Food Estate Bukan Solusi Krisis Pangan

Penulis : Tim Betahita

Perubahan Iklim

Rabu, 14 Desember 2022

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID -  Sejumlah akademisi dan pengamat lingkungan menilai food estate bukan solusi efektif untuk ketahanan pangan. Sebaliknya program pemerintah yang telah berjalan sekitar dua tahun tersebut disebut sarat masalah. Mulai dari kerusakan ekosistem akibat pembukaan lahan, hilangnya hak atas tanah milik masyarakat, hingga hilangnya sumber penghidupan. 

“Narasi terkait food estate ini terus berkembang. Ketika pandemi, program ini dikaitkan dengan ketahanan pangan akibat pandemi COVID-19. Sekarang, narasi ini didorong lagi dengan alasan prediksi krisis iklim. Padahal, program ini harus dikaji ulang karena banyak temuan di lapangan yang menunjukkan kegagalan,” tutur Koordinator Nasional Pantau Gambut Iola Abas, Selasa, 13 Desember 2022. 

Menurut Iola, wacana program food estate kembali mencuat saat agenda Forum Keamanan Pangan Dunia G20 November lalu. Saat itu, Menteri Pertahanan Prabowo Subianto menyebut singkong sebagai salah satu komoditas unggulan program food estate dan solusi kerawanan pangan dunia imbas perang Ukraina dan Rusia.

Aktivis membentangkan spanduk Food Estate Feeding Climate Crisis di area Food Estate, Gunung Mas, Kalteng. Kredit Foto: Greenpeace Indonesia

Iola mempertanyakan kepentingan di balik program yang diklaim untuk kepentingan tahan tersebut. 

Zenzi Suhadi, Direktur Eksekutif Nasional WALHI, mengingatkan kembali program food estate serupa dengan program pada masa Orde Baru yang sempat diperkirakan dapat menjadi penyangga ketahanan pangan nasional, namun berujung gagal.

Food estate justru membuat pangan kita rentan. Jika hanya ada satu wilayah yang memproduksi satu jenis komoditas dengan jumlah yang besar, maka akan memengaruhi suplai dan harga produk pangan petani di banyak tempat lainnya. Belum lagi dalam pelaksanaannya, food estate sangat bergantung terhadap pengendalian hama dan pupuk yang bersifat kimia yang juga mencemari lingkungan,” ujar Zenzi.

Zenzi berargumen, negara kepulauan seperti Indonesia seharusnya menerapkan sistem desentralisasi untuk pangan dengan memperkuat penyediaan pangan di setiap daerah, tidak dengan strategi lumbung pangan yang terpusat. Dengan demikian, jelas Zenzi, apabila terdapat satu daerah yang mengalami kerentanan pangan, maka daerah lainnya bisa mendukung penyediaan pangan dengan menerapkan suplai silang.

“Pemerintah harus berhenti menerapkan ketahanan pangan Indonesia dengan program food estate. Kita seharusnya belajar dengan kesalahan dari Presiden Soeharto dengan pengadaan program pencetakan sawah seluas satu juta hektare. Jika Indonesia ingin berdaulat pangan, maka kenali setiap keunikan pangan rakyat dan keanekaragaman alamnya,” lanjut Zenzi.

Angga Dwiartama, dosen dan peneliti di Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati Institut Teknologi Bandung (ITB) mengatakan, masalah ketahanan pangan di Indonesia sering kali berkaitan dengan akses terhadap pangan, bukan produksinya. Produksi secara masif di satu lokasi tidak bisa menjadi solusi. Perlu ada peninjauan kembali bagaimana masyarakat mampu memiliki kedaulatan untuk bisa memproduksi dan mengatur sistem pangann sendiri, tanpa intervensi ekonomi pasar yang lebih luas.

“Program food estate justru akan melokalisir produksi pangan di satu tempat, yang kemudian akan membawa masalah pada proses distribusinya ke tempat lain. Jika akses terhadap pangan terbatas, maka harga akan melambung tinggi. Akhirnya, daya beli masyarakat pun menurun. Imbasnya adalah masyarakat terjebak dalam kondisi kerawanan pangan,” terang Angga.

Food estate berpotensi memperbesar terjadinya krisis pangan 

Penanaman singkong pada megaproyek food estate atau lumbung pangan telah dilaksanakan pada 2021 di atas lahan sekitar 300 hektare, di Desa Tewai Baru, Kalimantan Tengah. Sayangnya, karakteristik tanahnya berpasir sehingga kurang memadai untuk mendukung upaya bercocok tanam. Laporan Kompas beberapa waktu lalu menyebut, panen singkong milik warga tidak sesuai harapan karena ukurannya kerdil. Umbi singkong yang dihasilkan juga berasa pahit yang mengindikasikan adanya kandungan sianida yang tinggi dan berbahaya bagi tubuh manusia.

“Penanaman singkong butuh melihat kesesuaian dengan ekosistem lokalnya. Di beberapa tempat, singkong dapat tumbuh subur. Tetapi jika tidak bisa tumbuh dengan baik, maka seharusnya tidak dipaksakan untuk tetap ditanam. Karena itulah, kita tidak bisa menyelesaikan masalah ketahanan pangan dengan produksi secara menyeluruh untuk kebutuhan global. Setiap ekosistem, dan masyarakat lokal, memiliki kompatibilitas dengan jenis-jenis pangan tertentu juga,” ungkap Angga.

Sementara itu Iola kembali menyoroti keterbukaan data mengenai lokasi dan luasan area food estate yang tidak transparan ke publik, baik dari Kementerian Pertahanan, Kementerian Pertanian, maupun Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Food estate kali ini diperkirakan masih akan berdiri di atas satu juta hektare lahan eks Pengembangan Lahan Gambut (PLG) tahun 1995 di Kalimantan Tengah.

“Dari keseluruhan wilayah tersebut, 64% atau sekitar 883.000 hektare merupakan area Fungsi Ekosistem Gambut (FEG) yang berstatus lindung. Apabila wilayah ini dibuka dengan mengabaikan karakteristik dan tata kelola lahan yang berkelanjutan, maka akan mengakibatkan kebakaran hutan, banjir, membuat tanah dan air di sekitarnya tercemar, serta melepaskan emisi karbon yang sangat besar,” kata Iola.

Iola juga menyoroti kemerosotan angka tutupan hutan di lokasi food estate. Tutupan pohon seluas lebih dari 3.700 hektare dilaporkan hilang di Kabupaten Pisau, Kabupaten Kapuas, dan Kabupaten Gunung Mas di Kalimantan Tengah selama periode Januari 2020 hingga Maret 2022. 

“Pemerintah berusaha mengatasi krisis pangan dengan pembukaan lahan demi program food estate, yang notabene akan menyebabkan krisis iklim seiring dengan peningkatan angka deforestasi. Konsekuensinya, krisis iklim justru akan membuat krisis pangan semakin menjadi-jadi,” pungkas Iola.

SHARE