Catatan Kasus Ekologi di 7 Wilayah di Jatim Sepanjang 2022
Penulis : Raden Ariyo Wicaksono
Ekologi
Senin, 23 Januari 2023
Editor : Sandy Indra Pratama
BETAHITA.ID - Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jawa Timur (Jatim) merekam 121 kasus ekologi yang terjadi di 7 wilayah krisis di Jatim sepanjang 2022 lalu. 7 wilayah krisis itu meliputi Tapal Kuda, Pesisir Selatan, Malang Raya, Surabaya Raya, Mataraman, Pantura dan Madura Kepulauan.
Berdasarkan pantauan Walhi Jatim, hampir di seluruh wilayah itu terdapat bencana ekologis. Bencana ekologis di sini, dimaknai bukan hanya sekedar bencana iklim atau orang awam mengatakan sebagai bencana alam. Tetapi aneka bencana, baik yang sifatnya karena krisis iklim maupun seolah-olah alami.
"Kami justru melihat aneka bencana yang menjadi beban bagi dari warga merupakan dampak dari eksploitasi atas alam, terutama melalui modal, kekuasaan dan hegemoni yang terus menerus dilakukan," kata Wahyu Eka Styawan, Direktur Eksekutif Daerah Walhi Jatim, Rabu (18/1/2023).
Wahyu merinci, 121 kasus ini terdiri dari 13 kasus tata ruang (termasuk permasalahan tumpang tindih), 24 kasus tambang (mencakup tambang emas, galian C dan tambang di wilayah karst), 36 kasus hutan dan kebun (meliputi konflik pengelolaan hutan dan perampasan lahan oleh perkebunan dan perusahaan), dan 48 kasus lainnya (seperti pencemaran sungai, pencemaran udara, problem sampah dan lain sebagainya). Beberapa kasus ekologi tersebut tersaji dalam Catatan Kolaborasi di 7 Wilayah Krisis Jawa Timur Sepanjang Tahun 2022 yang dibuat Walhi Jatim dan LBH Surabaya.
Di Kota Batu, menurut hasil rekaman Walhi Jatim, Revisi Peraturan Daerah (Perda) tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) membuahkan pertanyaan bagi beberapa warga yang memiliki kesadaran terkait dampak aturan dan keberlanjutan lingkungan, khususnya air.
Karena bagi beberapa warga, rencana revisi yang dilakukan Pemerintah Kota (Pemkot) Batu bukan untuk melindungi lahan hijau tersisa atau sumber mata air di Kota Batu. Justru, aturan tersebut seolah-olah menormalisasikan pelanggaran tata ruang yang sudah ada dan bahkan memiliki kecenderungan memberikan kemudahan akses pada investor terutama pada sektor jasa.
"Hal ini terlihat melalui proses pembuatan kebijakan yang tidak partisipatif dan peka terhadap lingkungan hidup Kota Batu, sebagaimana yang dikeluhkan oleh warga. Kemudian, beberapa warga bersama Walhi Jawa Timur serta simpul masyarakat sipil di Malang Raya mulai menyuarakan revisi tersebut, karena sejak awal tidak terbuka dan sangat tertutup."
Wahyu menyebut Perda RTRW Kota Batu berbahaya. Karena Perda tersebut beberapa di antaranya berpotensi menghilangkan tiga jenis kawasan lindung, mereduksi kawasan lindung, mengurangi jumlah kawasan sempadan mata air, mengurangi besaran sempadan sungai, menghilangkan kawasan cagar budaya dan mengalihfungsikan kawasan hutan lindung menjadi hutan produksi.
Di Kota Surabaya, Waduk Sepat terancam ekpansi perumahan yang dioperatori Ciputra Kirana Dewata (dahulu Ciputra Surya) terhitung sejak 2008. 13 tahun sudah warga setempat melakukan upaya penyelamatan Waduk tersebut.
