Perusakan Palang Adat oleh PT HIP Rendahkan Martabat Orang Papua
Penulis : Raden Ariyo Wicaksono
Hukum
Selasa, 11 Oktober 2022
Editor : Sandy Indra Pratama
BETAHITA.ID - Perusakan Palang Adat di Tanah Papua terjadi lagi. Belum lama ini, perusakan Palang Adat masyarakat adat Moi oleh perusahaan besar swasta perkebunan sawit PT Henrison Inti Persada (HIP) dilaporkan terjadi di Kabupaten Sorong, Papua Barat. Kejadian ini dianggap merendahkan martabat Orang Asli Papua.
Kejadian perusakan Palang Adat masyarakat adat Moi ini terjadi pada 4 Oktober 2022 lalu disebut melibatkan personel anggota Brimob. Palang Adat itu sebelumnya dipasang melalui proses ritual adat oleh masyarakat adat Moi di areal perkantoran dan pabrik PT HIP di Distrik Klamono, sebagai bentuk sanksi adat yang diberikan kepada pihak perusahaan karena dianggap tidak merealisasikan janji-janji kepada masyarakat.
Perusakan Palang Adat ini kemudian memicu unjuk rasa di kemudian hari.
Pada 5 Oktober 2022, sekitar 100 orang massa dari perwakilan marga-marga pemilik tanah, yakni Gisim, Klawon, Gilik, Klasibin, Malak Kalawis, Malak Klamono, Ulim, Klin, Malak Klatilik dan Malaum melakukan demonstrasi di Aimas Hotel.
Demonstrasi ini tak hanya dilakukan oleh para perwakilan marga-marga pemilik tanah saja. Lucunya, sejumlah karyawan PT HIP juga ikut dalam aksi yang digelar di Aimas Hotel itu. Baik masyarakat adat maupun karyawan PT HIP sepakat untuk menuntut pemerintah daerah memeriksa dan mencabut izin usaha PT HIP.
Alasannya, karena anak perusahaan Capitol Grup itu mengabaikan dan tidak memenuhi hak masyarakat dan karyawan perusahaan. Di momen itu, masyarakat adat juga menuntut pemberian sanksi terhadap aparat Brimob yang disebut terlibat dalam perusakan Palang Adat.
Dalam aksi ini Pj. Bupati Sorong, Yan Piet Moso, bersama sejumlah pejabat teras Pemerintah Kabupaten Sorong, bersedia menemui dan berdialog langsung dengan masyarakat dan karyawan perusahaan.
"Kami hanya sebatas melaporkan, kemarin telah dilakukan pemalangan oleh 11 marga di areal perkebunan kelapa sawit, pemalangan yang berlangsung didukung karyawan di dua fasilitas perusahaan di pabrik dan kantor utama," kata Mika Klin, dalam aksi itu.
Mika melanjutkan, para perwakilan marga melakukan pemalangan pada sekitar pukul 10.00 WIT. Namun pada sekitar pukul 17.00 WIT, pemalangan itu dibuka oleh anggota Brimob.
"Ketika kami komunikasi, bahwa katanya atas perintah dari Kapolda Papua, karena itu aset negara. Setelah itu kami ingatkan pemalangan ini sudah dua kali dilakukan dan dua kali dibuka," ungkap Mika.
"Kami masyarakat Moi menangis, kami sedih, tolong, harkat dan jati diri kami sebagai Suku Moi di Tanah Moi telah diinjak habis-habisan, sementara suku lain, pasti kami sama-sama menjunjung adat yang ada di Tanah Papua dan di Indonesia," imbuh Mika.
Pemalangan yang perwakilan marga lakukan, masih kata Mika, terkait dengan hak-hak kebun plasma yang dijanjikan pihak perusahaan. Warga telah menyampaikan keluhan dan aspirasi soal plasma ini sejak kurang lebih 4 bulan, namun tidak didengar oleh pihak perusahaan.
"Dokumen data sangat jelas. Kami berusaha, kami selalu dihalangi supaya hak kami tidak bisa diselesaikan."
Mika mewakili marganya meminta Bupati Sorong dapat menindaklanjuti dan memanggil perusahaan, dan memfasilitasi pertemuan dengan masyarakat. Ia berharap seluruh pihak, termasuk karyawan yang mengambil bagian dalam aksi bisa duduk bersama menyelesaikan segala tuntutan.
Keluhan yang sama disampaikan Yeremia Gisim. Dalam dialog bersama pemerintah daerah ia menyebut masyarakat Moi selama ini berdiam diri, dan menangis di tanahnya sendiri. Sebab Palang Adat yang dipasang sebagai sanksi adat bagi perusahaan beberapa kali dibuka.
"Benar-benar mereka menginjak Orang Moi. Mereka tidak menghargai Orang Moi. Mereka yang buka Palang Orang Moi ini, kalau boleh ada sanksi buat mereka. Mereka harus taati budaya adat Orang Moi," kata Yeremia.
Dalam dialog tersebut pihak Pemerintah Kabupaten Sorong mengakui bahwa realisasi kebun plasma PT HIP belum terpenuhi sesuai ketentuan. Disebutkan, luas areal kebun inti PT HIP sekitar 11.200 hektare, namun plasma yang diberikan kepada masyarakat hanya sekitar 900 hektare.
