Akankah Sinarmas Mengulang Kegagalan Komitmen Lingkungannya?
Penulis : Hilman Afif, Juru Kampanye Yayasan Auriga Nusantara
OPINI
Rabu, 07 September 2022
Editor : Sandy Indra Pratama
BETAHITA.ID - Pada 23 Juni 2022 Grup Asian Pulp and Paper (APP) Sinarmas, salah satu produsen bubur kayu terbesar di Indonesia, mengunggah sebuah artikel dengan judul “APP Sinar Mas Tunjukkan Komitmen Keberlanjutan dalam SAF 2022”. Dalam artikel tersebut dijelaskan, APP telah melakukan pembaruan terhadap Visi Peta Jalan Keberlanjutan (Sustainability Roadmap Vision) yang semula dikukuhkan dalam SRV 2020 menjadi SRV 2030.
Mereka turut mengklaim kegiatan APP yang dimulai sejak 2012 telah didasari atas konsep pengelolaan hutan lestari, tata kelola lingkungan, dan tata kelola karbon. APP Sinarmas menjelaskan, mereka berada pada posisi mendukung pemerintah dalam mencapai target FOLU Net Sink 2030.
Sambil membaca artikel dan menonton beberapa video yang menjelaskan mengenai komitmen Grup APP Sinarmas dalam mendukung pencegahan perubahan iklim, penulis merasakan de javu. Seolah-olah penulis berada pada suatu kondisi yang menggambarkan momen serupa yang pernah terjadi sebelumnya. Momen dimana janji-janji manis Grup APP Sinarmas dikumandangkan dengan sendu. Indah kedengarannya, namun mengerikan untuk tahu faktanya.
Ini adalah komitmen kesekian--setelah berkali-kali berkomitmen dengan embel embel lingkungan--yang APP deklarasikan sebagai upaya mencapai bisnis yang selaras dengan keberlanjutan alam dan lingkungan. APP Sinarmas meluncurkan SRV 2020 pada 2012, yang secara umum digambarkan dalam kebijakan tanggung jawab sosial perusahaan, pengelolaan lingkungan, konservasi hutan, pengadaan dan pengolahan serat kayu, pengadaan bahan dan barang kimia, hingga kesejahteraan karyawan.
Menolak Lupa: Ingkar Janji Grup APP Sinarmas
Namun apalah arti komitmen yang dituang dalam bentuk kebijakan perusahaan tanpa praktik yang serius. Pada 2013 mereka (APP Sinarmas) merilis sebuah kebijakan konservasi yang dituangkan dalam Forest Conservation Policy (FCP). Kebijakan ini nyatanya tak cukup untuk menghentikan keterlibatan APP dengan pemasoknya yang melakukan aksi deforestasi secara ugal-ugalan.
Dari laporan yang dirilis oleh Koalisi Anti Mafia Hutan pada 15 Agustus 2018, terindikasi APP membeli kayu dari 2 perusahaan yang terafiliasi dengan Djarum Group yaitu PT Fajar Surya Swadaya dan PT Silva Rimba Lestari. PT Fajar Surya Swadaya diduga melakukan deforestasi seluas 19.221 hektare--hampir sepertiga dari total area konsesi--dalam rentang waktu 2013-2017. Pada rentang waktu yang sama PT Silva Rimba Lestari turut diduga melakukan deforestasi seluas 12.780 hektare.
Tak selesai di sana, dari dokumen Sustainability Report Tahun 2014 APP Sinarmas telah melakukan studi pasokan (supply study) yang di dalamnya berkaitan dengan kegiatan inefisiensi di sebagian pabrik dan konsesi. Dari hasil studi, mereka mengklaim telah memulai rencana aksi untuk membantu mendorong efisiensi, salah satu caranya dengan mengatasi ancaman seperti kebakaran hutan.
Lagi, janji tinggal janji, komitmen selalu diingkari. Pada 2014 PT Bumi Mekar Hijau yang memiliki hubungan sebagai pemasok dari APP Sinarmas digugat denda Rp7,8 triliun oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, akibat terbukti melakukan pembakaran lahan seluas 20 ribu hektare di Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI), Sumatera Selatan. Hingga pada akhirnya PT Bumi Mekar Hijau diputus bersalah oleh pengadilan dan dikenakan denda Rp78,5 miliar, hanya 1 persen dari nilai gugatan.
Padahal dalam kebijakan FCP yang berlaku sejak Februari 2013 tersebut, telah menetapkan pembatasan pasokan kayu dari lahan yang diduga atau diidentifikasi melakukan aksi-aksi perusakan lingkungan (baca: deforestasi) sebelum 2013. Kejadian ini merupakan “kartu merah” bagi komitmen yang telah mereka deklarasikan.
Belum lagi bicara soal perlindungan satwa liar. Melalui dokumen Sustainability Report Tahun 2020, APP Sinarmas berkomitmen untuk menargetkan nol kejadian konflik manusia-satwa liar di wilayah konsesi. Nyatanya hal ini juga tidak terealisasi.
Pada 4 Februari 2020 ditemukan gajah mati di lahan konsesi PT Arara Abadi yang berdekatan dengan Suaka Margasatwa Giam Siak Kecil, Bengkalis. Individu gajah yang diperkirakan berumur 40 tahun ditemukan dengan kondisi membusuk. Dari hasil nekropsi dokter menyatakan bahwa penyebab kematian yaitu racun yang berdampak pada gangguan pencernaan sehingga makanan yang masuk tidak dapat dikonsumsi.
