21 Spesies Mamalia Indonesia di Tepi Jurang Kepunahan
Penulis : Raden Ariyo Wicaksono
SOROT
Jumat, 20 Januari 2023
Editor : Sandy Indra Pratama
BETAHITA.ID - Banyak spesies di Indonesia di tepi jurang kepunahan. Seperti yang tercatat di International Union for Conservation of Nature (IUCN) Redlist, ada puluhan spesies di Indonesia yang status konservasinya masuk dalam kategori Critically Endangered (CR) atau Sangat Terancam Punah, satu langkah lagi dari Extinct in The Wild (EW) atau Punah di Alam.
Khusus untuk kelas mamalia dari kerajaan animalia atau satwa yang ada di Indonesia, setidaknya ada 21 spesies atau jenis satwa yang masuk dalam kategori Critically Endangered di Daftar Merah IUCN. Nama-nama satwa mamalia yang tidak asing di telinga, seperti orangutan tapanuli (Pongo tapanuliensis) dan badak jawa (Rhinoceros sondaicus), menjadi penghuni daftar Critically Endangered itu.
Selain jenis satwa mamalia, sejumlah spesies lainnya di Indonesia--termasuk jenis tumbuhan--juga tercatat ada dalam daftar spesies Critically Endangered IUCN Redlist. Spesies tersebut di antaranya, burung kedidi paruh sendok (Calidris pygmaea), hiu koboi (Carcharhinus longimanus), buaya siam (Crocodylus siamensis), penyu sisik (Eretmochelys imbricata) serta jenis tumbuhan berus mata buaya (Bruguiera hainesii) dan kantong semar daun kaku (Nepenthes rigidifolia).
"Untuk mamalia setidaknya ada 21 jenis satwa yang termasuk ke dalam status Critically Endangered, menurut IUCN," kata Riszki Is Hardianto, Peneliti Spesies Yayasan Auriga Nusantara, Kamis (12/1/2023).
Jenis satwa mamalia Indonesia yang berstatus Sangat Terancam Punah ini, lanjut Riszki, tidak seluruhnya dilindungi. Dia menghitung, ada 7 jenis satwa yang tidak masuk dalam daftar jenis satwa yang dilindungi berdasarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Permen LHK) Nomor P.106 Tahun 2018.
Jenis satwa mamalia yang tidak dilindungi namun status konservasinya Sangat Terancam Punah itu yakni kanguru pohon wondiwoi (Dendrolagus mayri), kanguru pohon (Dendrolagus pulcherrimus), surili kalimantan (Presbytis chrysomelas), lutung belang sumatera timur (Presbytis percura), lutung simakobu (Simias concolor), kuskus mata biru biak (Spilocuscus wilsoni) dan tikus besar biak (Uromys boeadii).
Meski sebagian besar jenis satwa itu mendapat perlindungan hukum dari pemerintah, kondisinya tidak lantas menjadi lebih baik. Sebab hingga kini ancaman terhadap kelestarian beberapa spesies dilindungi masih terbilang tinggi.
"Sebagai contoh untuk harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae) yang sudah masuk ke dalam status dilindungi di Indonesia saja kondisinya masih cukup memprihatinkan," ujar Riszki.
Keprihatinan dalam upaya pelestarian satwa, terutama harimau sumatera, terlihat dari masih terjadinya kehilangan 4 bentang alam habitat harimau direntang waktu 2010-2015. Bahkan berdasarkan assessment terakhir, sebagaimana tertuang pada laporan Population Viability Analysis (PVA) Tahun 2016, terdapat 10 bentang alam yang termasuk ke dalam lansekap kecil, yang memiliki peluang kepunahan pada lokasi mencapai 100 persen di 100 tahun mendatang, baik dengan ada atau tanpa ancaman yang mengintainya.
Dengan kondisi seperti itu sehingga tindakan aksi konservasi yang nyata dan terukur harus segera dilakukan. Guna mengantisipasi terjadinya kepunahan lokal pada bentang alam yang menjadi habitat harimau sumatera yang tersisa.
"Dengan semua yang sudah terjadi dan dilakukan untuk harimau sumatera saja masih terjadi seperti ini. Lalu bagaimana dengan satwa lain yang belum banyak aksi konservasi yang dilakukan atau bahkan belum masuk ke dalam status dilindungi? Mungkin bisa jadi kondisinya jauh lebih memprihatinkan dari harimau sumatera," urai Riszki.
Selain 21 jenis satwa mamalia berstatus Critically Endangered itu, ada pula sekitar 48 jenis satwa mamalia dari Indonesia lainnya yang status konservasinya juga memprihatinkan dan masuk dalam kategori Endangered atau Terancam Punah di IUCN. Satwa-satwa tersebut di antaranya, tapir (Tapirus indicus), bekantan (Nasalis larvatus), banteng jawa (Bos javanicus), kukang (Nycticebus coucang) dan paus biru (Balaenoptera musculus).
