Peluang Kesejahteraan dari SVLK Kayu Adat di Tanah Papua
Penulis : Raden Ariyo Wicaksono
Hutan
Jumat, 09 September 2022
Editor : Sandy Indra Pratama
BETAHITA.ID - Tanah Papua memiliki hutan tropis terluas kedua di Dunia. Namun, perlahan tapi pasti hutan alam di Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat itu menyusut. Menurut data Auriga Nusantara, luas hutan alam tersisa di Bumi Cendrawasih sekitar 33.847.928 hektare--Provinsi Papua 24.993.957 hektare dan Provinsi Papua Barat 8.853.971 hektare.
Meski begitu kekayaan hutan Bumi Cendrawasih itu belum bisa membuat orang asli papua (OAP) sejahtera. Jangankan sejahtera dengan kekayaan alamnya, wilayah kelola yang diberikan pemerintah kepada OAP saja sangatlah kecil.
Dari sekitar 415.170,37 Km persegi atau 41.517.037 hektare luas daratan Tanah Papua (Papua dan Papua Barat), wilayah kelola yang diberikan bagi masyarakat hanya sekitar 169.665 hektare saja--Hutan Tanaman Rakyat 288 hektare, Hutan Desa 165.933 hektare, Kemitraan Kehutanan 984 hektare dan Hutan Kemasyarakatan 2.460 hektare.
Sedangkan total luas izin kelola yang diberikan korporasi besar swasta sekitar 8.589.282, atau 50 kali lipat lebih besar dari izin yang diberikan kepada masyarakat. Rinciannya, Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH) Hutan Tanaman 986.400 hektare, PBPH Hutan Alam 5.562.825 hektare, Izin Usaha Pertambangan (IUP) 649.318 hektare dan izin sawit (kompilasi Hak Guna Usaha dan Pelepasan Kawasan Hutan) sebesar 1.390.739 hektare.
Belakangan muncul wacana untuk mendorong agar masyarakat adat di Tanah Papua memiliki peluang lebih, dalam pemanfaatan hutan di wilayah adat, untuk kesejahteraan. Caranya dengan meningkatkan nilai kayu yang dihasilkan dari wilayah adat melalui sertifikasi legalitas kayu.
Sebagai gambaran, berdasarkan hasil penelusuran, kayu merbau ilegal biasanya hanya dihargai Rp500 ribu per kubiknya, oleh para cukong. Namun bila kayu tersebut telah tersertifikasi atau sudah memiliki cap legal, maka rupiah yang diterima masyarakat adat bisa 4 kali lipat, sekitar Rp2 juta per kubik.
Sertifikasi legal terhadap kayu adat sekaligus juga bertujuan untuk memutus mata rantai kegiatan pembalakan liar terhadap kayu bernilai ekonomis tinggi, seperti merbau.
Ketua Yayasan Auriga Nusantara, Timer Manurung menyebut, pengelolaan hutan di Tanah Papua semestinya bermafaat langsung bagi masyarakat di sekitar hutannya, dalam hal ini masyarakat adat. Timer mengatakan, Sistem Verifikasi Legalitas Kelestarian (SVLK)--sebelumnya disebut Sistem Verifikasi Legalitas Kayu--kayu adat bisa menjadi terobosan.
"Kami melihat SVLK adat salah satu terobosan, dan kami tidak mau terjebak apakah ayam dulu atau telur dulu. Apakah Hutan Adat atau SVLK adat dulu. Kami tidak mau terjebak di situ," kata Timer Manurung, Ketua Yayasan Auriga Nusantara, dalam Focus Group Discussion (FGD) yang digelar di Bogor, Rabu (7/9/2022).
Dinamisator Jaringan Pemantau Independen Kehutanan (JPIK) Muhamad Ichwan mengungkapkan, aktivitas penebangan liar di Tanah Papua masih terjadi, walaupun berbagai tindakan penegakan hukum oleh instansi terkait juga tak kurang dilakukan.
