Mereka yang Melawan dan Tersingkir Lantaran Nikel

Penulis : Kennial Laia

Hari Tambang dan Energi

Rabu, 28 September 2022

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID -  Sejak perusahaan nikel aktif beroperasi di kampungnya, hidup Hernemus Takuling tidak lagi sama. Warga Desa Lelilef Sawai, Weda Tengah, Halmahera Tengah, Maluku Utara itu, mengaku tahun ini adalah satu dekade sejak dia dipenjarakan selama setahun karena mempertahankan tanahnya saat itu. 

Pada 2013, pria yang akrab dipanggil Nemo ini dihukum penjara dengan tuduhan telah mengancam karyawan perusahaan PT Weda Bay Nickel (PT WBN) yang kala itu melakukan pembebasan lahan. Hukuman itu dia dapat sebagai buntut kegigihannya melakukan protes terhadap perusahaan. Dalam pandangannya, upaya mendapatkan lahan warga tidak sesuai aturan dan mekanisme yang berlaku. 

“Bukan kami menolak, tetapi dia melakukan penyerobotan terhadap tanah warga. Makanya kami harus bicara. Tetapi ya karena perusahaan punya segalanya, berhadapan dengan orang kecil dia anggap kita semut. Dia ibarat kerbau,” tutur Nemo kepada Betahita, Selasa, 27 September 2022.

Konflik itu dimulai pada 2008 ketika perusahaan mulai melakukan pembebasan lahan. Dari berbagai sumber, perusahaan kala itu menentukan harga sendiri, mematok Rp 8.000 per meter. Menurut Nemo, perusahaan juga menurunkan harga tanah menjadi Rp 2.500 per meter. Menurut Nemo, harga itu bahkan lebih murah dari sebungkus indomie. 

Air sungai berubah warna menjadi kecoklatan akibat aktivitas tambang nikel di sekitar Kecamatan Weda Tengah, Halmahera Tengah, Maluku Utara. Dok Ajun Thanjer via Mongabay

Sontak Nemo melawan perusahaan bersama warga lain yang sependapat. Dia mengkonsolidasi 66 keluarga dari 300 keluarga di Desa Lelilef Sawai. Namun pihaknya juga harus berhadapan dengan warga yang setuju dengan pembebasan lahan tersebut.  

Setelah itu, banyak hal berubah di kampungnya. Kini kawasan pertambangan yang menjadi PT Indonesia Weda Bay Industrial Park (PT IWIP) beroperasi hanya 100 meter dari perkampungan. Tidak ada lagi kegiatan bertani karena sebagian besar tanah dikuasai perusahaan. Sementara itu banyak warga menjadi buruh atau membangun kos-kosan. 

Nemo juga terpaksa menjual tanahnya karena sudah dikelilingi perusahaan. Bahkan lahan tersisa yang dia garap bersama keluarganya juga dikelilingi konsesi tambang. “Kami mencoba bertahan dengan tanah ini,” ujarnya, seraya menambahkan ada usaha sewa kapal ikan berjenis pajeko yang dimulainya dua tahun lalu.

Dampak yang terasa tidak berhenti di situ. Sungai di belakang kampung, yang dulunya sumber air bagi masyarakat, kini tercemar berwarna kecoklatan. Masyarakat pun terpaksa mengeluarkan uang untuk membeli air isi ulang, pengganti air sungai yang dulunya diperoleh secara gratis. Karena lahan produktif warga juga menyusut, kini pasokan pangan seperti pisang, sagu, atau hasil kebun dipasok dari luar desa. Termasuk sayur mayur dan cabai juga. Hal ini berbeda ketika dulu rata-rata warga Lelilef Sawai mampu memproduksi pangannya sendiri. 

Nemo juga menyadari tingginya debu akibat lalu-lalang kendaraan perusahaan. Pada musim kemarau, debu masuk ke dalam rumah. Pada musim hujan, terjadi banjir dan genangan lumpur menggenangi jalanan.  

“Banyak orang menganggap ini biasa saja. Padahal dulu sebelum ada perusahaan hidup kita lebih enak. Ada tanah, air bersih, paru-paru sehat… Tetapi apa kondisi kampung 100 meter dari tambang itu bisa disebut layak?” ujar Nemo.