Menurut Riszki, banyak dari jenis satwa Indonesia dalam Daftar Merah IUCN, baik yang berstatus Critically Endangered maupun Endangered, yang terbilang kurang familiar bagi masyarakat Indonesia pada umumnya. Sehingga tak banyak yang memiliki pemahaman terhadap kondisi konservasi dan keterancamannya. Ia tidak berharap jenis-jenis satwa ini akan terlupakan nasibnya.
"Seperti monyet ekor panjang, surili, tapir, beberapa jenis kuskus, kanguru pohon, termasuk ikan napoleon, agak kurang mendapat perhatian di Indonesia."
Populasi Menurun dan Ancaman yang Tinggi
Riszki bilang, tren populasi puluhan jenis satwa mamalia itu sebagian besar menurun. Menurut assessment yang dilakukan oleh IUCN, untuk jenis satwa yang masuk ke dalam status Critically Endangered, lebih dari 80 persen memiliki tren populasi yang terus menurun. Hal serupa terjadi juga pada satwa mamalia yang berstatus Endangered, hampir 90 persen tren populasinya juga menurun.
Kondisi tren populasi jenis-jenis satwa itu, menurut Riszki, masih bisa diperbaiki. Dia menyebut masih ada harapan untuk menjaga kelestarian jenis-jenis satwa itu, yakni dengan upaya konservasi yang jelas, terukur dan kerja sama multi-stakeholder yang baik.
"Upaya konservasi sangat perlu dilakukan karena ancaman kepunahan satwa liar di Indonesia secara umum ada 2 hal, yaitu berkurangnya atau rusaknya habitat, dan perburuan serta perdagangan satwa liar yang masih terus ada sampai hari ini," lanjut Riszki.
Masih tentang penyusutan populasi. Riszki menjelaskan, konversi hutan menjadi perkebunan sawit, tanaman industri dan pertambangan menjadi ancaman serius bagi kelestarian satwa liar, termasuk satwa langka seperti orangutan, harimau sumatera, tapir, dan gajah sumatera.
Ia berpendapat, perburuan satwa liar itu juga akan berjalan seiring dengan pembukaan hutan alami yang dikarenakan akses yang menjadi mudah dalam upaya perburuan. Satwa liar dianggap sebagai hama oleh industri perkebunan, sehingga di banyak tempat jenis-jenis satwa ini dimusnahkan.
Setelah masalah habitat yang semakin menyusut secara kuantitas dan kualitas, perdagangan satwa liar menjadi ancaman serius bagi kelestarian satwa liar Indonesia. Lebih dari 95 persen satwa yang dijual di pasar adalah hasil tangkapan dari alam, bukan hasil penangkaran (profauna).
"Berbagai jenis satwa dilindungi dan terancam punah masih diperdagangkan secara bebas di Indonesia. Semakin langka satwa tersebut maka akan semakin mahal pula harganya."
Riszki menilai, semua satwa yang masuk kedalam daftar merah IUCN kondisinya tentu saja sangat memprihatinkan, dengan tren populasi yang terus menurun, habitat yang terus berkurang dan ancaman perdagangan satwa yang masih terus mengintai. Tapi dari sekian banyak satwa tersebut, badak sumatera (Dicerorhinus sumatrensis) dan monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) menjadi yang sangat memprihatinkan kini.
"Badak sumatera sangat memprihatinkan karena jumlah populasinya yang tersisa tinggal sedikit dan sudah mulai kesulitan mencari tanda-tanda keberadaannya di lapangan," urai Riszki.
Sedangkan untuk monyet ekor panjang, imbuh Riszki, memprihatinkan karena walaupun status konservasinya menurut IUCN sudah masuk ke dalam Endangered atau Terancam Punah akan tetapi belum masuk ke dalam daftar satwa yang dilindungi di Indonesia. Keterancaman terhadap monyet ekor panjang ini tinggi lantaran masih banyak terjadi eksploitasi terhadap primata ini.
"Seperti untuk uji coba medis ataupun untuk entertainment serta masih terjadinya konflik dengan manusia yang menimbulkan kerugian untuk manusia dan kematian bagi si satwanya."
Riszki mengakui, data populasi satwa di Indonesia terbilang masih sulit diperoleh. Hanya data populasi pada lanskap tertentu saja yang masih cukup banyak ditemukan. Sedangkan untuk ketersediaannya populasi secara menyeluruh se-Indonesia, masih cukup sulit didapatkan.
"Belum lagi angka populasi yang tersedia banyak yang sudah usang sehingga sulit untuk mendapatkan angka populasi terkini," kata Riszki.
SHARE