Menggarap Wilayah ‘Tak Bertuan’
Penulis : Yustinus Ade Stirman - Penyuluh Lingkungan, Pusat Pengendalian Pembangunan Ekoregion Jawa, KLHK
OPINI
Senin, 05 Desember 2022
Editor : Sandy Indra Pratama
BETAHITA.ID - Beberapa waktu lalu (11/11/2022), Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) Provinsi Jawa Tengah (Jateng) mengelar Rapat Koordinasi Pengendalian Pencemaran Lingkungan Sungai Bengawan Solo. Rapat koordinasi yang digelar secara daring ini dihadiri berbagai stakeholder, termasuk Pusat Pengendalian Pembangunan ekoregion Jawa, KLHK.
Dalam paparannya, Marnang Haryoto dari DLHK Provinsi Jateng, menyampaikan, tentang potret atau kondisi pencemaran di Sungai Bengawan Solo. Satu topik yang menarik adalah tentang peta sumber pencemar di DAS Bengawan Solo. Dikatakan, sumber pencemar DAS Bengawan Solo, berasal dari empat sumber utama, yakni Industri besar dan menengah, rumah sakit, hotel, dan UKM-IKM.
Ironinya, dari empat sumber pencemar tadi, limbah domestik rumah tangga serasa luput dari pantauan. Limbah domestik rumah tangga tidak disebutkan sebagai salah satu sumber pencemar utama Sungai Bengawan Solo.
Padahal, data menunjukkan bahwa lebih dari 50 persen sumber utama pencemaran Sungai Bengawan Solo, termasuk sungai besar lainnya di Indonesia, disebabkan limbah domestik rumah tangga yang dibuang langsung/tidak langsung ke badan air tanpa dikelola melalui Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) komunal domestik.
Potret kurangnya perhatian pemerintah daerah terhadap penanganan limbah domestik ini terpantau dari hasil evaluasi yang dilakukan Pusat pengendalian Pembangunan Ekoregion Jawa (P3E Jawa), yang tahun ini melakukan evaluasi pengendalian pencemaran DAS Bengawan Solo, khususnya evaluasi pengendalian limbah domestik rumah tangga.
Evaluasi dilakukan terhadap Dokumen Indeks Kualitas Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah (DIKPLHD) dengan menggunakan metode DPSIR (Drive Forece, Pressure, State, Impact, Response) pada 11 kabupaten/kota yang mempunyai akses atau berbatasan langsung dengan DAS Bengawan Solo. Sebelas kabupaten itu adalah Kabupaten Tuban, Ngawi, Surakarta, Bojonegoro, Sragen, Blora, Lamongan, Karanganyar, Wonogiri, Sukoharjo, dan Gresik.
Hasil evaluasi menujukkan, dari 11 kabupaten/kota tadi, hanya 6 persen penduduk yang terlayani dengan IPAL komunal domestik. Dengan kata lain, 94 persen rumah tangga yang ada di 11 kabupaten/kota belum terlayani IPAL. Tidak heran, kalau pencemaran DAS Bengawan Solo selalu terjadi, karena limbah domestik rumah tangganya kurang/tidak ditangani dengan baik.
Menariknya, berdasarkan hasil evaluasi ini, hampir semua rumah tangga di 11 kabupaten tadi sudah mempunyai akses fasilitas sanitasi MCK (mandi, cuci, kakus) dengan nilai rata-rata mencapai 90,2 persen (masuk Kategori Sangat Baik). Logikanya, harusnya limbah dari rumah tangga itu relatif aman terhadap lingkungan, karena rata-rata penduduk memiliki fasilitas sanitasi MCK.
Namun, memiliki akses MCK belumlah cukup karena perlu dikaji lebih lanjut efektivitasnya. Apakah akses yang ada itu layak dan aman lingkungan? Hal itu penting dilakukan, mengingat berdasarkan data BPS, akses publik terhadap fasilitas sanitasi yang layak dan aman pada 2020 adalah 79,53 persen.