Hingga saat ini praktik perampasan ruang hidup di Kelurahan Lidah Kulon, Kecamatan Lakarsantri, Kota Surabaya masih berlanjut. Perlu diketahui konflik ini bermula ketika pada 30 Desember 2008 Walikota Surabaya menerbitkan Surat Keputusan Nomor: 188.451.366/436.1.2/2008 tentang Pemindahtanganan aset dengan cara tukar menukar terhadap aset Pemerintah Kota Surabaya berupa tanah eks ganjaran atau bondo deso di beberapa wilayah Surabaya Barat, salah satunya di Lidah Kulon yakni Waduk Sepat.
"Warga dengan segala upaya tetap melakukan perlawanan untuk mempertahankan Waduk Sepat yang memiliki nilai sejarah serta penanda keberadaan kampung mereka. Secara kultural Waduk Sepat memiliki ikatan yang kuat dengan warga sekitar," terang Wahyu.
Di Kabupaten Banyuwangi, hampir lebih dari satu dekade petani Bongkoran yang tergabung dalam Organisasi Petani Wongsorejo Banyuwangi (OPWB), Banyuwangi, memperjuangkan pengakuan atas tanah. Mereka memperjuangkan lahan seluas sekitar 231 hektare lahan. Lahan tersebut merupakan lahan pertanian dan permukiman, dengan rincian 220 hektare lahan pertanian dan 11 hektare pemukiman, sejak 1930-1940-an.
Total ada sekitar 900 jiwa/287 KK yang mendiami wilayah tersebut. Dalam perjalanannya, warga Kampung Bongkoran dihadapkan dengan munculnya HGU atas nama PT Wongsorejo yang akan mengusahakan perkebunan kapuk seluas 603 hektare pada 1970-an.
Selekas masa berlaku HGU habis pada 2012, warga dihadapkan oleh perlakuan semena-mena, Badan Pertanahan Nasional (BPN) kembali memberikan Hak Guna Bangunan (HGB) kepada PT Wongsorejo, dengan luasan 487 hektare dan 60 hektare untuk mantan pekerja perkebunan. Lahan petani Bongkoran seluas 231 hektare juga masuk dalam izin pengusahaan tersebut.
"Pemberian HGB ini memicu konflik antara petani dan perusahaan. Imbasnya satu petani terkena tembakan dan empat petani dipenjara selama dua hingga 20 hari tanpa proses persidangan pada 2001. Lalu pada 2014, bentrokan kembali terjadi dan mengakibatkan tiga petani bongkoran ditangkap dan dijatuhi hukuman empat bulan dan 15 hari penjara."
Konflik lahan juga terjadi di Kabupaten Pasuruan. Pada 20 April 2022, warga Desa Balunganyar, Kecamatan Lekok, Kabupaten Pasuruan, dikagetkan oleh ‘bom’ nyasar dari Pusat Latihan Tempur TNI AL, Grati, Pasuruan. ‘Bom’ tersebut mengakibatkan dua rumah warga desa yang terletak di Dusun Tegalan rusak parah.
Sebelumnya pada 19 November 2019 warga Desa Wates, Kecamatan Lekok juga merasa takut karena mendengar rentetan suara senjata api di tengah permukiman mereka. Saat itu pihak militer sedang melakukan kegiatan latihan tempur yang melewati permukiman warga.
Masih di tahun yang sama pada Agustus, warga Desa Sumberanyar, Kecamatan Grati harus berhadapan dengan pihak TNI AL yang melakukan pemagaran paksa pada lahan yang dikuasai warga dan mengakibatkan kerusakan pada lahan-lahan tersebut.
"Peristiwa-peristiwa ini menambah daftar panjang rangkaian kekerasan pihak militer terhadap warga 11 desa yang diklaim tanahnya oleh TNI AL sejak konflik itu muncul 1960-an."
Sedikit mengingat secara historis, klaim TNI AL atas wilayah 11 desa di tiga kecamatan yakni Grati (Desa Sumberagung), Nguling (Desa Sumberanyar) dan Lekok (Desa Branang, Balunganyar, Gejugjati, Wates, Semedusari, Jatirejo, Tampung, Pasinan, Alastlogo) Pasuruan. Akar konflik bermula saat TNI AL mengklaim atas wilayah tersebut sebagai kawasan yang diperuntukkan untuk latihan tempur.