Air laut di Weda Tengah, Halmahera Tengah, Maluku Utara, menjadi kecoklatan. Warga mengklaim ini akibat limbah dari pabrik perusahaan nikel. Ini turut memengaruhi tangkapan ikan nelayan. Dok Ajun Thanjer via Mongabay

Mohammad Ahlis Djirimu, dosen di Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Tadulako mengatakan, pertumbuhan ekonomi di wilayah industri nikel cukup tinggi namun tidak inklusif. 

Ahlis mencontohkan ekonomi Sulawesi Tengah yang naik hingga 28%. Sementara itu pendorong utama perekonomian Morowali dan sekitarnya adalah industri berbasis lahan dan pertambangan seperti nikel. Namun, ini hanya terjadi di wilayah barat seperti Kabupaten Morowali dan Banggai. Sementara itu wilayah timur masih terbilang rendah. 

“Tidak inklusif itu tidak menciptakan lapangan kerja karena tidak dipersiapkan tenaga kerjanya. Sehingga sekitar 10 ribu penduduk pindah jadi unskilled labor. Ketika tidak dibutuhkan lagi, mau kembali bertani dan mencari ikan, sudah tidak ada,” kata Ahlis.

Ahlis mengatakan angka kemiskinan juga masih tinggi. Pasalnya harga di wilayah pertambangan mahal sehingga menggerus pendapatan masyarakat. Kemandirian ekonomi juga hilang. Dahulu budidaya rumput laut tinggi di kalangan masyarakat Morowali. Namun kini praktik itu lenyap. 

“Namun, belum ada riset yang mendalami apakah kehilangan itu berhubungan dengan industri nikel,” kata Ahlis. 

Seiring dengan itu, Nemo mengatakan industri nikel tidak memberi dampak signifikan terhadap kesejahteraan masyarakat di kampungnya. 

 “Lebih banyak hal yang tidak mendatangkan kesejahteraan bagi masyarakat. Kita malah penyakitan di sini. Pada 2019 saja penderita ISPA itu terbanyak di Desa Lelilef Sawit di seluruh kecamatan Weda Tengah,” tuturnya.  

PT Weda Bay Nikel merupakan perusahaan joint venture antara PT Aneka Tambang dan Eramet Group, asal Prancis. Pada 19 Januari 1998, Presiden Soeharto menandatangani Kontrak Karya (KK) Generasi VII tersebut. Perusahaan pun berhak atas konsesi tambang seluas 76.280 hektare di Teluk Weda dan sekitarnya. 

Data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, 90% saham dikuasai Strand Mineralindo PTE Ltd (Eramet) dan sisanya 10% dimiliki PT Antam. Saat ini telah berdiri kawasan industri dengan nama PT Indonesia Weda Bay Industrial Park, yang terbesar di Maluku Utara.  

Nemo menilai perusahaan tidak memberikan kontribusi signifikan pada warga Desa Lelilef Sawai. “Paling tidak perusahaan itu memberikan kompensasi rutin pada warga, karena tanah sudah habis. Saya harap perusahaan juga memberikan pekerjaan bagi pemuda di desa,” tukasnya. 

***

Sementara itu Desa Sagea, Weda Utara, Halmahera Tengah, diliputi kecemasan akan mengalami nasib serupa. Adlun Fiqri, salah satu pemuda Sagea, mengaku kawasan penghidupan kini terancam oleh rencana aktivitas perusahaan tambang PT First Pacific Mining di sekitar desanya maupun satu desa bernama Desa Kiya.  

Menurut Adlun, konsesi pertambangan nikel perusahaan seluas 2.000 hektare berada di atas kawasan karst Bokimoruru. Sementara itu lokasi rencana pembangunan pabrik PT First Pacific Mining terletak di Sungai Sageyan dan Danau Legaelol, yang juga masuk dalam ekosistem karst. Jaraknya pun dekat dengan pemukiman penduduk. 

Adlun, yang pernah aktif di Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Maluku Utara, menilai perusahaan masuk tidak melalui prosedur yang sesuai. Apalagi saat ini pihaknya mendapat informasi perusahaan tengah berencana membangun smelter. Namun perusahaan dinilai tidak transparan terkait informasi perizinan dan analisis dampak lingkungan (AMDAL). 