Namun, persentase sanitasi aman jauh lebih kecil dibandingkan sanitasi layak, yakni kurang dari 10 persen. Oleh karena itu, perlu dilakukan inventarisasi efektivitas MCK atau fasilitas sanitasi yang layak dan aman lingkungan.
Minimnya rumah tangga yang dapat dilayani IPAl yang di-drive oleh akses kepemilikan MCK (sebagai faktor pendorong) menjadi pemicu (pressure) menurunnya kualitas air Sungai Bengawan Solo saat ini. Hasil evaluasi ini menunjukkan, prosentase pemenuhan baku mutu kualitas air sungai di 11 kabupaten/kota menurun dan masuk Kategori Rendah (nilai rata-rata 21 persen) untuk baku mutu (BM) air sungainya. Sementara, untuk kualitas air sumurnya masuk Kategori Rendah (dengan nilai rata-rata 39 persen).
Menurunnya kualitas air sungai dan air sumur tadi membawa dampak (impact) lingkungan, seperti menurunnya kualitas lingkungan dan terganggunya kesehatan masyarakat. Hasil evaluasi ini, menunjukkan, kondisi air sungai dan air sumur yang tercemar menyebabkan timbulnya berbagai penyakit dengan prosentase rata-rata 55 persen (Kategori Cukup Signifikan).
Benang merah dari hasil evaluasi ini menunjukkan, bagaimana penanganan limbah domestik rumah tangga selama ini belum menjadi perhatian serius, dalam upaya pengendalian pencemaran Sungai Bengawan Solo. Berbagai upaya telah dilakukan daerah dalam mengendalikan pencemaran, akan tetapi upaya itu hanya terfokus pada sumber pencemar seperti industri besar dan menengah, hotel, rumah sakit, dan UKM dan IKM yang notabene relatif mudah dipantau,
Sementara limbah rumah tangga terus ‘dibiarkan’ menggelontori dan mencemari Sungai Bengawan Solo. Penulis menganggap, persoalan limbah rumah tangga kurang dilirik, karena mungkin kurang ‘seksi’ atau memang sengaja tidak mau disentuh karena belum jelas menjadi domain atau kewenangan siapa sehingga menjadi wilayah abu-abu tak bertuan.
Memang persoalan klasik yang selalu muncul ketika berbicara limbah domestik rumah tangga adalah anggaran yang terbatas. Apalagi untuk membangun satu unit IPAl komunal membutuhkan biaya yang tidak sedikit.
Kalau saat ini, jumlah penduduk di 11 kabupaten/kota tadi berdasarkan BPS daerah (2020) berjumlah 11.251.864 jiwa, maka berapa puluh bahkan ratusan unit IPAL komunal domestik yang harus dibangun lagi. Walaupun begitu, apa pun kondisinya, mau tidak mau suka tidak suka limbah domestik rumah tangga tetap harus dikelola demi menyelamatkan Sungai Bengawan Solo yang saat ini kondisinya memprihatinkan.
Jebakan Berpikir Teknis
Berangkat dari hal tersebut, penulis berpendapat, barangkali pendekatannya perlu diubah dalam melihat berbagai persoalan lingkungan, termasuk masalah limbah domestik.
Reza A.A.Wattimena, dalam bukunya, ‘Filsafat Sebagai Revolusi Hidup’ menulis, era sekarang ditandai dengan gejala kemalasan berpikir di berbagai bidang. Orang seolah-olah hanya mampu berpikir teknis untuk menghitung keuntungan atau kerugian, sementara kemampuan berpikir reflektif dan kritis justru semakin hilang.
Kemalasan cara berpikir ini juga dapat ditemukan pada ketidakmampuan untuk menerobos tradisi cara berpikir lama yang sudah lama bercokol. Akibatnya orang manut pada kebiasaan lama yang sudah lagi tidak sesuai dengan keadaan sekarang. Ketika keadaan berubah, sementara berpikir dan cara menyikapi keadaan tersebut tidak berubah maka akan terjadi masalah.