"Sehingga memang kita harus mengakui hak bapak dan mama, belum dipenuhi, sekitar 1.300 hektare dan kami menghargai jika ini diperjuangkan bersama. Pemerintah Kabupaten Sorong dalam beberapa kali sudah memanggil perusahaan. Kami sudah mempermasalahkan, mengingatkan jangan sampai masyarakat sudah terlanjur demo baru kamu bergerak," kata Suroso, Asisten II Sekretariat Daerah Kabupaten Sorong.
Seperti dikatakan perwakilan marga di atas, perusakan Palang Adat oleh PT HIP ini bukan kejadian yang pertama. Pada Juli 2022 lalu, hal serupa juga pernah terjadi.
Kala itu, sejumlah perwakilan marga pemilik tanah, yakni Marga Gisim, Klawon dan Malak,memasang Palang Adat di areal PT HIP, untuk meminta realisasi hak masyarakat. Namun Palang Adat yang dipasang itu kemudian dirusak oleh pihak perusahaan. Masyarakat sempat bersitegang dengan pihak PT HIP. Dalam suatu kesempatan, Direktur Operasional PT HIP disebut sempat bersikap reaktif hingga menyatakan diri sebagai anggota Kopassus, TNI.
Perusakan penghancuran Palang Adat ini tidak hanya dilakukan oleh PT HIP saja. Yayasan Pusaka Bentala Rakyat menyebut, hal sama juga dilakukan oleh PT Permata Putra Mandiri (PPM) di Kabupaten Sorong Selatan. Menurut Pusaka, Palang Adat yang dipasang masyarakat adat Iwaro di jalan Kampung Jamarema, Distrik Metamani, Sorong Selatan, dirusak oleh pihak PT PPM dengan menggunakan gergaji mesin, pada 15 Agustus 2022 lalu.
Salah satu Palang Adat yang dipasang oleh Masyarakat Adat Iwaro di Jamarema, di PT PPM./Foto: Istimewa
Saat itu, perusakan Palang Adat ini dilakukan juga dengan didampingi aparat keamanan, yakni Brimob dan TNI. Situasinya tergambar dalam video amatir yang direkam oleh warga. Dalam video itu gergaji mesin meraung-raung, memotong dan merobohkan dengan paksa Palang Adat. Tidak peduli dengan teriakan dan protes warga. Aparat keamanan berdiri sigap mengamankan operator gergaji mesin.
Natalia Yewen, dari Yayasan Pusaka Bentala Rakyat mengatakan, kejadian dan tindakan sewenang-wenang tersebut menunjukkan pihak perusahaan dan aparat Brimob Polri tidak menghormati keberadaan dan hak-hak atas tradisi dan hukum adat masyarakat adat Moi dan masyarakat adat Iwaro di daerah tersebut. Demikian pula, anggota Polisi dan TNI yang berada di lokasi kejadian, tidak mampu mencegah dan terkesan secara sengaja membiarkan kejadian tersebut.
"Perusahaan semakin menunjukkan bagaimana mereka tidak menghormati eksistensi dari masyarakat adat itu sendiri. Setiap kali Orang Asli Papua melibatkan unsur adat dalam hal apapun, itu harus dihormati oleh siapapun. Dan ini harus dipahami oleh perusahaan," kata Natalia, Senin (10/10/2022).
Sehingga dalam dua kasus ini, lanjut Natalia, perusahaan tampak sangat mengabaikan perihal hukum adat yang berlaku di Tanah Papua. Perusahaan tidak paham bahwa, hukum adat di Tanah Papua adalah hukum tertinggi.
"Perusahaan menggunakan tanah masyarakat adat tanpa tahu dan sadar, bahwa tanah itu dimiliki oleh masyarakat adat dan prosesi adat seperti ini tidak pernah terlepas dari tanah, hutan dan manusia papua."
Tindakan perusakan dan penghancuran perangkat adat dan tradisi budaya ini melanggar hak masyarakat adat atas hukum dan peradilan adat sebagai hukum yang hidup (living law) yang diakui oleh Konstitusi UUD 1945, Pasal 18B ayat (2) dan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Provinsi Papua, Pasal 51 dan 52.
Atas persoalan ini, Natalia bilang, Pusaka mengecam atas tindakan sewenang-wenang perusakan paksa Palang Adat yang merendahkan martabat dan merugikan masyarakat adat. Pusaka menyesalkan atas pendekatan keamanan dan tindakan tidak profesional, maupun sikap tidak adil hanya untuk melindungi kepentingan perusahaan saja.
"Pusaka meminta Kapolda Papua Barat, Kapolres Sorong dan Kapolres Sorong Selatan, bersama-sama melakukan penegakan hukum dengan mengusut tuntas kejadian dan pelaku dari pihak."
Terakhir Pusaka meminta kepada pihak investor, pemberi dana dan pembeli minyak kelapa sawit untuk melakukan evaluasi dan memberikan sanksi atas pelanggaran dan ketidakpatuhan perusahaan pada standar usaha berkelanjutan, yang tidak menghormati Hak Asasi Manusia (HAM).
SHARE