"Modusnya selama ini kayu yang berasal dari wilayah adat di Tanah Papua "dicuci" seolah dari pemanenan HPH--kini disebut PBPH Hutan Alam. Padahal kayu dari penebangan di tanah ulayat yang regulasinya tidak boleh ditampung oleh perusahaan ber-SVLK, untuk dikomersilkan ke luar Tanah Papua," ujar Muhamad Ichwan, Dinamisator JPIK.
Soal gagasan SVLK kayu pada wilayah adat, Ichwan mengatakan, butuh penegasan dari pemerintah atau Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) terkait status kayu adat di Tanah Papua. Karena tanpa penegasan legalitas dari pemerintah, kayu-kayu adat itu akan berstatus ilegal bila beredar di luar Tanah Papua.
"Tetapi kalau masih di Tanah Papua maka statusnya legal, karena masih di wilayah otonomi khusus. Tapi nyatanya penebangan terus terjadi di sana. Kalau dibiarkan maka deforestasi tetap akan terjadi di Tanah Papua dan masyarakat adat yang akan menerima dampak buruknya," terang Ichwan.
Ichwan menguraikan, masyarakat adat di Tanah Papua saat ini belum memilik hak penuh untuk mengambil manfaat atas keberadaan kayu di tanah ulayatnya. Pada 2008, melalui Peraturan Daerah Khusus (Perdasus) No. 22 Tahun 2008, pemerintah daerah menyatakan masyarakat hukum adat (MHA) Papua memiliki hak atas hutan sesuai dengan batas wilayah adat masing-masing.
Dengan demikian, MHA menjadi salah satu subjek yang dapat melakukan pengelolaan atas hutan yang ada di Papua, yang bertujuan memberikan kesejahteraan dan kemakmuran bagi MHA. Secara tidak langsung pemerintah mengklaim seluruh tanah maupun hutan yang ada di Papua adalah milik MHA, sesuai batas-batas yang ditentukan.
Kemudian, soal pengaturan tentang izin pemanfaatan hutan oleh MHA. Pada 2010 terbit Peraturan Gubernur (Pergup) Papua No. 13 Tahun 2010 tentang Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) MHA. Dalam produk hukum itu, pemohon yang sudah memenuhi syarat-syarat yang ditentukan, maka koperasi atau badan usaha milik MHA akan mendapatkan IUPHHK-MHA yang diterbitkan oleh gubernur atas rekomendasi bupati atau walikota dengan jangka waktu pemanfaatan hutan paling lama 30 tahun dan dapat dilakukan perpanjangan kembali.
Hasil observasi JPIK, sejak peraturan itu diterbitkan, tercatat kurang lebih 17 SK IUPHHK-MHA diterbitkan. Akan tetapi, faktanya Pergub tersebut belum berjalan dengan baik. Penyebabnya, KLHK tidak mengakui adanya IUPHHK MHA dalam nomenklatur tata kelola kayu di Indonesia.
Menurut Ichwan, ide SVLK kayu adat ini merupakan sebuah terobosan yang coba dibuka agar masyarakat ada bisa mengakses kayu di wilayah adatnya secara legal, tidak hanya untuk kebutuhan domestik atau subsisten, namun untuk tujuan komersil. Penegasan kayu adat bisa saja dilakukan oleh pemerintah daerah melalui produk hukumnya, tetapi untuk kayu yang berasal dari alam atau tumbuh alami, maka perizinan pemanenannya berada di KLHK.
"Sebagai solusi transisi, sambil menunggu pengakuan Hutan Adat, perlu didorong agar KLHK dapat memberikan perizinan pemanenan kayu adat dengan payung hukum melalui perda atau perbup."
Potensi Integrasi Hutan Adat ke dalam SVLK
Paramita Iswari dari Perkumpulan Karsa berpendapat, penetapan kawasan hutan oleh KLHK jangan sampai menjadi sebuah masalah yang justru merugikan masyarakat adat. Bicara Hutan Adat, selama ini biasanya masyarakat adat hanya didorong untuk memungut berbagai macam komoditas hasil hutan non kayu.