Di Desa Pakel, Kecamatan Licin, Banyuwangi, warga masih berjuang mendapatkan hak pengelolaan tanah melawan kejamnya industrialisasi sektor perkebunan. Perjuangan Desa Pakel ini sudah berlangsung selama hampir satu abad, atau empat generasi.
Mereka memperjuangkan tanah yang semestinya menjadi hak kelola warga--dengan menduduki lahan--yang sebelumnya dirampas dan kini dikuasai perusahaan perkebunan PT Bumisari Maju Sukses (BMS). Aksi pendudukan lahan yang dilakukan oleh warga Pakel sejak 24 September 2020 hingga saat ini kembali berujung pahit.
Hingga November 2021, terdapat 11 warga Pakel yang kembali mengalami kriminalisasi. Bahkan 2 di antaranya telah ditetapkan menjadi tersangka oleh Polresta Banyuwangi dengan tuduhan telah menduduki kawasan secara ilegal di kawasan perkebunan PT BMS.
"Akibat negara abai menyelesaikan konflik agraria Desa pakel, dalam catatan Walhi Jatim sedikitnya sudah terdapat 13 Warga Pakel yang dikriminalisasi, hingga sekarang tidak mendapat kepastian hukum, seperti tiang-gantungan yang siap membungkam aspirasi warga Desa Pakel."
Perjuangan warga mempertahankan ekosistem lingkungan yang baik juga terjadi di Kabupaten Trenggalek. Di sana warga diresahkan oleh alih fungsi kawasan akibat pemberian izin konsesi tambang emas kepada PT Sumber Mineral Nusantara (SMN), yang luasnya sekitar 12.813,41 hektare, mencakup 9 kecamatan dari 14 kecamatan, yakni Suruh, Watulimo, Kampak, Dongko, Munjungan, Gandusari, Pule, Tugu dan Karangan.
Keresahan warga Trenggalek ini wajar. Karena menurut catatan Walhi Jatim, selama 1-20 Oktober 2022 lalu, hampir seluruh wilayah Trenggalek mengalami kejadian bencana seperti tanah longsor, banjir maupun tanah gerak. Artinya hampir keseluruhan wilayah telah mengalami bencana yang membuat keselamatan banyak makhluk terancam.
Jika mengutip dalam Perda Nomor 15 Tahun 2012 Pasal 49 ayat (1),(2),(3) dan (4) tentang Rencana Tata Ruang dan Wilayah Kabupaten Trenggalek menyebutkan, keseluruhan kecamatan yang berada di Trenggalek merupakan kawasan rawan bencana, baik itu tanah longsor, banjir dan gelombang pasang.
"Setidaknya selama 20 hari di lapangan, kami mencatat ada 98 titik kejadian tanah longsor, 24 titik kejadian banjir dan 7 titik tanah gerak yang terjadi."
Untuk diketahui, konsesi tambang PT SMN ternyata mengalami tumpang tindih dengan beberapa kawasan penting, seperti sekitar 6.951 hektare berada pada kawasan Hutan Produksi, 2.779 hektare di kawasan Hutan Lindung, lalu kurang lebih sekitar 804 hektare berada di permukiman, 660 hektare di perkebunan, tegalan dan ladang rakyat. Selain itu ada sekitar 1.032 hektare merupakan kawasan lindung karst, sementara 209 hektare merupakan zona merah rawan longsor.
Kembali ke Banyuwangi, warga yang tinggal di sekitar Gunung Tumpang Pitu dibayangi berbagai bencana ekologis. Selain ancaman tsunami, banjir lumpur juga tak kalah mengkhawatirkan terjadi di sana.
Sebab banjir lumpur telah berulang kali terjadi, seperti terjadi pada 2016, 2021 dan terakhir pada akhir 2022 lalu, dan telah menimbulkan beberapa persoalan lainnya. Persoalan lain dimaksud di antaranya telah membuat kawasan pesisir Pantai Pulau Merah dan sekitarnya berada dalam kondisi yang sangat mengenaskan.
