembangkit ini memiliki fungsi yang berbeda dengan pembangkit listrik base load yang dapat beroperasi penuh.
Alhasil listrik yang dihasilkan oleh PLTA peaker memiliki harga lebih tinggi, yakni 12,8 sen dolar AS per kilowatt hour (KWh). Harga ini jauh lebih tinggi dibandingkan dengan PLTA baseload yang memiliki harga antara 3 dan 4 sen dolar AS per KWh.
BPK pun membandingkan harga listrik PLTA Batang Toru dengan PLTA lainnya, yakni PLTA Poso di Sulawesi Tengah dengan kapasitas 515 MW dihargai 7,4 sen dolar AS per KWh, sementara PLTA Merangin di Jambi dengan kapasitas 350 MW dihargai 10,7 sen dolar AS per KWh.
Laporan BPK juga menyebutkan harga HPP Poso masih dapat diturunkan menjadi 6,48 sen dolar AS per KWh jika Internal rate of return disesuaikan dengan standar PLN, yang akan mencegah PLN dari pemborosan lebih dari Rp 6,5 triliun dalam waktu tiga dekade kontrak.
Selain soal mahalnya harga, selama ini PLN juga membangun PLTU di tengah oversupply pasokan listrik di Sumatera. Artinya produksi listrik di pulau itu mubazir.
Kondisi bukaan lahan dalam proyek pembangunan PLTA Batang Toru di Tapanuli Selatan, Sumatera Utara. Kredit foto: Yudi Nofiandi/Auriga Nusantara
Laporan Brown Brothers Energy and Environment, LLC (B2E2) bersama Auriga Nusantara, dan Trend Asia berjudul ‘Analisis Kebutuhan Listrik di Provinsi Sumatera Utara dan Dampak Rencana Pembangkit Listrik Tenaga Air Batang Toru 2020’ menyebutkan sejak 2017 listrik di Sumatera Utara telah mengalami surplus.
Pada tahun 2022, Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PLN memperkirakan energi listrik di Sumatera mencapai 48.633 gigawatt hour (GWh). Dengan produksi ini terdapat kelebihan pasokan sebesar 7.292 GWh. Kelebihan pasokan ini diperkirakan meningkat menjadi 10.000 GWh dalam satu dekade mendatang.
"Masalahnya ketika PLTA ini selesai dibangun, permintaan justru tidak sebanyak yang diharapkan. PLN pun harus membeli listrik, meskipun tidak terpakai," Elrika Hamdi, analis energi di Institute for Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA).
PLN sendiri telah memangkas proyeksi permintaan tahunan rata-rata di Sumatra menjadi hanya 6,56 persen di RUPTL terbaru dari sebelumnya 7,9 persen.
Juru Kampanye Energi Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Dwi Sawung, menyebutkan selama ini perjanjian jual beli justru merugikan PLN karena kewajiban pembelian listrik meski tidak terpakai.
“Ini merugikan PLN dan bebannya biasanya ke konsumen,” jelasnya.
Elrika menyebutkan salah satu solusi adalah mengubah desain proyek agar PLTA Batang Toru berfungsi sebagai pengganti pembangkit listrik tenaga batu bara baseload yang akan dihapuskan oleh pemerintah. Namun ia ragu karena dua jenis model pembangkit listrik ini memiliki sangat berbeda.
Sawung menambahkan bahwa jika perubahan itu terjadi, kapasitas listrik akan jauh lebih rendah dari 510 MW karena sifat sungai Batang Toru yang tidak menghasilkan banyak arus seperti PLTA lainnya di Indonesia.
Executive Vice President Komunikasi Korporat dan TJSL PLN, Gregorius Adi Trianto, menyebutkan sistem kelistrikan Sumatera telah saling terhubung. PLN saat ini akan meningkatkan permintaan listrik dengan menargetkan sektor pertanian dan industri sehingga mereka tidak perlu membangun pembangkit mereka sendiri.
"Bendungan Batang Toru akan dioperasikan sebagai pembangkit puncak untuk mengurangi dan menggantikan peran pembangkit listrik tenaga gas dan diesel dengan biaya yang jauh lebih kompetitif," katanya.
Liputan ini merupakan kolaborasi Betahita, The Jakarta Post, CNN Indonesia, KBR 68H, Jaring.id, SIEJ, dan dukungan riset serta olah data Auriga Nusantara.
Penanggung Jawab:
Sandy Indra Pratama
Tim Produksi:
Penulis: Aryo Bhawono
Riset dan Olah Data: Hafid Azi Darma
Desain: Robby Eebor
Web Developer: Faizal Dinar Alfaqih
SHARE