"Kalau mau bicara optimalisasi hutan adat, harusnya dilihat sebagai peluang penghidupan baru bagi kelompok masyarakat adat. Tentunya dengan berbagai catatan terkait pengelolaan secara lestari atau berkelanjutan," kata Mita.
Menurut hemat Mita, optimalisasi kayu sebagai komoditas dari Hutan Adat tentu perlu persiapan khusus, salah satunya inisiatif sertifikasi. Dalam hal ini SVLK bisa menjadi jawaban.
Namun ketika SVLK adat diterapkan, akan berhadapan dengan beberapa hal. Pertama kondisi yang muncul karena ada ketentuan, baik internasional maupun nasional, untuk menghormati hak-hak tradisional masyarakat adat atas tanah dan sumber daya alam lainnya.
Meskipun kerangka hukum yang ada saat ini, termasuk bagaimana untuk mendapatkan penetapan Hutan Adat, tidak kompatibel dengan realitas sosial masyarakat adat sehari-hari. Namun itu merupakan konsekuensi hukum.
Selain itu ada akibat dari sistem pengelolaan hutan adat yang selama ini diterapkan yang orientasinya subsisten berbasis pada hasil hutan non kayu. Ada peluang komersialisasi kayu di masa depan, namun begitu terdapat potensi-potensi gangguan terhadap aspek kelestarian, baik produksi, ekologis dan sosial, yang muncul ketika komersialisasi kayu terjadi.
"Ini yang kemudian dibenturkan kalau misalnya SVLK diberlakukan, untuk itu kemudian bagaimana membangun sebuah SVLK yang bisa mengintegrasikan Hutan Adat."
Mita menganggap perspektif SVLK dalam konteks Hutan Adat seharusnya tidak semata bersumber pada hukum negara, namun juga yang bersumber dari fakta etnografis. Pendekatan pluralisme hukum ini tidak saja digunakan dalam tahapan penentuan pemenuhan syarat Hutan Adat dalam proses SVLK saja, melainkan juga diterapkan dalam menentukan kriteria, indikator bahkan hingga verifikasi.
"SVLK untuk kayu adat harus berbeda dengan SVLK lain pada umumnya. Karena jangan sampai SVLK kayu adat ini malah memberatkan masyarakat adat," kata Mita.
Mita menawarkan beberapa indikator sebagai standar verifikasi, di antaranya, adanya keabsahan kepemilikan atas lahan dan kayu, dapat berupa SK Penetapan Hutan Adat, mampu menunjukkan batas wilayah adat, dan mampu menerapkan sistem lacak balak.
Kemudian penerapan sistem silvikultur yang menjamin kelestarian hasil hutan. Dalam hal ini terdapat pembagian ruang atau zona pemanfaatan Hutan Adat, menerapkan sistem silvikultur dan adanya upaya pemeliharaan tegakan tanaman muda.
Selanjutnya, unit usaha memiliki dasar hukum yang dapat dipertanggungjawabkan dan menjalankan kewajiban yang dibebankan kepadanya, termasuk mengutamakan kelompok atau kelembagaan adat. Di sini penerapan nilai-nilai adat yang menjamin keadilan dalam pengelolaan Hutan Adat menjadi penting.
Terakhir aturan-aturan adat untuk perlindungan lingkungan tetap berjalan. Yang meliputi terjaganya sumber-sumber air bersih, populasi flora dan fauna tertentu tetap terjaga dan tidak terjadinya kebakaran hutan pada areal bekas tebangan.
SVLK Mensyaratkan Pemenuhan Hak Atas Tanah
Di kesempatan yang sama, Kasubdit Ekspor Impor Direktorat Jenderal Pengelolaan Hutan Produksi Lestari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Ditjen PHPL KLHK) Sigit Pramono mengatakan, SVLK kini sudah menjadi kebutuhan dalam konteks perdagangan kayu. Sebab, sebagian besar negara tujuan ekspor, Uni Eropa hingga Amerika Serikat, telah mensyaratkan kayu yang masuk dari negara lain bebas dari aktivitas deforestasi dan perusakan lingkungan.