Kemalasan berpikir ini, kata Reza, bisa ditafsirkan sejalan dengan argumen Heidegger, bahwa manusia modern terjangkit penyakit ketidak-berpikiran (Gedankenlosigkeit). Ia hidup bagaikan robot yang tak mampu mencari makna dan berpikir mendalam
Mendayagunakan Penyuluh Lingkungan
Penulis memandang, sebenarnya banyak pendekatan yang mungkin sudah dilakukan oleh pemerintah daerah, meskipun sepertinya perlu dioptimalkan seperti inventarisasi dan identifikasi pencemar limbah domestik; Pembinaan pada sumber limbah domestik (industri dan UMKM), Pemantauan Kualitas Air Limbah IPAL terbangun; Pemantauan Kualitas Air Sungai; Pemantauan Kualitas Air Sumur; Pembangunan Sarpras pengolah air limbah /IPAL; Pemeliharaan IPAL terbangun, dan kegiatan lainnya.
Salah satu pendekatan yang barangkali masih jarang dilakukan adalah mendorong dan mendampingi masyarakat untuk dapat berperan aktif dalam perlindungan dan pengelolaan mutu air secara umum, dan khususnya terkait pengelolaan air limbah domestik rumah tangga. Pendekatan ini dilatarbelakangi dari adanya kenyataan bahwa dari waktu ke waktu dan dari lokasi satu ke lokasi lainnya sumber beban pencemaran air tertinggi paling sering berasal dari sumber limbah domestik.
Selain itu upaya yang dilakukan selama ini hampir tidak pernah terdengar langsung memberikan pembinaan maupun penyuluhan kepada masyarakat padahal mereka merupakan penghasil limbah domestik tersebut dan jumlah penduduk juga dari tahun ke tahun semakin meningkat yang tentunya berdampak pada peningkatan jumlah limbah domestik.
Pembinaan dan penyuluhan ini tentunya sejalan dengan aturan dan kebijakan yang tertuang, baik dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, maupun Peraturan Pemerintah No. 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Mutu Air.
Yang mana di antaranya terkait peran serta masyarakat dalam memantau badan air secara mandiri di lingkungan masing-masing; melakukan upaya pengurangan bahan pencemaran air di lingkungan masing-masing; menyampaikan informasi hasil pemantauan yang benar dan akurat; menyebarluaskan gerakan pengurangan pencemar air; melakukan kemitraan dengan para pihak dalam rangka pengurangan pencemar air; dan/atau melakukan program ekoriparian untuk pemulihan ekosistem badan air.
Peran lainnya dapat dilakukan bagi masyarakat yang sudah mempunyai IPAL harus melakukan apa, dan masih banyak lagi peran masyarakat lainnya dalam rangka ikut aktif mengelola limbah domestiknya. Berdasarkan uraian di atas tentunya sangat banyak kegiatan yang harus dilakukan.
Oleh karena itu butuh sumber daya manusia dengan jumlah yang juga tidak sedikit. Untuk menjawab tantangan tersebut. Baru-baru ini telah hadir tenaga fungsional baru, yaitu Pejabat Fungsional Penyuluh Lingkungan melalui Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor. 34 Tahun 2020 tentang Jabatan Fungsional Penyuluh Lingkungan Hidup.
Pemerintah daerah perlu melakukan gerakan kolektif bersama dengan masyarakat untuk mengatasi bahaya pencemaran akibat buangan limbah domestik rumah tangganya. Membangun gerakan kolektif ini dapat dimotori oleh penyuluh-penyuluh lingkungan yang andal di setiap kabupaten/kota, sesuai dengan Peraturan Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2020.
Dengan melibatkan dan mengefektifkan penyuluh lingkungan maka masalah limbah domestik yang tadi masih masuk wilayah abu-abu tak bertuan bisa mulai digarap serius secara bersama-sama dengan masyarakat dengan bekerja sama dengan tenaga penyuluh lingkungan dari P3E Jawa.
SHARE