“Salah satunya itu perusahaan kan mendapat izin dari kabupaten pada 2012, lalu diperbarui tahun 2018. Dalam ketentuan AMDAL, harusnya ada addendum. Konsultasi publik pun kami tidak pernah lihat,” tutur Adlun. 

Warga juga tidak mendapat sosialisasi yang cukup mengenai tujuan dan kegiatan perusahaan. Masyarakat hanya diberitahu soal harga tanah yang dipatok perusahaan. Padahal sebagian besar memiliki tanah yang diberi izin tambang PT First Pacific Mining yang berasal dari Tiongkok itu. 

Danau Legaelol di Kampung Sagea, Halmahera Tengah, terlihat jernih sebelum tercemar oleh limbah dari nikel mentah. Selain sumber air minum dan kebutuhan sehari-hari, telaga ini menjadi wisata andalan bagi masyarakat lokal. Dok SEKA

“Kami tahu sebagian, tapi informasi ini tidak tersebar luas. Di satu sisi warga yang bakal terdampak berhak menyatakan sikap menerima atau menolak. Tapi tiba-tiba saja izin sudah ada,” jelas Adlun. 

Adlun menilai ini tidak memenuhi Free, Prior, and Informed Consent (FPIC). Ini merujuk pada hak yang dimiliki masyarakat adat atau lokal untuk memberikan atau tidak memberikan persetujuan atas setiap proyek yang berpotensi menimbulkan dampak terhadap lahan, mata pencaharian, dan lingkungan.   

Adlun khawatir, aktivitas perusahaan di lokasi-lokasi tersebut akan berdampak buruk bagi desanya. Sungai menjadi sumber air minum, mandi, dan mencuci pakaian. Kawasan karst itu juga memiliki fungsi resapan dan menyimpan cadangan air. Pemanfaatan wisata karst Goa Bokimoruru dan Danau Legaelol juga mendatangkan manfaat ekonomi bagi Desa Sagea dan Desa Kiya.  

Retribusi yang diterima desa ketika libur panjang bahkan bisa mencapai Rp 200 juta. Selain itu masyarakat juga memiliki kebun tak jauh dari danau, yang menanam kelapa, pala, cengkih, dan hutan sagu. Ketika sedang musim ombak di laut, masyarakat beralih mencari protein ikan di danau tersebut. 

“Bagi kami ini adalah contoh pemanfaatan sumber daya alam yang lestari, berkelanjutan, dan patut didukung oleh semua pihak, apalagi tengah didorong oleh pemerintah daerah sebagai kawasan geopark,” tutur Adlun. 

Lebih dari itu, Adlun mengkhawatirkan akan ada kerusakan ekologis jika aktivitas tambang nikel itu dilanjutkan. Dia khawatir terjadi dampak jangka panjang seperti risiko pencemaran air dan udara, serta hilangnya semua sumber penghidupan. 

Sebagai contoh, jika perusahaan melanjutkan aktivitasnya, akan dibangun infrastruktur penunjang seperti pelabuhan dan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara. Keberadaan pelabuhan besar dan kapal akan mengganggu wilayah tangkap nelayan. Hal yang sama dikhawatirkan terjadi pada petani dan lahan garapannya jika diganggu pertambangan. 

Sisi telaga Legaelol yang berubah warna sejak aktivitas tambang nikel di perkampungan Sagea. Dok Koalisi SEKA

Diketahui bahwa kawasan industri PT First Pacific Mining akan memakan lahan seluas 1.000 hektare. Menurut Adlun, jaraknya dengan Sungai Sagea dan Danau Legaelol hanya sekitar 500 meter. 

Adlun juga menuduh perusahaan telah menyebabkan polarisasi di tengah masyarakat. Sebagian warga telah menyetujui dan menerima ganti rugi dari perusahaan. Tetapi banyak juga yang menolak melepaskan lahannya.  

“Kami telah melihat bukti nyata bagaimana pertambangan adalah industri kotor dengan daya rusak lingkungan. Itulah mengapa Gerakan Selamatkan Kampung,” ujar Adlun. 