Sebagai antisipasi, sejak Undang-Undang (UU) Cipta Kerja dan peraturan perundang-undangan turunannya diterapkan, KLHK telah mencoba melakukan revisi SVLK yang berlaku di Indonesia. Itu demi menjawab isu-isu yang terjadi di Dunia internasional.
"Termasuk penguatan aspek kelestarian, isu terkait dengan pencantuman asal usul bahan baku. Ini hal-hal yang kita antisipasi lebih awal, agar ketika regulasi-reguasi itu berlaku, kawan-kawan sudah tidak terkendala lagi," jelas Sigit.
Implementasi SVLK sendiri diatur dalam PermenLHK No. 8 Tahun 2021, yang mana pada Pasal 127 ayat 2 disebutkan, untuk kredibilitas penjaminan legalitas hasil hutan dilakukan melalui SVLK. Secara umum SVLK dapat dimaknai sebagai sistem untuk memastikan kredibilitas penjaminan legalitas hasil hutan, ketelusuran hasil hutan dan atau kelestarian pengelolaan hutan.
"Implementasi SVLK mencakup kegiatan sepanjang rantai pasokan dari proses produksi, pemanenan, pengangkutan, pengolahan atau pemrosesan dan sebagainya," kata Sigit.
Ruang lingkup implementasi SVLK mencakup PBPH, hak pengelolaan, pemanfaatan kayu kegiatan non kehutanan, persetujuan pengelolaan perhutanan sosial, Hutan Hak, Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hasil Hutan (PBPHH), pemegang perizinan berusaha untuk kegiatan usaha industri, tempat penampungan hasil hutan dan eksportir.
Sigit bilang, dalam konteks SVLK, pemanfaatan kayu dari Hutan Adat masuk dalam ruang lingkup Hutan Hak. Pemilik hutan rakyat atau Hutan Hak kayu budidaya dapat menerbitkan deklarasi hasil hutan secara mandiri yang sekaligus berlaku sebagai Surat Angkut Kayu Rakyat (SAKR).
Sertifikasi SVLK pada Hutan Hak bisa menjadi opsi apabila pembeli mensyaratkannya. Ada beberapa kriteria yang harus terpenuhi dalam urusan SVLK, salah satunya yakni legalitas hak atas tanah.
Sementara untuk kayu yang tumbuh alam, harus bersertifikat SVLK, dengan syarat telah memiliki perizinan, dapat berupa PBPH atau Perhutanan Sosial. Khusus untuk Perhutanan Sosial, yang mana Hutan Adat masuk di dalamnya, pemilik persetujuan pengelolaan Perhutanan Sosial yang masuk dalam kategori UMKM dapat difasilitasi oleh kementerian atau pemerintah daerah dalam hal pembiayaan SVLK.
Sigit memaparkan implementasi SVLK dalam konteks Hutan Adat. Seperti dijelaskan di atas, karena Hutan Adat masuk dalam kategori Hutan Hak, maka ketentuan SVLK mensyaratkan adanya hak atas tanah. Dengan lain perkataan, SVLK kayu adat membutuhkan legalitas berupa penetapan Hutan Adat.
Namun masalahnya, pengakuan atas hak adat sesuai mandat Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 35 Tahun 2012--yang isinya menegaskan bahwa Hutan Adat bukanlah Hutan Negara--berjalan sangat lambat. Menurut Sigit, perlu upaya percepatan pengakuan atas Hutan Adat. Beberapa hal perlu dilakukan, di antaranya perbaikan dan harmonisasi peraturan perundangan lintas kementerian/lembaga, provinsi, kabupaten atau kota, pengaturan mekanisme pengukuhan tentang keberadaan MHA, identifikasi dan pemetaan wilayah MHA, pengukuhan dan penetapan Hutan Adat.
Belum Ada Hutan Adat yang Ditetapkan KLHK di Tanah Papua
Lambatnya pengakuan MHA dan penetapan Hutan Adat ini jadi tantangan utama bicara SVLK kayu adat di Tanah Papua. Sebab hingga kini belum ada satupun Hutan Adat yang ditetapkan KLHK di Tanah Papua.