Bahkan, akibat kerusakan itu, ditemukan sejumlah fakta bahwa beberapa jenis kerang, ikan dan biota laut lainnya mulai menghilang dari pesisir Sumberagung. Warga setempat menduga bencana lumpur itu bersumber dari rusaknya kawasan Gunung Tumpang Pitu akibat hadirnya kegiatan pertambangan Grup Merdeka Cooper Gold.
Jarak antara Gunung Tumpang Pitu dengan Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Pancer kurang lebih 8,3 km. Sementara jarak (calon) kolam penampungan limbah tambang ke TPI Pancer kurang lebih 6,7 km.
Sedangkan lokasi tambang itu sendiri berjarak kurang lebih 3 km dari pemukiman penduduk. Beberapa warga pun menuturkan jika keberadaan tambang emas membuat mereka cukup was-was dan khawatir. Pasalnya sejak adanya tambang, beberapa bencana mulai sering terjadi, salah satunya banjir jika dibandingkan dengan 10 tahun terakhir, terutama sebelum tambang beroperasi.
"Memang banjir itu pernah ada sebelum tambang, tapi intensitas dan daya rusaknya tidak separah saat tambang mulai beroperasi," ujar Wahyu.
Selain permasalahan bencana ekologis di wilayah-wilayah yang telah sedikit diuraikan sebelumnya, pembangkrutan ekologi terjadi pula di Madura Kepulauan. Di sana selama dua dekade terakhir, hampir seluruh wilayah pesisirnya telah dikaveling secara sepihak--tanpa pernah mendapat persetujuan dari masyarakat setempat--menjadi provinsi geologi dalam bentuk blok-blok minyak dan gas (migas) raksasa.
Kehadiran industri migas dan berbagai industri ekstraktif lainnya ini turut memicu sejumlah persoalan penting di wilayah pesisir, di antaranya memicu penurunan kualitas pesisir dan pulau-pulau kecil, penciutan kawasan tangkap nelayan tradisional, hilangnya sejumlah biota dan memicu perusakan kawasan terumbu karang.
Kemudian perampasan waktu produksi dan sosial nelayan tradisional, meningkatkan ongkos produksi untuk melaut bagi nelayan tradisional, dan meningkatkan migrasi orang-orang Madura ke luar pulau, karena penurunan kualitas lingkungan.
Selain krisis di atas--yang sebagian besar berdampak langsung terhadap kelompok nelayan tradisional, Walhi Jawa Timur juga mencatat sejumlah temuan terbaru di wilayah daratan besar Pulau Madura, khususnya di Sumenep.
"Di wilayah pesisir utara Sumenep misalnya, beberapa narasumber yang kami temui mengatakan bahwa telah terjadi penurunan pasir kering hingga 2 meter di kawasan pesisir pada rentang waktu 20 tahun terakhir yang memicu lenyapnya wilayah daratan pesisir hingga 150 meter," kata Wahyu.
Selain itu, untuk mendapatkan hasil tangkapan yang mencukupi, lanjut Wahyu, nelayan tradisional setempat mengatakan mereka kini harus melaut hingga 70-100 mil dari desa. Akibatnya, tidak sedikit nelayan tradisional terpaksa meninggalkan profesinya, dan beralih menjadi buruh maupun pedagang di luar Pulau Madura, hingga menjadi buruh migran di berbagai negara.
Temuan lainnya, semakin menguatnya rencana kegiatan pertambangan fosfat yang akan mengeksploitasi 18 kecamatan di seluruh Sumenep. Sungai-sungai dan beberapa sumber mata air juga telah mengalami penyusutan dan kekeringan secara permanen.
"Catatan-catatan di atas telah menunjukkan betapa masifnya perampasan ruang hidup warga, khususnya di Jawa Timur. Rekaman atas peristiwa yang kami tuliskan di atas hanya secuil dari aneka ragam perampasan yang selalu berujung eksklusi serta penderitaan bagi warga," tutup Wahyu.
SHARE