Bersama pemuda dari Desa Kiya, warga membangun Koalisi Selamatkan Kampung (SEKA) Sagea-Kiya pada akhir 2014. Namun kembali aktif pada tahun ini ketika masyarakat mendengar informasi PT First Pacific Mining akan mulai beroperasi. 

Gerakan ini terus melakukan kampanye terkait daya rusak perusahaan tambang jika melanjutkan bisnisnya. Dalam satu kesempatan usai protes, warga juga bertemu dalam rapat dengan perusahaan di kantor Bupati Halmahera Tengah. 

Kawasan industri PT First Pacific Mining berencana membangun pabrik pengolahan bijih nikel sebesar 160.000 ton. Selain itu perusahaan juga akan membangun PLTU batu bara berkapasitas 750 MW serta dermaga berkapasitas 50.000 ton. 

Perusahaan ini mendapat izin dari Kementerian ESDM pada 2018, yang berlaku hingga 2032. Peta milik kementerian tersebut menunjukkan bahwa operasi produksi PT First Pacific Mining terletak di belakang perkampungan. Luasnya 2.080 hektare. Konsesi ini sebelumnya dikelola oleh PT Zong Hai. 

Dikutip dari Mongabay Indonesia,  perusahaan juga berjanji akan membangun rumah ibadah, jalan, pengembangan ekowisata, usai konstruksi pabrik dan smelter selesai.  

Menurut Adlun, itu bukan keinginan warga Desa Sagea dan Kiya. Sebaliknya, koalisi mendesak agar PT First Pacific Mining menghentikan segala bentuk aktivitas di kampung. Pihaknya juga mendesak agar pemerintah kabupaten dan provinsi mengevaluasi perizinan perusahaan tersebut. 

Selain itu pemerintah juga didesak untuk segera mengeluarkan kebijakan perlindungan kawasan karst di Kampung Sagea. 

Pemuda Sagea saat melakukan aksi protes terhadap perusahaan tambang nikel di kampungnya. Dok Koalisi SEKA 

Melky Nahar, Koordinator Jaringan Aksi Tambang (JATAM) Nasional mengatakan, saat ini Halmahera, mulai dari wilayah tengah, timur, selatan, serta pulau-pulau kecil di sekitarnya, telah dikepung oleh industri tambang. Perusahaan pun menguasai sebagian besar lahan warga. Seringkali konflik terjadi karena terdapat warga menolak menyerahkan lahannya kepada perusahaan. 

Menurut Melky, penolakan tersebut dibalas dengan tindakan represif dari aparat atas nama perusahaan. Intimidasi dan kriminalisasi terjadi. Mulai dari Pulau Wawonii, Sulawesi Tenggara; Buli dan Mana, Halmahera Timur; Pulau Obi, Halmahera Selatan; serta Luwu Timur, Sulawesi Selatan.

“Semua berlangsung cepat. Warga yang berjuang mempertahankan tanahnya justru diintimidasi dan dikriminalisasi,” kata Melky. 

“Di Pulau Obi lebih ganas lagi. Aparat keamanan berjaga 24 jam. Akses wartawan bahkan dipersulit,” jelas Melky.  

Regulasi yang dibuat pemerintah seringkali mengakomodir kepentingan korporasi. Sehingga warga semakin terhimpit. “Konflik ini terjadi akibat kebijakan pemerintah yang ngawur. Mengobral izin tambang, tanpa diketahui atau melibatkan warga,” tukas Melky. 

Meski demikian, Adlun tetap mengingat sebuah petuah yang berusia ratusan tahun di kampungnya: Gae re gele neste rfaftote bo tajaga re tpalihara pnuw re boten enje fafie. 

“Artinya, para leluhur berpesan bahwa kita harus menjaga dan memelihara kampung dan tanah ini.” 

Dalam rangka memperingati "Hari Jadi Pertambangan dan Energi" yang jatuh pada 28 September setiap tahunnya, redaksi Betahita menyajikan serangkaian reportase guna terus mengkritisi kondisi negeri. Sepekan ke depan betahita berupaya menyajikan tulisan yang mengambil sudut pandang lain dari berkembangnya industri pertambangan dan energi di Indonesia.

SHARE