Ichwan menyebut ketidakadilan akses masyarakat terhadap lahan di Tanah Papua sangat jelas. Itu terlihat dari sedikitnya wilayah kelola yang diberikan pemerintah kepada masyarakat.
"Kalau dilihat dari data, wilayah kelola untuk masyarakat di Tanah Papua itu hanya sekitar 169 ribu hektare saja. Sedangkan yang diberikan untuk korporasi sebesar 8 juta hektare. Jomplang sekali," kata Ichwan.
Padahal potensi Hutan Adat di Tanah Papua sangat besar. Bersandar pada data Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA), potensi Hutan Adat di Provinsi Papua sebesar 6.170.281 hektare dan Provinsi Papua Barat 1.808.288 hektare.
Hingga 9 Agustus 2022, wilayah adat yang telah dipetakan oleh BRWA di Provinsi Papua sebanyak 91 peta dengan luas sekitar 6.645.373 hektare, sedangkan Provinsi Papua Barat sebanyak 23 peta seluas 1.972.733 hektare.
Masih berdasarkan data BRWA, di Provinsi Papua, dari 91 wilayah adat itu, 6 wilayah adat di antaranya telah mendapatkan penetapan dari pemerintah daerah, dengan luas sekitar 42.637 hektare, dan di Provinsi Papua Barat sudah ada 5 wilayah adat yang telah mendapatkan penetapan seluas 456.504 hektare.
UU Cipta Kerja Vs UU Otonomi Khusus
Guru Besar Fakultas Kehutanan IPB University, Hariadi Kartodihardjo mengatakan, UU Cipta Kerja memberi kemudahan dalam pengurusan PBPH, melalui penyederhanaan prosedur-prosedur bagi pelaku bisnis dalam memulai dan menjalankan usaha. Sementara UU yang dianggap Omnibus Law itu justru kurang memperhitungkan aspek kekhususan Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat, khususnya pada sosial, budaya dan lingkungan, termasuk MHA.
Bahkan, lanjut Hariadi, ada sejumlah kontradiksi dan disharmoni antara UU Cipta Kerja dan UU Otonomi Khusus (Otsus) Papua yang terjadi hampir di seluruh aspek pengelolaan hutan, meliputi perencanaan, perizinan, pemanfaatan hingga penegakan hukum.
Resentralisasi atau penarikan kembali kewenangan oleh pemerintah pusat, menuntut adanya perangkat untuk efektivitas dan akuntabilitas tata kelola hutan. Termasuk pentingnya penguatan kelembagaan, pengawasan dan penegakan hukum.
"Padahal ini adalah kelemahan selama ini," kata Hariadi.
Lebih lanjut Hariadi menguraikan, otsus di Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat yang awalnya telah memberikan peluang-peluang positif bagi pemerintah provinsi, dan komunitas masyarakat adat, digerus oleh UU Cipta Kerja. Yang mana ketentuan daerah (perdasus) yang diperbarui--sesuai PP No. 106 Tahun 2022--tidak sejalan dengan otsus sebelumnya
Hariadi berpendapat, faktor legalitas terkait hak untuk ruang hidup saat ini sangatlah dibutuhkan, namun hal itu juga menjadi hambatan utama bila dikaitkan dengan legalitas ekonomi. Yang mana instrumen pasar akan merugikan MHA. Menurutnya, perlu kebijakan afirmatif, mendahulukan MHA daripada penggunaan ruang lainnya.
"Resentralisasi dalam UU Cipta Kerja tidak memberikan ruang cukup dalam UU Otsus, terutama terkait pemanfaatan sumber daya alam," kata Hariadi.
Hariadi bilang, surat keputusan pimpinan daerah dapat dimanfaatkan sebagai dasar legalitas MHA dalam kawasan hutan negara, untuk mendapatkan wilayah indikatif. Hariadi mendorong agar menggunakan kesempatan perubahan UU Cipta Kerja untuk mempermudah proses legalitas MHA.
SHARE