Tak sekali kejadian seperti ini terjadi. Terbaru, kejadian serupa terjadi di atas konsesi PT Riau Abadi Lestari salah satu anak perusahaan Grup APP Sinarmas. Gajah yang diperkirakan berusia 25 tahun mati dengan keadaan sedang mengandung dan diperkirakan akan segera melahirkan.
Meskipun belum diketahui “pelaku” utama penyebab gajah-gajah tersebut mati, namun sudah sepatutnya segala hal yang berada di atas konsesi--termasuk satwa liar--menjadi tanggung jawab penuh perusahaan. Terlebih, hal ini sudah menjadi isu prioritas sebagai bagian dari komitmen yang dideklarasikan.
Empat kasus yang dijelaskan di atas hanyalah sebagian “kecil” ingkar janji yang dilakukan oleh Grup APP Sinarmas. Sambil mereka mengingkari janji kelestarian alam, janji penyelesaian sengketa pun tak lupa untuk diingkari.
Alih alih melakukan pemberdayaan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, PT Wira Karya Sakti (WKS) sebagai bagian dari Grup APP Sinarmas justru meracun tanaman milik masyarakat yang di atasnya terdapat tanaman karet, sawit dan sayuran pada 4 Maret 2020. Sekitar 2 hektare tanaman karet dan sawit rusak sehingga tidak dapat dimanfaatkan oleh masyarakat.
Rupanya, kejadian kekerasan tidak hanya sekali dilakukan oleh PT WKS. Lima tahun sebelumnya (2015) Indra Pelani menjadi sasaran sekelompok sekuriti PT WKS hingga menyebabkan nyawa pejuang tani tersebut tidak tertolong.
Babak Baru Janji Sinarmas: Komitmen Menuju FOLU Net Sink 2030
Sesaat setelah penulis menulis sub judul di atas, terbayang betapa “girang” APP Sinarmas--dan tentu para korporasi lainnya pemilik konsesi HTI--menyambut FOLU Net Sink 2030. Sebab, dalam dokumen rencana operasional Indonesia’s FOLU Net Sink 2030 pemaksimalan hutan tanaman industri merupakan salah satu strategi yang ditetapkan oleh pemerintah dalam aksi mitigasi di sektor FOLU untuk mencapai Net Zero Emission.
Maka, akan sangat besar peluang APP Sinarmas dalam melakukan ekspansi Hutan Tanaman Industri. Terlebih, PT Acacia Andalan Utama (AAU) termasuk yang memiliki indeks prioritas tertinggi dengan nilai 9.
Meskipun terdaftar sebagai pemasok independen atau partner, laporan Tapi, Buka Dulu Topengmu yang dirilis oleh Koalisi Anti Mafia Hutan menduga bahwa pemilik manfaat perusahaan tersebut pernah bekerja atau memiliki hubungan erat dengan APP Sinarmas.
Dalam FOLU Net Sink 2030, diketahui PT AAU memiliki lahan tidak produktif seluas 18.618 hektare. Alih alih mendapatkan sanksi atas kegagalan perusahaan dalam memanfaatkan dan menggunakan lahan yang diberikan, pemerintah justru mendorong lebih keras melalui FOLU Net Sink 2030 agar lahan tersebut segera digunakan untuk kegiatan operasional.
Padahal hemat penulis, melakukan penanaman pada hutan tanaman industri tidak sama sekali mengarah pada konsep net zero emission. Meskipun penanaman yang dilakukan akan berdampak baik pada penyerapan karbon diawal, namun ini tak akan berlangsung lama.
Sekitar 5-6 tahun kemudian ketika kebun kayu tersebut siap untuk dipanen, maka bersiaplah, akan terjadi pelepasan emisi dari pemanenan yang dilakukan. Belum lagi dengan emisi yang dikeluarkan dalam setiap kegiatan di industri seperti pemupukan, mobilitas kendaraan pengangkut, penggunaan alat berat dan sebagainya yang turut menghasilkan polusi.
FOLU net sink 2030 secara sederhana adalah keadaan ketika sektor lahan dan hutan pada 2030 akan menyerap lebih banyak karbon daripada yang dilepaskannya. Aksi mitigasi difokuskan pada 5 aksi utama antara lain: Penurunan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan, Pembangunan Hutan Tanaman, Sustainable Forest Management. Rehabilitasi Hutan, dan Pengelolaan Lahan Gambut.
Kembali ke topik awal mengenai komitmen APP Sinarmas menuju FOLU Net Sink 2030. Saat acara UN Framework Convention on Climate Change (UNCCC) di Glasglow dan Jakarta, APP Sinarmas berkomitmen untuk mencapai target NDC (National Determined Contribution) dengan penerapan 3 prinsip utama, production, forest and people. Di awal tulisan telah dipaparkan bagaimana dalam kurun waktu 2013 hingga 2022 APP Sinarmas telah melakukan pelanggaran atas komitmen yang mereka deklarasikan dengan sukarela.
Lantas, apakah kali ini, kita sebagai konsumen akan terus percaya setelah apa yang telah mereka perbuat? Untuk itu, rasanya penulis tak perlu untuk menjabarkan lebih lanjut.
Jika dilanjutkan, mungkin tulisan ini akan menjadi buku kumpulan cerita harian (diary) Grup APP Sinarmas. Setiap halaman dari diary menceritakan tentang pembohongan terhadap konsumen yang dilakukan oleh grup besar penguasa Hutan Tanaman Industri, Sang APP Sinarmas.
SHARE